Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan tidak mengembalikan sistem pemilu pada proporsional tertutup dalam gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasalnya keputusan tersebut dinilai sangat berdampak pada citra lembaga MK.
"Saat ini kan kepercayaan publik terhadap MK itu kan turun. Dulu selalu diatas MA (Mahkamah Agung), tapi sekarang malah banyak keputusan yang kontroversial," ujar pengamat politik Ujang Komarudin kepada Media Indonesia, Senin, 5 Juni 2023.
Ujang menilai rusaknya citra MK akan berdampak luas. Mengingat MK menjadi lembaga yang akan mengadili sengketa pemilu.
"Kalau MK tidak dipercaya, maka ketika ada sengketa di pemilu masyarakat tidak akan percaya hasil keputusan MK tersebut. Kalau tidak percaya nanti akan chaos, akan menuduh saling curang dan lain sebagainya. Ini bahaya," tegasnya.
Dia meminta MK untuk hati-hati dan bijak dalam mengambil keputusan. Apalagi persoalan sistem pemilu merupakan urusan politik yang seharusnya ditangani DPR dan pemerintah.
Selain itu, dia menyampaikan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak 2008. Kebijakan yang dibuat itu berdasarkan putusan MK.
Jika MK kembali mengganti sistem Pemilu 2024 ke proporsional tertutup, maka hal itu dinilai bisa menimbulkan kegaduhan. Hal itu dinilai tidak baik bagi sistem demokrasi Indonesia.
"Saya melihat untuk menjaga bangsa ini agar tidak chaos, tidak ribut ya sistem yang terbaik saat ini tetap masih yang terbuka seperti saat ini," sebut dia.
Ujang juga menilai MK tak memiliki kewenangan mengubah sistem pemilu dari terbuka ke tertutup. Sebab, MK hanya bertugas meninjau ketentuan apakah sesuai dengan konstitusi negara atau tidak.
"Dan MK tidak punya kewenangan mengubah UU mereka hanya yudisial review bukan mengubah tertutup menjadi terbuka oleh karena itu DPR sangat keras menolak," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan tidak mengembalikan sistem pemilu pada proporsional tertutup dalam gugatan
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasalnya keputusan tersebut dinilai sangat berdampak pada citra lembaga MK.
"Saat ini kan kepercayaan publik terhadap
MK itu kan turun. Dulu selalu diatas MA (Mahkamah Agung), tapi sekarang malah banyak keputusan yang kontroversial," ujar pengamat politik Ujang Komarudin kepada
Media Indonesia, Senin, 5 Juni 2023.
Ujang menilai rusaknya citra MK akan berdampak luas. Mengingat MK menjadi lembaga yang akan mengadili
sengketa pemilu.
"Kalau MK tidak dipercaya, maka ketika ada sengketa di pemilu masyarakat tidak akan percaya hasil keputusan MK tersebut. Kalau tidak percaya nanti akan
chaos, akan menuduh saling curang dan lain sebagainya. Ini bahaya," tegasnya.
Dia meminta MK untuk hati-hati dan bijak dalam mengambil keputusan. Apalagi persoalan sistem pemilu merupakan urusan politik yang seharusnya ditangani
DPR dan pemerintah.
Selain itu, dia menyampaikan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak 2008. Kebijakan yang dibuat itu berdasarkan putusan MK.
Jika MK kembali mengganti sistem
Pemilu 2024 ke proporsional tertutup, maka hal itu dinilai bisa menimbulkan kegaduhan. Hal itu dinilai tidak baik bagi sistem demokrasi Indonesia.
"Saya melihat untuk menjaga bangsa ini agar tidak chaos, tidak ribut ya sistem yang terbaik saat ini tetap masih yang terbuka seperti saat ini," sebut dia.
Ujang juga menilai MK tak memiliki kewenangan mengubah sistem pemilu dari terbuka ke tertutup. Sebab, MK hanya bertugas meninjau ketentuan apakah sesuai dengan konstitusi negara atau tidak.
"Dan MK tidak punya kewenangan mengubah UU mereka hanya yudisial
review bukan mengubah tertutup menjadi terbuka oleh karena itu DPR sangat keras menolak," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)