medcom.id, Jakarta: Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta pemerintah dan Kepolisian mengusut tuntas peredaran vaksin palsu. Ia mensiyalir ada pelaku besar di balik kasus ini.
"Kemarin yang diproses hanya pelaku kecil. Seharusnya bisa diendus pelaku besar, terutama pemalsuan obat," kata Tulus dalam sebuah diskusi di Ruang Mahogany 3, Royal Kuningan Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (29/7/2016).
Tak hanya soal vaksin, lanjut dia, obat lain yang saat ini beredar juga banyak yang dipalsukan. Ironisnya, upaya pencegahan terasa tak maksimal.
Menurut Tulus, upaya pencegahan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya bersifat hilir. Selain itu, hukuman untuk pelaku seingkali ringan dan tak membuat efek jera.
"Dari keterangan Bareskrim, pelaku kemarin sudah mengulang perbuatan yang sama. Mereka tidak jera dengan hukuman yang selama ini ada. Upaya penegakan lebih bersifat hulu," kata Tulus.
Diskusi Vaksin Palsu oleh IPMG. (Kiri-kanan) Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Aristiyono Direktur Bidang Pengawasan Produk Terapetik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Tulus Abadi, SH - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Foto: MTVN/Ilham Wibowo
YLKI juga menyoroti soal akreditasi fasilitas dan layanan kesehatan (Fasyankes) yang mudah mendapatkan distribusi obat. Tulus mengatakan, 50 persen Fasyankes terutama swasta di Indonesia berakreditasi rendah. Audit pengawasan intern Fasyankes tidak berjalan baik sehingga distibutor ilegal bisa dengan mudah menjual produknya.
"Mayoritas belum trakreditasi. Pengawasan obat harus satu pintu, apalagi dalam konteks vaksin. Pengadaan jangan main-main karena ini konteks obat, jika gagal bisa fatal," kata dia.
Tulus meminta, pemerintah dan kepolisian serius mengidentifikasi para pelaku kasus ini. Sehingga, dokter dan layanan kesehatan mendapatkan kepercayaan penuh masyarakat.
"Dokter kan juga bisa jadi korban, kalau dia tidak ikut pengadaan? Tugas dokter mendiagnosa pasien, bukan mendiagnosa obat. Dia hanya tahu kadaluarsa," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta pemerintah dan Kepolisian mengusut tuntas peredaran vaksin palsu. Ia mensiyalir ada pelaku besar di balik kasus ini.
"Kemarin yang diproses hanya pelaku kecil. Seharusnya bisa diendus pelaku besar, terutama pemalsuan obat," kata Tulus dalam sebuah diskusi di Ruang Mahogany 3, Royal Kuningan Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (29/7/2016).
Tak hanya soal vaksin, lanjut dia, obat lain yang saat ini beredar juga banyak yang dipalsukan. Ironisnya, upaya pencegahan terasa tak maksimal.
Menurut Tulus, upaya pencegahan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya bersifat hilir. Selain itu, hukuman untuk pelaku seingkali ringan dan tak membuat efek jera.
"Dari keterangan Bareskrim, pelaku kemarin sudah mengulang perbuatan yang sama. Mereka tidak jera dengan hukuman yang selama ini ada. Upaya penegakan lebih bersifat hulu," kata Tulus.
Diskusi Vaksin Palsu oleh IPMG. (Kiri-kanan) Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Aristiyono Direktur Bidang Pengawasan Produk Terapetik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Tulus Abadi, SH - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Foto: MTVN/Ilham Wibowo
YLKI juga menyoroti soal akreditasi fasilitas dan layanan kesehatan (Fasyankes) yang mudah mendapatkan distribusi obat. Tulus mengatakan, 50 persen Fasyankes terutama swasta di Indonesia berakreditasi rendah. Audit pengawasan intern Fasyankes tidak berjalan baik sehingga distibutor ilegal bisa dengan mudah menjual produknya.
"Mayoritas belum trakreditasi. Pengawasan obat harus satu pintu, apalagi dalam konteks vaksin. Pengadaan jangan main-main karena ini konteks obat, jika gagal bisa fatal," kata dia.
Tulus meminta, pemerintah dan kepolisian serius mengidentifikasi para pelaku kasus ini. Sehingga, dokter dan layanan kesehatan mendapatkan kepercayaan penuh masyarakat.
"Dokter kan juga bisa jadi korban, kalau dia tidak ikut pengadaan? Tugas dokter mendiagnosa pasien, bukan mendiagnosa obat. Dia hanya tahu kadaluarsa," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)