ILUSTRASI: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri peresmian Jalan Tol Becakayu Jakarta, Jumat (3/11)/ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.
ILUSTRASI: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri peresmian Jalan Tol Becakayu Jakarta, Jumat (3/11)/ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

FOKUS

Jika Jakarta Pilih Wisata Syariah

Sobih AW Adnan • 07 November 2017 21:51
medcom.id, Jakarta: Menempati posisi ketiga setelah pajak kendaraan dan bangunan, sektor hiburan menjadi andalan bagi pendapatan asli daerah (PAD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
 
Dengar-dengar, bisa menyumbang hingga Rp4 triliun di setiap tahunnya.
 
Klasifikasi PAD sektor ini terbagi ke dalam tiga jenis. Pajak restoran sebesar 10%, live music (25%), serta pajak tempat karaoke dan spa (35%).

Angka yang cukup besar. Terlebih, jika dihitung dengan mengacu data paling mutakhir dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Bahwa per 19 September 2017, dari 4.000-an jumlah hotel di Jakarta, terjadi pertumbuhan sekitar 337 hotel berbintang, 1.172 bar, 4.124 restoran, 81 diskotek, 310 karaoke, 8 kelab malam, 285 griya pijat, 20 spa, dan 7 mandi uap.
 
Riuh rendah penutupan hotel Alexis di bilangan Pademangan, Jakarta Utara, kemarin, barangkali membuat para pengusaha bisnis hiburan ketar-ketir. Tapi, di sisi lain, sudah siapkah Pemprov kehilangan sedikit banyak pendapatannya dari sektor yang sejak lama turut menyokong kemajuan Jakarta?
 
Baca: [Fokus] Simbolis Via Alexis
 
Syariah, asal optimal
 
Desas-desus lebih lanjut, Pemprov DKI Jakarta memang tengah getol mendorong, bahkan amat berkeinginan menyulap sektor hiburan menjadi 'serba halal'. Malahan, Wakil Gubernur Sandiaga Salahuddin Uno bilang, bukan mustahil, jika nama Alexis pun diubah menjadi Al Ikhlas.
 
Intinya, bersiap menuju industri pariwisata dan hiburan Jakarta yang syariah. Demi menggolkan gagasan ini, Pemprov pun siap menggandeng perkumpulan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).
 
Gagasan industri halal, termasuk sektor hiburan dan pariwisata ini memang tak mengada-ada. Belakangan, Indonesia disorot sebagai negara yang paling potensial menjelma pasar perekonomian syariah. Tentu, lantaran 85% lebih penduduk di dalamnya beragama Islam.
 
Bayangkan, dari industri makanan saja, Bank Indonesia (BI) menyebut asalkan berlabel halal ternyata mampu menyedot USD160 miliar pada 2015.
 
Itu pun, Indonesia masih terbilang telat. Sebab, di sektor pariwisata, negara seasia lainnya seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Korea sudah jauh hari menyeriusi proyek tersebut dengan menggunakan istilah muslim friendly.
 
Perbandingannya, lumayan kentara. Khusus wisata halal, Malaysia setidaknya mendapat 3,5 juta wisatawan Muslim dalam setiap tahunnya. Lebih-lebih Thailand, hingga 4 juta turis. Sementara Indonesia, cuma 2,2 sampai 2,5 juta pelancong saja.
 
Artinya, tak ada salahnya bila Pemprov DKI memunculkan gagasan untuk coba-coba peluang anyar. Dengan syarat, tetap melalui pola yang matang dan kinerja optimal. Bukan dengan sekadar menyulap setiap nama menjadi kearab-araban.
 
Bersih-bersih, bukan pilih kasih
 
Nyaris semuanya sepakat, prostitusi, biang penyakit masyarakat.
 
Namun, tak bisa disalahkan juga jika kepemimpinan DKI Jakarta sebelumnya lebih memilih menyiasati, ketimbang cuma memberantas tanpa menyertakan solusi.
 
Menyiasati, lantaran keadaan juga harus ditimbang dengan arif. Soal Alexis, misalnya, didekati dari sisi persoalan moral. Sedangkan soal lapangan kerja industri hiburan, tentu lebih berurusan dengan masalah ekonomi.
 
Dan sepatutnya, mengedepankan moral, tak berarti soal lapangan kerja; bisa dikesampingkan.
 
Gubernur DKI Jakarta nan fenomenal Ali Sadikin, malahan bisa memberikan keputusan yang sifatnya sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
 
Ambil misal, legalisasi terhadap lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak, Jakarta Utara pada 27 April 1970. Meski lebih disebabkan wilayah yang seharusnya menjadi Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) itu kadung diterobos para mucikari, namun nyatanya, dengan itu Pemprov lebih mudah melakukan kontrol dan memiminimalisir penyebaran ke titik yang lebih luas.
 
Di sisi lain, wujud Jakarta sebagai kota maju sekarang ini juga tercapai. Padahal, ketika baru menjabat pada 1966, Bang Ali dibikin pusing bukan kepalang. Pasalnya, bagaimana mungkin membangun ibu kota negara jika dipasrahi modal APBD cuma sebesar Rp66 juta saja.
 
Perolehan pajak dari sektor 'hiburan' itulah, yang menjadikan Jakarta kian layak dipandang. Sayangnya, penertiban yang membawa untung semacam ini, di beberapa periode selanjutnya tak ada yang berani melanjutkan.
 
Atau memang, jika cara Bang Ali sekarang ini sudah tidak relevan, maka, dengan siasat baru pun, tak boleh tanggung dan malah memunculkan kesan ketidaktetegasan seorang Gubernur Anies Baswedan.
 
Anies, boleh bilang setoran nyaris Rp30 miliar per tahun dari Alexis itu; tak berkah. Tapi, setidaknya ada dua perkara lain yang juga perlu ditimbang matang.
 
Pertama, bagaimana siasat Pemprov guna menutupi penyusutan pendapatan. Kedua, solusi bagi yang terdampak secara sosial, yakni nyaris 1.000 eks pekerja yang hingga kini masih kebingungan.
 
Selebihnya, Alexis tak sendiri. Konon, masih ada ratusan hotel lagi jika penyetopan izin semacam itu dianggap mendesak dan mencukupi bukti.
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan