medcom.id, Jakarta: Elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 91,16% pada tahun 2016. Artinya, masih ada sekitar 22,5 juta penduduk (8,84% dari 255 juta penduduk) Indonesia yang belum menikmati listrik.
“Saya rasa angkanya pun, bisa jadi, lebih besar dari itu,” ucap anggota Komisi VII DPR RI fraksi Nasdem Kurtubi kepada metrotvnews.com ketika ditemui di ruangan kerjanya, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Angka ini memang jauh lebih tinggi ketimbang target nasional tahun 2016 sebesar 90%. Namun tingkat elektrifikasi ini kalah jauh dibandingkan negara tetangga. Misalnya, akses kepada listrik masyarakat Malaysia sudah melebihi 95%, Thailand (99%), dan Singapura (100%).
Konsumsi listrik nasional Indonesia juga masih kalah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia masih berada dikisaran 800-900 kWH beberapa tahun belakangan. Negeri Jiran saja sudah mencapai 4.512 kWH pada 2013.
“Konsumsi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dan ketersediaan listrik ini pula yang akan menjadi pondasi pertumbuhan industri,” tegas Kurtubi.
Indonesia memang membutuhkan banyak energi baru. Idealnya, kata Kurtubi, Indonesia menambah produksi listrik hingga 200 ribu MW dari berbagai sumber energi baru dalam kurun 40 tahun ke depan.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengakui Indonesia masih banyak membutuhkan pembangkit listrik baru dari beragam sumber energi. Mulai dari energi fosil hingga energi baru dan terbarukan (EBT).
Proyek listrik 35 ribu MW merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengisi kebutuhan energi nasional. Namun polemik EBT yang masih mahal, ketersediaan energi fosil yang masih menipis, hingga energi nuklir yang bermunculan tak boleh menghambat tujuan Indonesia untuk meningkatkan produksi dan akses listrik ke masyarakat.
“Jangan dipertentangkan renewable energi dengan energi fosil. Karena kebutuhan masih banyak. Dia harus jalan beiringan,” kata Arcandra yang ditemui di Jakarta, Jumat (20/1/2017).
Kementerian ESDM dan elemen terkait akan terus mengkaji, mengembangkan, dan mengevaluasi kebijakan serta proyek energi baru Indonesia. Namun, sayangnya tidak untuk nuklir dalam waktu dekat.
"Kita sedang lihat potensi energi kita yang lain. Karena RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sudah mengatakan itu (nuklir) last resort, kita harus patuhi itu," pungkas Arcandra.
medcom.id, Jakarta: Elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 91,16% pada tahun 2016. Artinya, masih ada sekitar 22,5 juta penduduk (8,84% dari 255 juta penduduk) Indonesia yang belum menikmati listrik.
“Saya rasa angkanya pun, bisa jadi, lebih besar dari itu,” ucap anggota Komisi VII DPR RI fraksi Nasdem Kurtubi kepada
metrotvnews.com ketika ditemui di ruangan kerjanya, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Angka ini memang jauh lebih tinggi ketimbang target nasional tahun 2016 sebesar 90%. Namun tingkat elektrifikasi ini kalah jauh dibandingkan negara tetangga. Misalnya, akses kepada listrik masyarakat Malaysia sudah melebihi 95%, Thailand (99%), dan Singapura (100%).
Konsumsi listrik nasional Indonesia juga masih kalah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia masih berada dikisaran 800-900 kWH beberapa tahun belakangan. Negeri Jiran saja sudah mencapai 4.512 kWH pada 2013.
“Konsumsi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dan ketersediaan listrik ini pula yang akan menjadi pondasi pertumbuhan industri,” tegas Kurtubi.
Indonesia memang membutuhkan banyak energi baru. Idealnya, kata Kurtubi, Indonesia menambah produksi listrik hingga 200 ribu MW dari berbagai sumber energi baru dalam kurun 40 tahun ke depan.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengakui Indonesia masih banyak membutuhkan pembangkit listrik baru dari beragam sumber energi. Mulai dari energi fosil hingga energi baru dan terbarukan (EBT).
Proyek listrik 35 ribu MW merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengisi kebutuhan energi nasional. Namun polemik EBT yang masih mahal, ketersediaan energi fosil yang masih menipis, hingga energi nuklir yang bermunculan tak boleh menghambat tujuan Indonesia untuk meningkatkan produksi dan akses listrik ke masyarakat.
“Jangan dipertentangkan
renewable energi dengan energi fosil. Karena kebutuhan masih banyak. Dia harus jalan beiringan,” kata Arcandra yang ditemui di Jakarta, Jumat (20/1/2017).
Kementerian ESDM dan elemen terkait akan terus mengkaji, mengembangkan, dan mengevaluasi kebijakan serta proyek energi baru Indonesia. Namun, sayangnya tidak untuk nuklir dalam waktu dekat.
"Kita sedang lihat potensi energi kita yang lain. Karena RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sudah mengatakan itu (nuklir)
last resort, kita harus patuhi itu," pungkas Arcandra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)