medcom.id, Jakarta: Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menuntut pemerintah mendata korban terdampak lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga kini, data tersebut tak kunjung muncuul.
"Harus segera melakukan inventarisasi atau pendataan korban warga terdampak sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 dan kovenan-kovenan internasional lainnya," kata Nurkhoiron di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Senin 29 Mei 2017.
Pemerintah maupun PT Lapindo Brantas hanya memiliki data warga berdasarkan verifikasi untuk mekanisme jual beli. Artinya, hanya korban yang memiliki lahan yang tercatat.
Menurut Nurkhoiron ada empat jenis korban yang perlu didata. Pertama, korban yang belum menikmati pemulihan menggunakan mekanisme jual beli. Kedua, korban yang mengalami perpindahan penduduk secara terpaksa terutama yang belum mendapatkan hak atas kesejahteraan sebagaimana yang mereka dapatkan sebelum menjadi korban bencana.
Ketiga, korban yang kehilangan hak atas pekerjaan, dan keempat, kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan yang kehilangan hak-haknya.
"Empat kelompok itu saja tidak ada, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak menyediakan data," ujar Nurkhoiron.
Penangangan masalah lumpur Lapindo sebelumnya dilakukan BPLS yang telah dibubarkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2017. Pengendalian lumpur Lapindo kini dipegang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ia juga kurang sepakat jika penanganan lumpur Lapindo dialihkan ke Kementerian PUPR. Nurkhoiron menilai, Kementerian PUPR akan memiliki keterbatasan dibanding jika ditangani BPLS.
"Menurut kami ketika BPLS dialihkan ke PUPR, maka kewenangannya terbatas. Kalau dulu BPLS bertanggung jawab ke Presiden dan koordinasi dengan menteri terkait, juga dewan pengarah dari banyak menteri. Sekarang hanya dibebankan ke satu sektor kementerian, artinya kewenangan terbatas. Mungkin hanya pemulihan infrastrukturnya saja," beber dia.
medcom.id, Jakarta: Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menuntut pemerintah mendata korban terdampak lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga kini, data tersebut tak kunjung muncuul.
"Harus segera melakukan inventarisasi atau pendataan korban warga terdampak sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 dan kovenan-kovenan internasional lainnya," kata Nurkhoiron di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Senin 29 Mei 2017.
Pemerintah maupun PT Lapindo Brantas hanya memiliki data warga berdasarkan verifikasi untuk mekanisme jual beli. Artinya, hanya korban yang memiliki lahan yang tercatat.
Menurut Nurkhoiron ada empat jenis korban yang perlu didata. Pertama, korban yang belum menikmati pemulihan menggunakan mekanisme jual beli. Kedua, korban yang mengalami perpindahan penduduk secara terpaksa terutama yang belum mendapatkan hak atas kesejahteraan sebagaimana yang mereka dapatkan sebelum menjadi korban bencana.
Ketiga, korban yang kehilangan hak atas pekerjaan, dan keempat, kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan yang kehilangan hak-haknya.
"Empat kelompok itu saja tidak ada, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak menyediakan data," ujar Nurkhoiron.
Penangangan masalah lumpur Lapindo sebelumnya dilakukan BPLS yang telah dibubarkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2017. Pengendalian lumpur Lapindo kini dipegang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ia juga kurang sepakat jika penanganan lumpur Lapindo dialihkan ke Kementerian PUPR. Nurkhoiron menilai, Kementerian PUPR akan memiliki keterbatasan dibanding jika ditangani BPLS.
"Menurut kami ketika BPLS dialihkan ke PUPR, maka kewenangannya terbatas. Kalau dulu BPLS bertanggung jawab ke Presiden dan koordinasi dengan menteri terkait, juga dewan pengarah dari banyak menteri. Sekarang hanya dibebankan ke satu sektor kementerian, artinya kewenangan terbatas. Mungkin hanya pemulihan infrastrukturnya saja," beber dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)