medcom.id, Jakarta: Sebegitu angkuhnya Pemerintah Kolonial Belanda. Sejauh apa pun perjanjian demi perjanjian disepakati, sejatinya, mereka amat berat hati mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Bahkan, M. Cohen Stuart-Franken, dalam Van Indie tot Indonesie voor, in en na het kamp (1947) menceritakan, seorang perempuan Belanda menangkap pengertian berbeda ketika mendengar pribumi memekikkan kata "merdeka".
"Karena tidak kenal istilah 'merdeka', si perempuan Belanda malah menyangka orang itu menjual 'mentega'," tulis buku itu, sebagaimana dikutip Robert Elson, dalam The idea of Indonesia (2008).
Mahardika
Sebaliknya, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan didengungkan, istilah "merdeka" sudah cukup dimafhum rakyat Indonesia. Malahan, beberapa sumber bilang, kata itu diambil dari bahasa Sanksekerta dengan bentuk asal "mahardika". Maknanya, bebas dari kepentingan.
Salah satunya, serupa yang tertera dalam Kekawin Niti Sastra, bait undang-undang moral yang digubah pada pengujung kejayaan Majapahit.
"Yan tan mada, maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita (Orang bijaksana, seorang berbudi merdeka. Seseorang yang bebas dari hal-hal keduniaan yang memabukkan)."
Meski begitu, tak sejujurnya Belanda menganggap asing sebutan "merdeka". Toh, Bernard Hubertus Maria Vlekke, dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008) menyebutkan, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia menambahkan sebutan "Madjiker" dalam tingkatan sosial selain Eropa, pribumi, tionghoa, dan Timur Asing.
Mardjiker adalah transformasi bahasa Belanda dari kata 'mahardika'. Kata itu, dipakai untuk menyebut penduduk non-muslim bekas budak dari India, atau negara lain.
"Para Mardjiker dianggap Belanda punya reputasi buruk," tulis Vlekke dalam buku tersebut.
Peran pers
Kata "merdeka" kian masyhur melalui dorongan pers. Sebagian dari mereka, bahkan tak ragu membubuhkan jargon sensistif itu sebagai nama koran atau surat kabar.
Ambil misal, menjelang 1920, sudah muncul Soeara Merdeka. Sebelum dipakai ulang oleh sebuah koran yang terbit di Semarang pada 1950, nama ini sudah dijadikan untuk media propaganda milik Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada 1914.
Begitu juga di pantai timur Sumatra. Pada 1916, muncul surat kabar bernama Benih Merdeka. Kehadiran media ini membuktikan perlawanan terhadap kolonial Belanda tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, juga sebagai saksi atas peran dan perjuangan pers masa lampau demi kemerdekaan Indonesia.
"Selanjutnya istilah tersebut muncul dalam nama-nama Sinar Merdeka di Sumatra Utara pada 1919, Sora Mardika di Bandung pada 1920, Sora Ra'jat Merdika di Garut pada 1931, dan beberapa yang lainnya," tulis Yudi Latif, dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (2003).
Istilah "merdeka", kemudian makin masyhur setelah diteriakkan Sutomo pada 10 November 1945. Sosok yang karib disapa Bung Tomo itu memekikkan jargon "merdeka atau mati!" melalui siaran radio demi menggelorakan semangat perlawanan penduduk Surabaya, Jawa Timur atas ancaman tentara Sekutu yang diboncengi Belanda.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!" seru Bung Tomo.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ZkePADvb" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Sebegitu angkuhnya Pemerintah Kolonial Belanda. Sejauh apa pun perjanjian demi perjanjian disepakati, sejatinya, mereka amat berat hati mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Bahkan, M. Cohen Stuart-Franken, dalam
Van Indie tot Indonesie voor, in en na het kamp (1947) menceritakan, seorang perempuan Belanda menangkap pengertian berbeda ketika mendengar pribumi memekikkan kata "merdeka".
"Karena tidak kenal istilah 'merdeka', si perempuan Belanda malah menyangka orang itu menjual 'mentega'," tulis buku itu, sebagaimana dikutip Robert Elson, dalam
The idea of Indonesia (2008).
Mahardika
Sebaliknya, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan didengungkan, istilah "merdeka" sudah cukup dimafhum rakyat Indonesia. Malahan, beberapa sumber bilang, kata itu diambil dari bahasa Sanksekerta dengan bentuk asal "mahardika". Maknanya, bebas dari kepentingan.
Salah satunya, serupa yang tertera dalam Kekawin
Niti Sastra, bait undang-undang moral yang digubah pada pengujung kejayaan Majapahit.
"
Yan tan mada, maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita (Orang bijaksana, seorang berbudi merdeka. Seseorang yang bebas dari hal-hal keduniaan yang memabukkan)."
Meski begitu, tak sejujurnya Belanda menganggap asing sebutan "merdeka". Toh, Bernard Hubertus Maria Vlekke, dalam
Nusantara: Sejarah Indonesia (2008) menyebutkan, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia menambahkan sebutan
"Madjiker" dalam tingkatan sosial selain Eropa, pribumi, tionghoa, dan Timur Asing.
Mardjiker adalah transformasi bahasa Belanda dari kata 'mahardika'. Kata itu, dipakai untuk menyebut penduduk non-muslim bekas budak dari India, atau negara lain.
"Para
Mardjiker dianggap Belanda punya reputasi buruk," tulis Vlekke dalam buku tersebut.
Peran pers
Kata "merdeka" kian masyhur melalui dorongan pers. Sebagian dari mereka, bahkan tak ragu membubuhkan jargon sensistif itu sebagai nama koran atau surat kabar.
Ambil misal, menjelang 1920, sudah muncul
Soeara Merdeka. Sebelum dipakai ulang oleh sebuah koran yang terbit di Semarang pada 1950, nama ini sudah dijadikan untuk media propaganda milik Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada 1914.
Begitu juga di pantai timur Sumatra. Pada 1916, muncul surat kabar bernama
Benih Merdeka. Kehadiran media ini membuktikan perlawanan terhadap kolonial Belanda tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, juga sebagai saksi atas peran dan perjuangan pers masa lampau demi kemerdekaan Indonesia.
"Selanjutnya istilah tersebut muncul dalam nama-nama
Sinar Merdeka di Sumatra Utara pada 1919,
Sora Mardika di Bandung pada 1920,
Sora Ra'jat Merdika di Garut pada 1931, dan beberapa yang lainnya," tulis Yudi Latif, dalam Inteligensia
Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (2003).
Istilah "merdeka", kemudian makin masyhur setelah diteriakkan Sutomo pada 10 November 1945. Sosok yang karib disapa Bung Tomo itu memekikkan jargon "merdeka atau mati!" melalui siaran radio demi menggelorakan semangat perlawanan penduduk Surabaya, Jawa Timur atas ancaman tentara Sekutu yang diboncengi Belanda.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!" seru Bung Tomo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)