medcom.id, Bali: Umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka 1939. Dalam menyambut peralihan tahun, sejumlah ritual diselenggarakan yang bertujuan menciptakan kesejahteraan alam dengan mengendalikan sifat-sifat buruk.
Hari suci Nyepi senyatanya memiliki dua makna. Selain memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penganut agama Hindu pada hari tersebut melakukan introspeksi diri untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Untuk mencapai pemaknaan itu, ada ritual nyomia Bhuta Kala. Ritual ini ingin menenangkan semua wujud dan kekuatan Bhuta Kala yang merusak terdiri dari panca maha bhuta, yaitu unsur apah atau air, teja atau cahaya/api, bayu atau angin, akasa atau langit/kekosongan, serta pertiwi atau tanah.
Agar Bhuta Kala menjadi somia alias dalam keadaan tenang, senang, dan bahagia, dilakukan upacara Tawur Agung Kesanga. Upacara ini disebut juga Bhuta yadnya.
Keberadaan yadnya atau persembahan diharapkan mendatangkan hujan sebagai lambang kesejahteraan alam. Tawur Agung Kesanga juga bermakna melepaskan sifat serakah. Tawur berarti mengembalikan atau membayar.
Selama ini manusia selalu mengambil bermacam sumber alam untuk mempertahankan hidup. Perilaku mengambil perlu diimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan yang ikhlas.
Upacara Tawur Agung Kesanga biasanya digelar sehari sebelum Nyepi. Pada sore hingga malam hari digelar pengerupukan dengan arak-arakan ogoh-ogoh di seluruh pelosok.
Ogoh-ogoh merupakan representasi Bhuta Kala. Pada Hari Nyepi, dilaksanakan caturbrata penyepian.
Ada empat hal yang dilakukan, yaitu amati geni (tidak ada nyala api atau yang menimbulkan cahaya), amati karya (tidak bekerja atau istirahat untuk menenangkan diri), amati lelungaan (tidak keluar rumah), dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan dan tidak boleh ada kebisingan).
Mengubah watak
Menurut Ketua Forum Komunikasi Antarumat Beragama (FKUB) Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, kemarin, kondisi sepi, hening, dan heneng menjadi syarat bagi semua unsur Bhuta Kala menjadi tenang, senang, bahkan bahagia atau somia.
Keadaan ramai, gaduh, dan hiruk pikuk akan menjadi suasana yang kondusif untuk timbulnya karakter Bhuta Kala.
Pada saat somia, karakter Bhuta Kala akan berubah dari watak buruk yang merusak, menghancurkan, membinasakan menjadi watak dewa dengan karakter baik yang menolong, mengasihi, dan bermanfaat bagi kehidupan.
"Nyomia berarti membuat tenang, senang, dan bahagia, bukan mengusir, apalagi membunuh. Bhuta Kala tidak diusir, apalagi hendak dibunuh, tetapi di-somia yaitu dengan menghormati, menjaga, dan memelihara," tandas Ida Panglingsir.
Kita sebagai bangsa seharusnya dapat mengambil hikmah atas perayaan Hari Nyepi yang dilakukan umat Hindu di Bali. Salah satunya, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, berbagai hal yang merusak persatuan wajib dikendalikan. (Antara)
medcom.id, Bali: Umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka 1939. Dalam menyambut peralihan tahun, sejumlah ritual diselenggarakan yang bertujuan menciptakan kesejahteraan alam dengan mengendalikan sifat-sifat buruk.
Hari suci Nyepi senyatanya memiliki dua makna. Selain memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penganut agama Hindu pada hari tersebut melakukan introspeksi diri untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Untuk mencapai pemaknaan itu, ada ritual nyomia Bhuta Kala. Ritual ini ingin menenangkan semua wujud dan kekuatan Bhuta Kala yang merusak terdiri dari panca maha bhuta, yaitu unsur apah atau air, teja atau cahaya/api, bayu atau angin, akasa atau langit/kekosongan, serta pertiwi atau tanah.
Agar Bhuta Kala menjadi somia alias dalam keadaan tenang, senang, dan bahagia, dilakukan upacara Tawur Agung Kesanga. Upacara ini disebut juga Bhuta yadnya.
Keberadaan yadnya atau persembahan diharapkan mendatangkan hujan sebagai lambang kesejahteraan alam. Tawur Agung Kesanga juga bermakna melepaskan sifat serakah. Tawur berarti mengembalikan atau membayar.
Selama ini manusia selalu mengambil bermacam sumber alam untuk mempertahankan hidup. Perilaku mengambil perlu diimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan yang ikhlas.
Upacara Tawur Agung Kesanga biasanya digelar sehari sebelum Nyepi. Pada sore hingga malam hari digelar pengerupukan dengan arak-arakan ogoh-ogoh di seluruh pelosok.
Ogoh-ogoh merupakan representasi Bhuta Kala. Pada Hari Nyepi, dilaksanakan caturbrata penyepian.
Ada empat hal yang dilakukan, yaitu amati geni (tidak ada nyala api atau yang menimbulkan cahaya), amati karya (tidak bekerja atau istirahat untuk menenangkan diri), amati lelungaan (tidak keluar rumah), dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan dan tidak boleh ada kebisingan).
Mengubah watak
Menurut Ketua Forum Komunikasi Antarumat Beragama (FKUB) Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, kemarin, kondisi sepi, hening, dan heneng menjadi syarat bagi semua unsur Bhuta Kala menjadi tenang, senang, bahkan bahagia atau somia.
Keadaan ramai, gaduh, dan hiruk pikuk akan menjadi suasana yang kondusif untuk timbulnya karakter Bhuta Kala.
Pada saat somia, karakter Bhuta Kala akan berubah dari watak buruk yang merusak, menghancurkan, membinasakan menjadi watak dewa dengan karakter baik yang menolong, mengasihi, dan bermanfaat bagi kehidupan.
"Nyomia berarti membuat tenang, senang, dan bahagia, bukan mengusir, apalagi membunuh. Bhuta Kala tidak diusir, apalagi hendak dibunuh, tetapi di-somia yaitu dengan menghormati, menjaga, dan memelihara," tandas Ida Panglingsir.
Kita sebagai bangsa seharusnya dapat mengambil hikmah atas perayaan Hari Nyepi yang dilakukan umat Hindu di Bali. Salah satunya, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, berbagai hal yang merusak persatuan wajib dikendalikan. (
Antara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)