Tabel mengenai citra ketiga pasangan calon Gubernur DKI menurut responden terpampang pada hasil survei SMRC terkait pilkada DKI 2017 di Jakarta, Kamis (20/10)./MI/Susanto
Tabel mengenai citra ketiga pasangan calon Gubernur DKI menurut responden terpampang pada hasil survei SMRC terkait pilkada DKI 2017 di Jakarta, Kamis (20/10)./MI/Susanto

FOKUS

Bijak Menimbang Hasil Survei

Sobih AW Adnan • 22 November 2016 19:44
medcom.id, Jakarta: Elektabilitas calon gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dikabarkan makin merosot. Dari empat kali survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), penurunan sangat kentara pada November.
 
LSI memaparkan pada Maret bayangan pemilih ahok berada di angka 49,1 persen, sementara Juli turun pada 31,4 persen, dan Oktober 24,6 persen. Pada November, elektabilitas Ahok dikatakan tinggal 10,6 persen. Ahok ditinggalkan basis utamanya, yaitu kelompok nonmuslim sebanyak 33,10 persen dan pemilih partai sebanyak 29,20 persen.
 
Peneliti LSI Ardian Sopa mengatakan, setidaknya ada lima sebab yang patut dihitung sebagai penurunan pamor Ahok. Pertama, dampak dugaan penistaan agama yang tengah mendera mantan Bupati Belitung Timur itu, kedua, tingkat kesukaan terhadap Ahok yang memang makin menurun, ketiga, kekhawatiran kepemimpinan Ahok akan membawa gejolak di Ibu Kota, keempat citra dua pesaing Ahok, yakni Agus Yudhoyono dan Anies Baswedan yang dianggap lebih santun.

"Kelima, citra buruk tersangka. Selama ini, semua pejabat yang menjadi tersangka diminta mundur dari jabatannya. Ini tradisi kuat untuk pemerintahan yang bersih," kata Ardian di kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (18/11/2016).
 
Baca: Catatan Elektabilitas Ahok 9 Bulan Terakhir  
 
Lantas, sejauh mana pengaruh hasil survei terhadap peluang calon memenangkan Pilkada?
 
Kreadibilitas lembaga
 
Kegiatan survei, terlebih bidang politik bertopang pada kekuatan yang semuanya berujung pada kreadibilitas lembaga pengolah data. Di dalamnya terdapat metodologi yang dipakai, jumlah dan persebaran sampel, sumber dana, juga semangat pendorong pelaksanaan survei.
 
Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, pesta demokrasi di Indonesia tidak hanya memberikan ruang bagi para peserta untuk menunjukan visi, misi, serta kualitasnya kepada calon pemilih. Kontestasi politik ini, kerap juga menjadi ajang tampil lembaga survei dalam menampilkan kredibilitasnya di hadapan publik.
 
"Maka tak ayal, bermunculan lembaga-lembaga survei baru. Yang lama dan sudah terkenal pun tentu tidak ketinggalan," kata Ikrar kepada metrotvnews.com, Selasa (22/11/2016).
 
Dengan kondisi seperti ini, kata Ikrar, maka masyarakat juga perlu untuk mengenal betul apa itu lembaga survei sehingga tidak lantas bingung dalam membaca hasil yang ditampilkan.
 
Ikrar menyebut banyak ragam lembaga survei di Indonesia. Ada yang memang dikenal independen, ada pula yang nyambi sebagai konsultan bahkan partisan. 
 
"Tidak ada larangan untuk mengkritisi hasil survei secara cerdas," kata Ikrar.
 
Dalam menimbang hasil survei LSI terakhir tentang elektabilitas Ahok misalnya, Ikrar mengatakan masyarakat boleh menanyakan perbandingan responden yang cuma 440, termasuk teknik pengambilan berdasarkan persebarannya. "Boleh diragukan, boleh tidak," kata dia. 
 
Waktu pengambilan sampel dan gaya mempublikasikan hasil survei juga bisa ditelisik. Menurut Ikrar, dengan rentang waktu pelaksanaan survei dari 31 Oktober sampai 5 Oktober, perolehan elektabilitas Ahok yang tinggal 10,6 persen akan sangat berbeda makna ketika diumumkan sebelum penetapan Ahok sebagai tersangka. Ahok baru ditetapkan tersangka pada Rabu, 16 November 2016.
 
"Pertanyaan 'jika Ahok tersangka' dan 'tidak tersangka' itu dilakukan pada hari yang sama. Ketika diumumkan setelah penetapan Ahok sebagai tersangka maka terkesan elektabilitas Ahok merosot tajam," kata Ikrar.
 
Bijak Menimbang Hasil Survei
 
Bukan panduan memilih
 
Hasil survei cuma menggambarkan kondisi di saat pengambilan sampel dilakukan. Kata Ikrar, potret itu tidak bisa dijadikan sandaran permanen dalam waktu lebih panjang. Artinya, hasil survei merupakan bagian dari dinamika perpolitikan yang terjadi.
 
"Maka, hasil survei tidak patut dijadikan instrumen dalam memilih," kata dia.
 
Baca: Hasil Survei Anjlok, Ahok: Tambah Semangat Bekerja  
 
Peneliti bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhroh mengatakan saat ini banyak masyarakat menganggap hasil survei sebagai petunjuk dan bagian dari pertimbangan dalam menggunakan hak suaranya. Hal itu, kata Zuhroh, boleh-boleh saja ketika masyarakat sudah mengenal bahkan memastikan proses dan metodologi yang diterapkan cukup baik.
 
"Kalau hasil itu dikeluarkan lembaga yang cenderung partisan, bisa melenceng," kata Zuhroh kepada metrotvnews.com, Selasa (22/11/2016).
 
Angka yang ditunjukkan dari sebuah lembaga survei, sangat memungkinkan berubah. Selain soal waktu dan perkembangan, ada faktor lain yang nantinya bisa turut memengaruhi.
 
Zuhroh menceritakan fenomena melesetnya hasil survei seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu. Kala itu, pasangan Joko Widodo-Ahok yang tak pernah diramal bakal memenangkan putaran pertama. Banyak lembaga yang menyatakan elektabilitas mereka tertinggal jauh dari calon petahana, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
 
Faktanya, putaran pertama menunjukkan Jokowi-Ahok berhasil meraih 1.847.157 suara, atau 42,6 persen. Sementara pasangan Foke-Nara, memeroleh 1.476.648 suara, atau 34 persen dari total pemilih.
 
"Lembaga survei banyak yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Padahal secara metodogis sangat bisa dipertanggung jawabkan. Makanya hasilnya bisa jauh berbeda dengan perhitungan nyata," kata Zuhroh.
 
Menurut Zuhroh, keberadaan survei sebenarnya jauh lebih dibutuhkan di internal partai politik atau tim pendukung. Fungsinya, guna mengukur peluang sekaligus merancang strategi.
 
"Bukan dipublikasikan. Lebih pas untuk mengecek," kata dia.
 
Dengan semakin banyaknya lembaga survei yang didirikan, kata Zuhroh, penyelenggara dan pengawas pilkada, dalam hal ini KPU dan Bawaslu penting untuk menaikkan intensitasnya dalam mensosialisasikan tentang langkah dan pertimbangan memilih calon. Kondisi itu, bisa juga dimanfaatkan bagi lembaga survei untuk bisa meraih kepercayaan publik melalui kedalaman metodologi yang digunakan serta keakuratan hasil yang ditampilkan.
 
"Lembaga survei harus punya tanggung jawab moral," kata dia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan