Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish

Quraish Shihab tak Peduli Dianggap Soehartois

Tri Kurniawan • 09 Juli 2015 12:28
medcom.id, Jakarta: Soeharto benar-benar menjadi pesakitan setelah meletakkan jabatan Presiden. Hujatan untuk menyeretnya ke pengadilan makin menggema.
 
Orang-orang yang selama Pak Harto berkuasa dikenal dekat atau mengaku dekat tiba-tiba menjauh. "Boleh jadi karena takut dianggap Soehartois atau tak lagi mendapat keuntungan," kata cendikiawan Muslim Quraish Shihab.
 
Quraish mungkin salah seorang yang masih tetap setia mendampingi Pak Harto hingga dalam posisi sulit sekali pun. Bahkan hubungannya dengan Pak Harto makin dekat.

"Dulu, saya sering datang dan bicara tentang keagamaan kepada Pak Harto dan keluarganya. Sekarang ketika posisinya sulit, tidaklah etis dari sisi agama untuk memutus hubungan. Saya tidak peduli orang akan mencap saya Soehartois."
 
Hal itu sekaligus membuktikan bahwa Quraish tak berharap keuntungan materi dari kedekatannya dengan keluarga Cendana. Dia yakin semua orang tahu keluarga ini mendapat anugerah Ilahi, berkecukupan materi.
 
"Saya ingin mereka menjadikan materi yang berlimpah itu diarahkan sesuai dengan tuntunan agama. Kalau mereka keliru menerapkan ajaran agama, saya katakan keliru. Kalau benar, saya benarkan. Saya tak mendapatkan keuntungan materi sedikit pun," kata Quraish.
 

Quraish Shihab tak Peduli Dianggap Soehartois
Soeharto mengundurkan diri. Foto: Wikipedia
 

Kedekatan Quraish dengan Pak Harto bermula dari hubungannya dengan Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Pak Harto. Hubungan makin dekat saat Quraish diminta menjadi penerjemah di Istana Negara.
 
Maret 1998, Soeharto menunjuk Quraish sebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Dua bulan kemudian, pemerintahan Orde Baru tumbang.
 
Quraish malah berperan sebagai penghubung antara Pak Harto dengan tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Emha Ainun Nadjib. Pak Harto sempat ingin membentuk Komite Reformasi. Ia ingin tokoh tersebut mengawal Komite Reformasi bahkan menunjuk Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai ketuanya.
 
"Saya yang menyampaikan pesan Pak Harto pada Cak Nur dan membujuknya untuk menerima kepercayaan Pak Harto. Tapi Cak Nur menolak dengan alasan tidak enak pada kawan-kawan yang menuntut Pak Harto mundur," cerita Quraish.
 
Hari-hari itu, menurut Quraish, sangat menegangkan dan membebani Pak Harto yang sudah berusia 77 tahun. Namun, dia menyaksikan sang Presiden tetap tegar saat menerima kabar Cak Nur menolak.
 

Quraish Shihab tak Peduli Dianggap Soehartois
Sejumlah mahasiswa di gedung MPR/DPR, meluapkan emosi saat siaran langsung Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden, Kamis 21 Mei 1998. Antara Foto /Saptono
 

Quraish melihat raut kekecewaan di wajah Pak Harto, tapi emosinya tetap terjaga. "Ya sudah, kalau begitu saya mundur. Nurcholish yang moderat saja sudah tidak bisa menerima saya," tutur Quraish mengutip pernyataan Pak Harto.
 
Hal itu Soeharto sampaikan pada Rabu malam 20 Mei 1998, di rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Quraish dan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid yang pertama kali mendengar rencana Soeharto mundur dari Presiden. Esok harinya, Pak Harto mengumumkan pengunduran diri.
 

Cerita tersebut dikutip dari buku Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish Shihab karya Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa yang diterbitkan Lentera Hati.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan