medcom.id, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016. Survei menunjukkan 33,4% atau 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual.
Kekerasan dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Sedangkan dalam setahun terakhir prevalensinya sebesar 1:10.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, kecenderungan kasus kekerasan perempuan lebih banyak terjadi di daerah perkotaan (36,3%) ketimbang pedesaan (29,8%). Ironisnya, korban kekerasan fisik dan/seksual justru didominasi perempuan dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas sebesar 39,4%.
"Untuk bisa mengetahui kenapa lebih banyak yang SMA ke atas kita harus breakdown lagi. Tapi kalau kita lihat kecenderungan itu lebih banyak terjadi di perkotaan sangat masuk akal," ujarnya dalam jumpa pers Hasil SPHPN 2016 di Jakarta, Kamis 30 Maret 2017.
Di daerah perkotaan khususnya, jenis kekerasan paling banyak dilakukan terhadap perempuan oleh selain/bukan pasangan 10,0% berkomentar atau mengirim pesan bernada seksual. Menyentuh/meraba tubuh (7,1%), pelaku memperlihatkan gambar seksual (5,1%), dan memaksa hubungan seksual (2,8%).
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan kekerasan dalam ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan yang menjadi korban umumnya lebih banyak berlatar pendidikan SD/SMP sederajat. Terlebih pada perempuan yang tidak bekerja persentasenya 35,1%.
"Survei ini khusus dan kita lakukan dengan pendekatan privat. Sehingga hasilnya pun lebih mewakili ketimbang yang sebelum-sebelumnya hanya berdasarkan laporan," tukas Suhariyanto.
Menurutnya, data yang banyak dipublikasikan selama ini relatif kurang relevan. Karena diambil hanya berdasarkan laporan. Sementara itu, perempuan yang kerap menjadi korban biasanya sulit mengungkapkan.
SPHPN 2016 melibatkan 9.000 responden dari 900 blok sensus menurut kabupaten/kota se-Indonesia. Tiap-tiap blok sensus diambil 10 rumah tangga yang kemudian diwakili oleh 1 perempuan berusia 15-64 tahun, hingga didapatkan data terisi lengkap sebanyak 8.757 rumah tangga (97,3%).
Sedangkan sisanya 243 rumah tangga atau 2,7% responden tidak mengisi data, secara lengkap dengan alasan menolak, tidak bersedia diwawancara, ataupun tidak ada perempuan usia 15-64 tahun di dalam satu rumah tangga. Tetapi, menurut Suhariyanto, angka 97,3% sudah cukup mewakili hasil survei di level nasional.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes menilai hasil SPHPN 2016 jauh lebih relevan. Hasil tersebut akan dijadikan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam membuat kebijakan.
"Saya pikir datanya representatif. Akan kita analisa lebih lanjut dan nantinya akan dikoordinasikan antar kementerian/lembaga sampai daerah, kabupaten/kota," ucapnya.
Lebih lanjut, ia berharap dengan melihat hasil itu pemerintah daerah (pemda) akan mengalokasikan dana untuk pencegahan, penanganan, dan pemberdayaan perempuan. Sehingga dengan adanya kepedulian masyarakat diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan di masa mendatang akan berkurang.
medcom.id, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016. Survei menunjukkan 33,4% atau 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual.
Kekerasan dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Sedangkan dalam setahun terakhir prevalensinya sebesar 1:10.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, kecenderungan kasus kekerasan perempuan lebih banyak terjadi di daerah perkotaan (36,3%) ketimbang pedesaan (29,8%). Ironisnya, korban kekerasan fisik dan/seksual justru didominasi perempuan dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas sebesar 39,4%.
"Untuk bisa mengetahui kenapa lebih banyak yang SMA ke atas kita harus
breakdown lagi. Tapi kalau kita lihat kecenderungan itu lebih banyak terjadi di perkotaan sangat masuk akal," ujarnya dalam jumpa pers Hasil SPHPN 2016 di Jakarta, Kamis 30 Maret 2017.
Di daerah perkotaan khususnya, jenis kekerasan paling banyak dilakukan terhadap perempuan oleh selain/bukan pasangan 10,0% berkomentar atau mengirim pesan bernada seksual. Menyentuh/meraba tubuh (7,1%), pelaku memperlihatkan gambar seksual (5,1%), dan memaksa hubungan seksual (2,8%).
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan kekerasan dalam ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan yang menjadi korban umumnya lebih banyak berlatar pendidikan SD/SMP sederajat. Terlebih pada perempuan yang tidak bekerja persentasenya 35,1%.
"Survei ini khusus dan kita lakukan dengan pendekatan privat. Sehingga hasilnya pun lebih mewakili ketimbang yang sebelum-sebelumnya hanya berdasarkan laporan," tukas Suhariyanto.
Menurutnya, data yang banyak dipublikasikan selama ini relatif kurang relevan. Karena diambil hanya berdasarkan laporan. Sementara itu, perempuan yang kerap menjadi korban biasanya sulit mengungkapkan.
SPHPN 2016 melibatkan 9.000 responden dari 900 blok sensus menurut kabupaten/kota se-Indonesia. Tiap-tiap blok sensus diambil 10 rumah tangga yang kemudian diwakili oleh 1 perempuan berusia 15-64 tahun, hingga didapatkan data terisi lengkap sebanyak 8.757 rumah tangga (97,3%).
Sedangkan sisanya 243 rumah tangga atau 2,7% responden tidak mengisi data, secara lengkap dengan alasan menolak, tidak bersedia diwawancara, ataupun tidak ada perempuan usia 15-64 tahun di dalam satu rumah tangga. Tetapi, menurut Suhariyanto, angka 97,3% sudah cukup mewakili hasil survei di level nasional.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes menilai hasil SPHPN 2016 jauh lebih relevan. Hasil tersebut akan dijadikan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam membuat kebijakan.
"Saya pikir datanya representatif. Akan kita analisa lebih lanjut dan nantinya akan dikoordinasikan antar kementerian/lembaga sampai daerah, kabupaten/kota," ucapnya.
Lebih lanjut, ia berharap dengan melihat hasil itu pemerintah daerah (pemda) akan mengalokasikan dana untuk pencegahan, penanganan, dan pemberdayaan perempuan. Sehingga dengan adanya kepedulian masyarakat diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan di masa mendatang akan berkurang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)