medcom.id, Jakarta: Muhammad Kusrin sempat bingung. Ratusan televisi yang dia rakit dihancurkan Kejaksaan Negeri Karanganyar, Jawa Tengah, Januari lalu.
Tapi kini Kusrin tenang. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah memberikan sertifikat merek untuk televisi buatannya: Maxreen.
Kusrin berniat untuk kembali merakit televisi. Tapi tidak dalam waktu dekat. Saat ini, Kusrin ingin melengkapi segala perizinan terlebih dahulu.
"Saya mau surat-surat dulu, baru melangkah. Kalau belum (urus izin), belum berani, nanti repot," kata Kusrin di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jalan H.R. Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (25/2/2016).
Yang jelas, kata Kusrin, bisnis perakitan TV akan dijalankan lagi. Dia akan menghubungi para karyawannya yang sempat menganggur beberapa bulan.
Pria tamatan sekolah dasar ini pun ingin mengembangkan produk TV buatannya. Salah satu yang dia incar adalah memproduksi liquid crystal display (LCD).
"Kemarin ada teman dari Tiongkok, bahas masalah yang LCD saya mau buat yang 22 inch," jelas dia.
Kusrin bercerita, saat bisnis perakitan televisi beroperasi, dia memperkerjakan 19 karyawan. Dengan jumlah itu, industri rumahan miliknya bisa menghasilkan 100 televisi per harinya.
Hasilnya cukup lumayan. Televisi buatannya digemari masyarakat lantaran harganya terjangkau. Tapi saat disinggung pendapatannya, Kusrin tidak mamu membuka rahasia.
Dia hanya mencontohkan, ada dua jenis televisi yang sempat dijualnya pada pameran di Solo Paragon, Januari lalu. Ukuran 14 inch seharga Rp400 ribu dan ukuran 15 inch seharga Rp500 ribu.
"Televisi tabung yang kecil peminatnya banyak itu," jelas dia.
Untuk memulai usaha lagi, Kusrin butuh modal. Apalagi memproduksi televisi LCD butuh biaya yang tak sedikit. Dia memerlukan investasi dari para pemodal.
Mesin televisi dia dapat dari Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta. Begitu sudah dirakit ulang olehnya, televisi itu bisa disebar kembali ke delapan provinsi hingga luar Pulau Jawa.
Sama seperti televisi pada umumnya, Kusrin pun memberi garansi pada produknya. Bila rusak, pembeli bisa mengurus garansi selama masih berusia kurang setahun pembelian.
Kusrin mengaku senang mengantongi sertifikat merek Maxreen dari Kementerian Hukum dan HAM. Dia pun menyanggupi permintaan Menkumham Yasonna Laoly yang ingin mereknya menyaingi Toshiba asal Jepang.
Nama Kusrin mencuat setelah Kejaksaan Negeri Karanganyar membakar ratusan televisi hasil produksi pria berusia 36 tahun ini, Senin 11 Januari 2016. Produk Kusrin dinilai menyalahi Pasal 120 (1) juncto Pasal 53 (1) huruf b UU RI no 3/2014 tentang Perindustrian serta Permendagri No 17/M-IND/PER/2012, Perubahan Permendagri No 84/M-IND/PER/8/2010 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Terhadap Tiga Industri Elektronika Secara Wajib.
Setelah kejadian itu, Kusrin jadi pembicaraan khalayak. Mulai dari Bupati, pihak Provinsi Jawa Tengah dan puncaknya, Presiden Joko Widodo mengundang Kusrin ke Istana Kepresidenan.
medcom.id, Jakarta: Muhammad Kusrin sempat bingung. Ratusan televisi yang dia rakit dihancurkan Kejaksaan Negeri Karanganyar, Jawa Tengah, Januari lalu.
Tapi kini Kusrin tenang. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah memberikan sertifikat merek untuk televisi buatannya:
Maxreen.
Kusrin berniat untuk kembali merakit televisi. Tapi tidak dalam waktu dekat. Saat ini, Kusrin ingin melengkapi segala perizinan terlebih dahulu.
"Saya mau surat-surat dulu, baru melangkah. Kalau belum (urus izin), belum berani, nanti repot," kata Kusrin di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jalan H.R. Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (25/2/2016).
Yang jelas, kata Kusrin, bisnis perakitan TV akan dijalankan lagi. Dia akan menghubungi para karyawannya yang sempat menganggur beberapa bulan.
Pria tamatan sekolah dasar ini pun ingin mengembangkan produk TV buatannya. Salah satu yang dia incar adalah memproduksi
liquid crystal display (LCD).
"Kemarin ada teman dari Tiongkok, bahas masalah yang LCD saya mau buat yang 22 inch," jelas dia.
Kusrin bercerita, saat bisnis perakitan televisi beroperasi, dia memperkerjakan 19 karyawan. Dengan jumlah itu, industri rumahan miliknya bisa menghasilkan 100 televisi per harinya.
Hasilnya cukup lumayan. Televisi buatannya digemari masyarakat lantaran harganya terjangkau. Tapi saat disinggung pendapatannya, Kusrin tidak mamu membuka rahasia.
Dia hanya mencontohkan, ada dua jenis televisi yang sempat dijualnya pada pameran di Solo Paragon, Januari lalu. Ukuran 14 inch seharga Rp400 ribu dan ukuran 15 inch seharga Rp500 ribu.
"Televisi tabung yang kecil peminatnya banyak itu," jelas dia.
Untuk memulai usaha lagi, Kusrin butuh modal. Apalagi memproduksi televisi LCD butuh biaya yang tak sedikit. Dia memerlukan investasi dari para pemodal.
Mesin televisi dia dapat dari Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta. Begitu sudah dirakit ulang olehnya, televisi itu bisa disebar kembali ke delapan provinsi hingga luar Pulau Jawa.
Sama seperti televisi pada umumnya, Kusrin pun memberi garansi pada produknya. Bila rusak, pembeli bisa mengurus garansi selama masih berusia kurang setahun pembelian.
Kusrin mengaku senang mengantongi sertifikat merek Maxreen dari Kementerian Hukum dan HAM. Dia pun menyanggupi permintaan Menkumham Yasonna Laoly yang ingin mereknya menyaingi Toshiba asal Jepang.
Nama Kusrin mencuat setelah Kejaksaan Negeri Karanganyar membakar ratusan televisi hasil produksi pria berusia 36 tahun ini, Senin 11 Januari 2016. Produk Kusrin dinilai menyalahi Pasal 120 (1) juncto Pasal 53 (1) huruf b UU RI no 3/2014 tentang Perindustrian serta Permendagri No 17/M-IND/PER/2012, Perubahan Permendagri No 84/M-IND/PER/8/2010 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Terhadap Tiga Industri Elektronika Secara Wajib.
Setelah kejadian itu, Kusrin jadi pembicaraan khalayak. Mulai dari Bupati, pihak Provinsi Jawa Tengah dan puncaknya, Presiden Joko Widodo mengundang Kusrin ke Istana Kepresidenan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)