Umat muslim mengikuti aksi 212 di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/2)/ ANTARA FOTO/Wahyu Putro
Umat muslim mengikuti aksi 212 di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/2)/ ANTARA FOTO/Wahyu Putro

FOKUS

Saatnya Umat Mengarifi

Sobih AW Adnan • 22 Maret 2017 21:25
medcom.id, Jakarta: 'Saatnya ummat memilih', begitu tulisan stiker yang rencananya ditempelkan pada kemeja maupun jilbab relawan Tamasya Al-Maidah.
 
Episode lanjutan 'Aksi Bela Islam' rupanya masih ada. Cuma saja, praktiknya agak beda. Relawan yang sudah mendaftar bisa ambil bagian dalam 'mengawasi' tempat pemungutan suara (TPS) pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
 
Mereka, mengajak banyak orang dari luar Ibu Kota untuk datang dan bertugas pada 19 April 2017, tepat di hari pencoblosan.

Ketika tulisan ini diturunkan, aplikasi pendaftaran relawan yang terunggah di Play Store itu baru terunduh sekira 1.000-an akun. Sementara yang diklaim Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) melalui pengacaranya, Kapitra Ampera, sudah ada sekitar 800.000 pendaftar.
 
Ini menarik. Sebab, apa kaitannya kata 'umat', 'memilih', dengan orang-orang daerah yang dikerahkan dalam pesta demokrasi di DKI? Sebab, cukup wajar jika banyak orang menduga bahwa gerakan ini sangat berpeluang menjadi ajang intimidasi.
 
Saatnya Umat Mengarifi
 
Melampaui konstitusi
 
Jika tak bosan, bolehlah mengurut cerita dari awal. Aksi Bela Islam sebelumnya dilakukan hingga tiga babak. Yang terheboh, aksi 411 dan 212 pada November dan Desember 2016.
 
Ratusan ribu orang yang kebanyakan berbaju putih menyemut di Jakarta. Mereka, yang beberapa kali dihimpun jelang Pilkada DKI putaran pertama itu menyuarakan suara yang serupa; menuntut dipenjarakannya Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama lantaran dianggap menistakan agama terkait pengutipan QS. Al-Maidah ayat 51.
 
Pasca pencobolosan, aksi-aksi serupa nyaris tak lagi terdengar. Termasuk, jumlah peserta aksi rutinan dalam mengawal persidangan calon petahana itu kian pekan makin berkurang. Baru, kemudian beberapa minggu belakangan terdengar  ajakan melakukan aksi dengan semangat 212 di media sosial. Tamasya Al-Maidah diaku sebagai gerakan damai demi berlangsungnya Pilkada DKI yang tertib dan aman.
 
Ya, tertib dan aman. Tapi, rasa-rasanya, kedua kata itu lebih pas jika dilontarkan dari penyelenggara, pengawas, dan petugas keamanan. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian, serta beberapa instansi lain di Jakarta memang sudah dari sononya bertugas dan bertanggung jawab.
 
Tentu, ini bisa dianggap sebabak masalah tersendiri dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam prinsip masyarakat modern, menyerahkan -jika memang tidak mau disebut memercayakan- kepada sistem menjadi satu ketentuan baku dalam tatanan bernegara. Masyarakat, meski menjadi acuan segala kebijakan, tetap tidak dapat bisa sesuka hati melakukan A atau B yang notabene sudah menjadi pos petugas yang berwenang. Bukankah kita sudah cukup karib dengan kemunculan profesi hakim dalam imbauan 'Jangan main hakim sendiri'? Melakukan sesuatu di luar kapasitas dan kewenangan.
 
Inisiatif Aksi Bela Islam dan turunannya memang kerap diklaim sebagai gerakan murni kaum muslim. Muslim secara keseluruhan. Seolah tanpa mengindahkan kemajemukan yang sejatinya mewujud di dalam internal Islam itu sendiri, terlebih di Indonesia.
 
Keakuan sebagai Islam, membawa semangat gagasan ini seakan-akan sebagai aspirasi kebanyakan orang. Bayangkan saja, jika menengok sensus 2010, ada 207 juta jiwa alias 87,18 persen dari total penduduk Indonesia beragama Islam.
 
Dalam kajian-kajian klasik, membawa bendera keumuman untuk memaksakan sesuatu masyhur disebut tirani mayoritas. Apalagi, jika Tamasya Al-Maidah ini terjebak pada perangkap intervensi politik, bahkan teror politik demi memenangkan satu pasangan calon yang dihasrati.
 
Dalam kajian Islam, hal itu juga lazim tidak diperkenankan.
 
Seorang ahli hukum Islam kelahiran Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na'im, dalam Dekonstruksi Syariah: Wacana kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan hubungan internasional dalam Islam (1990), mengatakan seorang muslim semestinya menjunjung nilai kesetaraan sebagai mana prinsip yang diusung kebanyakan negara modern. Islam, tak patut menjadikan sebutan mayoritas dan minoritas dalam menorehkan manfaat kepada banyak orang.
 
"Istilah minoritas dan mayoritas dapat melahirkan persoalan karena mayoritas angka tidak harus menjadi mayoritas politik. Yang penting adalah prinsip perlindungan  hak-hak siapa saja yang dilecehkan atau diancam dalam penindasan atau diskriminasi, baik ia mayoritas, minoritas, maupun perseorangan," tulis An-Na'im.
 
Intinya, prinsip Islam tak menghendaki intimidasi, terlebih pemaksaan dalam sistem konstitusi. Apa sebab? dalam Tirani Islam: Genealogi masyarakat dan negara (1994), pemikir Islam kontemporer Syiria, Muhammad Syahrur pernah bilang, tirani mayoritas yang digerakkan untuk menyuarakan sistem kekuasaan di bawah jargon kekuasaan kebanyakan orang, sejatinya, seruan itu menyembunyikan 'nalar tiran' di belakangnya.
 
"Bentuknya, memaksakan pendapat mayoritas dan mengalahkan minoritas. Menggunakan kekuatan paksaan," tulis dia.
 
Arif dalam beragama dan bernegara
 
Soal berislam di Indonesia, kita patut bersyukur memiliki dua acuan besar; Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Oleh kedua rumah ini, serta beberapa komunitas dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam moderat lainnya, sudah tidak ada lagi pertentangan antara agama dan negara.
 
Oleh mereka, kemajemukan bangsa Indonesia dipahami sebagai rahmat. Itu lah yang membuat kebanyakan dari muslim di Indonesia mendukung keberadaan Pancasila. Bahkan. dalam istilah Muhammadiyah, Pancasila dikenal sebagai Darul ahdi wa asy-syahadah, konsensus nasional dan prinsip kesaksian.
 
Almarhum Nurcholish Madjid, sang intelektual muslim pembaharu itu, bahkan memaknai Pancasila sebagai kalimatun sawa’ atau kalimat persesuaian.
 
Tentu saja, persesuaian itu bisa pula dimaknai sebagai persesuaian pendapat antara golongan kebangsaan dan golongan Islam, saat kedua golongan itu, seperti kata Bung Karno di tahun 1945, bersepakat mendirikan negara Republik Indonesia.
 
Di dalam negara Indonesia itulah keadilan dan kemakmuran diwujudkan bersama, dan di dalam negara berbentuk republik itu kebahagiaan dan kesentosaan berlaku “satu buat semua” serta “semua buat satu.”
 
Ada dialektika sejarah yang keras di situ. Berawal dari kesepakatan dua golongan besar di tubuh bangsa ini, selanjutnya bermetamorfosis melahirkan jenis citizenship atau kewarganegaraan yang baru: democratic citizenship. Kebulatan tekad bersama mendirikan negara, yang didahului oleh kalimat persesuaian yang prinsipil, pada akhirnya melahirkan jenis kewargaanegaraan baru, jenis manusia baru, yang bernama manusia Indonesia.
 
Sayangnya, mereka yang lebih memilih jalan tengah itu, kerap dijadikan sasaran kelompok tertentu lantaran dianggap lembek dan tidak tegas dalam memperjuangkan Islam. Persis seperti yang pernah diungkapkan pemikir Islam, Muhammad Abid Al-Jabiri dalam Mas'ala al-Huwiyya: al-Uruba wa-al-Islam wa-al-Gharb.
 
Pada sumber lain, Jabiri memakai istilah ekstemis dalam menyebut orang-orang berwatak seperti itu. Serupa teori yang diungkap pemikir Islam, Muhammad Sa'id Al-Asynawi dalam Al-Islam al-Siyasi. Ia menggunakan istilah ekstemisme untuk menggambarkan gerakan suatu kelompok yang ingin merebut kekuasaan dengan menunggangi isu-isu agama.
 
"Mengembuskan krisis kepercayaan terhadap lembaga negara. Isu-isu itu lazim sebagai alat untuk merebut kekuasaan atau membangkang kepada hukum,"
 
Tapi kiranya, Muslim Indonesia bukan penganut keagamaan seperti itu. Dengan fakta kemajemukan yang sudah mengakar sejak mula, segala perbedaan pandangan boleh ada agar keadaan tetap berimbang. Saling kritik-saling koreksi. Saling mengawasi dan menjadi penyeimbang satu sama lain.
 
Perlu ketaatan dalam beragama, begitu juga butuh kearifan dalam berpolitik dan bernegara. Pesta demokrasi ini memang diperuntukkan bagi warga Jakarta. Mereka bebas, mereka berdaulat menentukan pilihan. Sementara kita, atau semua umat; cukup mengarifi.
 
Bukankah apapun hasil Pilkada DKI, siapapun yang terpilih, hakikatnya adalah buah dari pilihan Indonesia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan