Jakarta: Sistem presidensial disebut sudah mendarah daging dalam pemerintahan Indonesia. Fakta sejarah itu bisa dilacak dari berbagai tulisan Sukarno di era 1930’an, naskah Pancasila 1 Juni dan penyusunan UUD 1945.
Sejarawan Anhar Gonggong mengungkapkan perjuangan Sukarno melawan paham demokrasi liberal yang dibawa kolonial.
“UUD 1945 sebenarnya, sejak awal sudah presidensialisme. Sukarno itu, termasuk Hatta orang yang sangat alergi dengan sistem liberal. Keduanya menganggap sistem liberal bisa diatasi dengan presidensial,” kata Anhar Gonggong dalam webinar ‘Presidensial vs Parlementer’ yang digelar PSI, Rabu, 21 April 2021.
Dia mengungkapkan, Sukarno sudah menulis anti-liberalisme sejak 1930’an dan diulang dalam Pancasila 1 Juni. “Dalam kutipannya, Dia (Sukarno) menyebut, nanti kalau kita merdeka jangan pilih demokrasi liberal, karena hanya mementingkan demokrasi politik dan mengabaikan demokrasi ekonomi,” ujarnya.
Meski demikian, menurut Anhar, terjadi dinamika hebat di masa awal kemerdekaan. Perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensialisme menjadi parlementarisme tak terelakkan, karena pemerintah Belanda masih berupaya menanamkan pengaruhnya di Indonesia.
“Celakanya, ketika kita menghadapi imperialis Belanda, terjadi perubahan dari presidensial ke parlementer, akhirnya Sutan Sjahrir jadi Perdana Menteri,” ujar peraih master di Universitas Leiden, Belanda.
Namun, kata Anhar, dari literatur buku ‘Tonggak-Tonggak di Perjalananku’ karya Ali Sastroamidjojo, berubahnya sistem presidensial menjadi parlementer merupakan manuver politik Hatta dan Sutan Sjahrir.
“Di situ tertulis, berubahnya sistem presidensial ke parlementer karena permainan Hatta dan Sutan Sjahrir untuk memotong kekuasaan Sukarno,” kata Anhar.
Penerapan sistem parlementer itu menimbulkan masalah berat. Sukarno, kata Anhar, tidak bisa berbuat banyak sebagai presiden, terlebih saat menyaksikan partai-partai politik berebut kuasa.
“Bagi Sukarno, persoalan besar yang dihadapi adalah selama delapan tahun itu. Ketika penerapan demokrasi liberal dengan sistem parlementer, membuat Sukarno tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Kejengkelan Sukarno terhadap partai-partai di parlemen tak terbendung saat peringatan Sumpah Pemuda di tahun 1956. Kala itu, Sukarno murka dan sempat berujar ingin membubarkan partai-partai politik.
Sukarno melihat yang merusak ketenangan dan menyebabkan instabilitas politik Tanah Air adalah karena partai-partai sibuk berkelahi untuk mencari kedudukan.
Tapi lagi-lagi, Sukarno tidak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan sistem presidensial, karena dasar konstitusi Indonesia turut dirombak dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat).
Anhar melanjutkan, Sukarno baru menemukan momentum mengembalikan dasar konstitusi Indonesia ke UUD 1945 pada tahun 1957. Perombakan konstitusi diikuti dengan mengembalikan sistem presidensial
“Setelah memasuki tahun 1957 Sukarno mencari cara. Dia betul-betul sudah melihat bahwa sistem parlementer hanya mementingkan partai-partai yang mencari kedudukan. Momen perebutan Irian Barat member ruang bagi Sukarno yang didukung militer untuk kembali ke UUD 1945 dan menjadi sistem presidensial lagi,” katanya.
Alih-alih terjebak pada perdebatan format sistem pemerintahan, Anhar mengatakan apa pun sistem yang dipilih harusnya memberi dampak kesejahteraan kepada rakyat.
“Sistem apapun, yang harus ada dalam pikiran kita adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat atau tidak, intinya kan itu,” kata Anhar.
Selain Anhar Gonggong, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini itu, juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti dan anggota DKPP Didik Supriyanto.
Dalam pengantar diskusi, Plt Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti, mengajak publik memikirkan ulang sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.
“Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang,” kata Dea.
PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga.
Sejumlah kelemahan sistem presidensial telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu.
Jakarta: Sistem presidensial disebut sudah mendarah daging dalam pemerintahan Indonesia. Fakta sejarah itu bisa dilacak dari berbagai tulisan Sukarno di era 1930’an, naskah Pancasila 1 Juni dan penyusunan UUD 1945.
Sejarawan Anhar Gonggong mengungkapkan perjuangan Sukarno melawan paham demokrasi liberal yang dibawa kolonial.
“UUD 1945 sebenarnya, sejak awal sudah presidensialisme. Sukarno itu, termasuk Hatta orang yang sangat alergi dengan sistem liberal. Keduanya menganggap sistem liberal bisa diatasi dengan presidensial,” kata Anhar Gonggong dalam webinar ‘Presidensial vs Parlementer’ yang digelar PSI, Rabu, 21 April 2021.
Dia mengungkapkan, Sukarno sudah menulis anti-liberalisme sejak 1930’an dan diulang dalam Pancasila 1 Juni. “Dalam kutipannya, Dia (Sukarno) menyebut, nanti kalau kita merdeka jangan pilih demokrasi liberal, karena hanya mementingkan demokrasi politik dan mengabaikan demokrasi ekonomi,” ujarnya.
Meski demikian, menurut Anhar, terjadi dinamika hebat di masa awal kemerdekaan. Perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensialisme menjadi parlementarisme tak terelakkan, karena pemerintah Belanda masih berupaya menanamkan pengaruhnya di Indonesia.
“Celakanya, ketika kita menghadapi imperialis Belanda, terjadi perubahan dari presidensial ke parlementer, akhirnya Sutan Sjahrir jadi Perdana Menteri,” ujar peraih master di Universitas Leiden, Belanda.
Namun, kata Anhar, dari literatur buku ‘Tonggak-Tonggak di Perjalananku’ karya Ali Sastroamidjojo, berubahnya sistem presidensial menjadi parlementer merupakan manuver politik Hatta dan Sutan Sjahrir.
“Di situ tertulis, berubahnya sistem presidensial ke parlementer karena permainan Hatta dan Sutan Sjahrir untuk memotong kekuasaan Sukarno,” kata Anhar.
Penerapan sistem parlementer itu menimbulkan masalah berat. Sukarno, kata Anhar, tidak bisa berbuat banyak sebagai presiden, terlebih saat menyaksikan partai-partai politik berebut kuasa.
“Bagi Sukarno, persoalan besar yang dihadapi adalah selama delapan tahun itu. Ketika penerapan demokrasi liberal dengan sistem parlementer, membuat Sukarno tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Kejengkelan Sukarno terhadap partai-partai di parlemen tak terbendung saat peringatan Sumpah Pemuda di tahun 1956. Kala itu, Sukarno murka dan sempat berujar ingin membubarkan partai-partai politik.
Sukarno melihat yang merusak ketenangan dan menyebabkan instabilitas politik Tanah Air adalah karena partai-partai sibuk berkelahi untuk mencari kedudukan.
Tapi lagi-lagi, Sukarno tidak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan sistem presidensial, karena dasar konstitusi Indonesia turut dirombak dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat).
Anhar melanjutkan, Sukarno baru menemukan momentum mengembalikan dasar konstitusi Indonesia ke UUD 1945 pada tahun 1957. Perombakan konstitusi diikuti dengan mengembalikan sistem presidensial
“Setelah memasuki tahun 1957 Sukarno mencari cara. Dia betul-betul sudah melihat bahwa sistem parlementer hanya mementingkan partai-partai yang mencari kedudukan. Momen perebutan Irian Barat member ruang bagi Sukarno yang didukung militer untuk kembali ke UUD 1945 dan menjadi sistem presidensial lagi,” katanya.
Alih-alih terjebak pada perdebatan format sistem pemerintahan, Anhar mengatakan apa pun sistem yang dipilih harusnya memberi dampak kesejahteraan kepada rakyat.
“Sistem apapun, yang harus ada dalam pikiran kita adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat atau tidak, intinya kan itu,” kata Anhar.
Selain Anhar Gonggong, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini itu, juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti dan anggota DKPP Didik Supriyanto.
Dalam pengantar diskusi, Plt Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti, mengajak publik memikirkan ulang sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.
“Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang,” kata Dea.
PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga.
Sejumlah kelemahan sistem presidensial telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)