medcom.id, Jakarta: Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan gembong teroris Santoso yang tewas ditembak Tim Satgas Tinombala, masih dianggap pahlawan oleh sebagian masyarakat Poso. Pada proses penguburan jenazah Santoso, masyarakat berbondong-bondong mengantarkannya hingga ke liang lahat.
Tito menjelaskan, sebelum Santoso menjadi radikal, ia dan kawan-kawannya menjadi garda terdepan di kampung-kampung minoritas muslim saat terjadi konflik.
"Bagi mereka, dia (Santoso) adalah pahlawan. Karena saat konflik, Santoso datang dan menjadi pembela berada di garis depan untuk kaum muslim minoritas di Poso," kata Tito di Kantor Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016).
Tito meminta pemerintah dan instansi terkait memberikan pemahaman agar masyarakat di Poso tidak mudah dipngaruhi paham radikal.
"Kita ambil contoh di Poso, benar sudah ada perjanjian damai, tapi itu hanya di tingkat eksekutifnya saja, tak sampai ke grass root. Sehingga, dendam masih ada di Poso," lanjut Tito.
Tito menjelaskan, untuk meredam dan menghilangkan dendam tersebut, pemerintah bisa membuat beragam kegiatan keagamaan.
"Ini tantangan kita bagaimana menyadarkan kelompok-kelompok masyarakat yang terindikasi paham radikal, kita juga harus cepat membangun bekas-bekasnya, Pesantren dan Gereja yang dibakar harus cepat dibangun kembali usai konflik," pungkas Tito.
medcom.id, Jakarta: Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan gembong teroris Santoso yang tewas ditembak Tim Satgas Tinombala, masih dianggap pahlawan oleh sebagian masyarakat Poso. Pada proses penguburan jenazah Santoso, masyarakat berbondong-bondong mengantarkannya hingga ke liang lahat.
Tito menjelaskan, sebelum Santoso menjadi radikal, ia dan kawan-kawannya menjadi garda terdepan di kampung-kampung minoritas muslim saat terjadi konflik.
"Bagi mereka, dia (Santoso) adalah pahlawan. Karena saat konflik, Santoso datang dan menjadi pembela berada di garis depan untuk kaum muslim minoritas di Poso," kata Tito di Kantor
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016).
Tito meminta pemerintah dan instansi terkait memberikan pemahaman agar masyarakat di Poso tidak mudah dipngaruhi paham radikal.
"Kita ambil contoh di Poso, benar sudah ada perjanjian damai, tapi itu hanya di tingkat eksekutifnya saja, tak sampai ke grass root. Sehingga, dendam masih ada di Poso," lanjut Tito.
Tito menjelaskan, untuk meredam dan menghilangkan dendam tersebut, pemerintah bisa membuat beragam kegiatan keagamaan.
"Ini tantangan kita bagaimana menyadarkan kelompok-kelompok masyarakat yang terindikasi paham radikal, kita juga harus cepat membangun bekas-bekasnya, Pesantren dan Gereja yang dibakar harus cepat dibangun kembali usai konflik," pungkas Tito.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)