Jakarta: Organisasi konservasi dan lingkungan WWF Indonesia menyebut polusi sampah plastik di Indonesia semakin memprihatinkan dari hari ke hari. Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun dan sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang bocor ke laut.
Manajer Marine Tourism and Plastic Pollution Free Ocean Program WWF Indonesia Indarwati Aminuddin mengatakan sampah plastik yang bocor ke laut adalah sampah yang tidak tertangani dengan baik. Jenis sampah ini didominasi pembungkus makanan dan kantong plastik sekali pakai termasuk sedotan.
"Kalau lihat urutannya ada hard plastic dan soft plastic. Soft plastic inilah yang paling banyak. Kategorinya bisa kemasan makanan, sedotan plastik, dan kantong plastik. Jenis ini hampir ditemukan di seluruh wilayah Indonesia," ujarnya melalui sambungan Skype dalam Newsline Metro TV, Selasa, 11 Desember 2018.
Indarwati menilai pengurangan sampah tidak bisa hanya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Pengetatan aturan tentang kebijakan penggunaan plastik di Indonesia juga perlu dilakukan.
Pertama, kata dia, dari sisi pengemasan. Indonesia harus sudah punya kebijakan mengatur berapa kuota plastik yang boleh digunakan untuk kemasan makanan. Andai sistem kuota tidak bisa dilakukan, opsi lain bisa dengan pembatasan jenis plastik seperti apa yang bisa diterima di Indonesia.
"Kedua plastik di negara kita sangat murah sehingga kita menganggap tidak ada alternatif lain. Saking murahnya setiap orang kalau dirata-ratakan mampu menghasilkan 700 plastik per tahun," ungkapnya.
Menurut Indarwati tidak ada yang tidak bisa dilakukan dalam upaya pengurangan sampah plastik. Kalau pun pemerintah perlu waktu untuk mengeluarkan kebijakan, langkah yang bisa diambil kemudian adalah dengan pengelolaan sampah plastik mulai dari rumah tangga.
Artinya, lanjut dia, rumah tangga dan pihak terkait yang berkepentingan dalam penggunaan plastik harus mengambil kesempatan untuk bisa selangkah lebih maju dari pemerintah dalam mereduksi sampah plastik.
"Di Bali contohnya sudah mulai mengurangi penggunaan botol plastik. Kantong plastik diganti alternatif lain dan sedotan juga sudah mulai menggunakan bambu atau pepaya," kata dia.
Indarwati menambahkan mereduksi sampah plastik yang paling tampak hasilnya adalah dengan mengurangi konsumsi plastik sekali pakai. Misalnya meninggalkan kebiasaan menggunakan plastik pembungkus makanan atau gelas dan tidak lagi memakai kantong plastik sekali pakai.
Hal terpenting lainnya adalah penyediaan infrastruktur pengumpulan sampah plastik yang harus segera dilakukan. Sebab mengumpulkan, mengambil, dan memilah sampah secara rutin saja tidak cukup efektif untuk mereduksi sampah plastik.
"Teknologi harusnya memudahkan kita melakukan sesuatu yang lebih ramah lingkungan. Ini harus didorong dengan aturan. Dengan posisi kita sebagai negara produksi sampah plastik kedua terbanyak, kita tidak bisa melawan dengan retorika melainkan angka," pungkasnya.
Jakarta: Organisasi konservasi dan lingkungan WWF Indonesia menyebut polusi sampah plastik di Indonesia semakin memprihatinkan dari hari ke hari. Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun dan sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang bocor ke laut.
Manajer Marine Tourism and Plastic Pollution Free Ocean Program WWF Indonesia Indarwati Aminuddin mengatakan sampah plastik yang bocor ke laut adalah sampah yang tidak tertangani dengan baik. Jenis sampah ini didominasi pembungkus makanan dan kantong plastik sekali pakai termasuk sedotan.
"Kalau lihat urutannya ada
hard plastic dan
soft plastic. Soft plastic inilah yang paling banyak. Kategorinya bisa kemasan makanan, sedotan plastik, dan kantong plastik. Jenis ini hampir ditemukan di seluruh wilayah Indonesia," ujarnya melalui sambungan
Skype dalam
Newsline Metro TV, Selasa, 11 Desember 2018.
Indarwati menilai pengurangan sampah tidak bisa hanya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Pengetatan aturan tentang kebijakan penggunaan plastik di Indonesia juga perlu dilakukan.
Pertama, kata dia, dari sisi pengemasan. Indonesia harus sudah punya kebijakan mengatur berapa kuota plastik yang boleh digunakan untuk kemasan makanan. Andai sistem kuota tidak bisa dilakukan, opsi lain bisa dengan pembatasan jenis plastik seperti apa yang bisa diterima di Indonesia.
"Kedua plastik di negara kita sangat murah sehingga kita menganggap tidak ada alternatif lain. Saking murahnya setiap orang kalau dirata-ratakan mampu menghasilkan 700 plastik per tahun," ungkapnya.
Menurut Indarwati tidak ada yang tidak bisa dilakukan dalam upaya pengurangan sampah plastik. Kalau pun pemerintah perlu waktu untuk mengeluarkan kebijakan, langkah yang bisa diambil kemudian adalah dengan pengelolaan sampah plastik mulai dari rumah tangga.
Artinya, lanjut dia, rumah tangga dan pihak terkait yang berkepentingan dalam penggunaan plastik harus mengambil kesempatan untuk bisa selangkah lebih maju dari pemerintah dalam mereduksi sampah plastik.
"Di Bali contohnya sudah mulai mengurangi penggunaan botol plastik. Kantong plastik diganti alternatif lain dan sedotan juga sudah mulai menggunakan bambu atau pepaya," kata dia.
Indarwati menambahkan mereduksi sampah plastik yang paling tampak hasilnya adalah dengan mengurangi konsumsi plastik sekali pakai. Misalnya meninggalkan kebiasaan menggunakan plastik pembungkus makanan atau gelas dan tidak lagi memakai kantong plastik sekali pakai.
Hal terpenting lainnya adalah penyediaan infrastruktur pengumpulan sampah plastik yang harus segera dilakukan. Sebab mengumpulkan, mengambil, dan memilah sampah secara rutin saja tidak cukup efektif untuk mereduksi sampah plastik.
"Teknologi harusnya memudahkan kita melakukan sesuatu yang lebih ramah lingkungan. Ini harus didorong dengan aturan. Dengan posisi kita sebagai negara produksi sampah plastik kedua terbanyak, kita tidak bisa melawan dengan retorika melainkan angka," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)