medcom.id, Jakarta: Aparat kejaksaan memastikan La Nyalla Mattaliti bakal menghadapi penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur. Pada Rabu malam kemarin, 1 Juni 2016, La Nyalla yang menjadi tersangka kasus tersebut berhasil dipulangkan ke Tanah Air, setelah dua bulan berada di Singapura. Baca: Singapura Usir La Nyalla.
Kegemasan kejaksaan terhadap La Nyalla yang merupakan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur cukup beralasan. Sudah empat kali La Nyalla ditetapkan dalam status tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur. Namun, tiga kali La Nyalla memenangkan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka terhadapnya itu di Pengadilan Negeri (PN) Jawa Timur.
Berulang kali Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) diterbitkan dalam upaya menjerat La Nyalla yang juga merupakan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) itu sebagai tersangka kasus penggelapan dana hibah Kadin Jatim dan kasus pencucian uang. Fakta ini tak pelak mengundang perhatian publik dan menyorot kinerja kejaksaan di Indonesia. Bahkan, ada yang menilai kasus La Nyalla ini bisa jadi preseden buruk hukum di Indonesia.
Kejaksaan Agung seakan sulit menghindari citra negatif di mata masyarakat. Publik menilai Korps Adhyaksa kerap tidak sigap dalam penegakan hukum di Indonesia. Malah belakangan, beberapa aksi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan nama-nama yang berasal dari kejaksaan. Simak beritanya di tautan ini.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sebagai mitra pengawasan pemerintah di bidang penegakan hukum menengarai paling tidak ada 15 poin yang dapat dijadikan acuan dalam menyorot kinerja Kejagung. Poin-poin tersebut telah disampaikan kepada Jaksa Agung dalam rapat kerja pada April lalu. Antara lain menyangkut penerapan hukuman mati, deponering, kasus Deny Indrayana, sprindik La Nyalla yang berulang, serta kasus dugaan korupsi restitusi pajak Mobile8.
Tentu, OTT yang melibatkan para jaksa menjadi sorotan utama Komisi III. Selain itu, kasus pengadaan gardu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah, nasib barang sitaan yang telantar, penyelesaian aset recovery kasus Bank Century. hingga soal perkembangan perburuan debitur Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Parlemen mengharapkan Jaksa Agung memberikan penjelasan atas semua persoalan itu kepada masyarakat.
Namun, Jaksa Agung M Prasetyo menyatakan bekerja keras dan berbenah diri tetap menjadi pilihan yang lebih baik. "Di tengah usaha keras Kejaksaan dalam penegakan hukum dengan harapan masyarakat mencari keadilan, akhir-akhir ini dapat sorotan dan stigma negatif. Yang itu semata-mata melibatkan sumber oknum Kejaksaan yang melakukan penyimpangan, perbuatan tercela dan tidak profesional," ujar Prasetyo di Sasana Baharudin Lopa, Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (2/6/2016).
Pagar api
Lantaran terkesan "ngotot" menjerat La Nyalla sebagai tersangka, publik mencurigai kejaksaan punya muatan politik dalam penuntasan kasus dugaan korupsi dana hibah Kadin Jatim. Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Andi Hamzah mengatakan munculnya sorotan miring dari masyarakat mengenai buruknya kinerja Kejagung, terutama terkait kentalnya unsur politik bukan sesuatu yang sepenuhnya salah.
Menurut Andi, kejaksaan perlu segera berbenah dan bekerja sungguh-sungguh untuk mengatasi segala tudingan miring terkait kinerjanya. Jika Kejagung tidak segera mawas diri maka kepercayaan publik akan semakin menipis.
"Kembalilah bekerja normal. Orang yang diyakini bersalah ya segera dituntut, jangan mengungkit orang yang tidak bersalah, karena memang kecenderungan itu ada. Jangan sampai Kejagung menuntut orang dengan alasan kepentingan politik," ujar Andi kepada metrotvnews.com, Kamis (2/6/2016).
Andi Hamzah yang merupakan guru besar hukum pidana ini enggan menyebutkan secara rinci kasus mana saja yang dimaksud lekat dengan muatan politis. Tapi, yang jelas mengenai spirit independensi dan kehati-hatian, ia menyarankan Kejagung banyak belajar ke dalam proses-proses penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga kejaksaan Jepang.
Ia menjelaskan, jaksa di negeri Sakura selalu bisa menepi dari hiruk pikuk kepentingan politik. "Di Jepang, perkara yang bebas 0,001 persen. Jadi, 100 ribu perkara yang diserahkan ke pengadilan baru satu yang bebas. Di sana, perkara tidak akan dikirim ke pengadilan jika kejaksaan ragu-ragu," kata Andi.
Jika mengukur dari sejarah, dalam diri Kejagung sendiri juga banyak nama dan masa kepemimpinan yang patut di pelajari. "Kejaksaan Agung di tahun 50-an juga bagus itu. Lurus," kata Andi.
Jika tak mau terlalu lampau, Jaksa Agung bisa meniru semangat sekaligus kehati-hatian Baharuddin Lopa, Jaksa Agung saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Perlu pembenahan
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung dijelaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia berdiri sebagai lembaga pemerintahan. Sementara di sisi lain, sosok Jaksa Agung merupakan pembantu Presiden karena diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Jaksa Agung juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Dari sisi kewenangan yang mengacu pada pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan, maka lembaga ini dianggap memiliki kewenangan yang lebih terbatas. Menurut Andi Hamzah, kewenangan Kejaksaan di Indonesia akhirnya berbeda dengan lembaga-lembaga setingkat di negara lain.
"Terus terang wewenang Kejaksaan Agung yang ada di Indonesia terbilang yang paling kecil dibanding yang ada di negara lain. Tidak bisa melakukan penyidikan sendiri. Kalau di negara lain bisa. Bahkan bisa mengarahkan ke polisi untuk menyetop dan meneruskan penyidikan. Kalau di sini hanya sekadar lewat dari kepolisian. Sebut saja Jaksa Agung di Amerika Serikat, itu dianggap paling berkuasa di dunia. Kalau wewenang mungkin sama, tapi ia bekerja tanpa Menteri Hukum dan HAM, tanpa keolisian," papar Andi.
Hal lain yang biasa menjadi faktor lemahnya kinerja Kejagung berkait paut dengan besarnya anggaran yang dibutuhkan dalam proses penegakan hukum suatu kasus. Jika dibanding penanganan kasus di KPK, maka Kejagung lebih sedikit dengan hanya bertumpu pada Rp200 juta untuk penuntasan satu perkara kasus korupsi. Sementara di lembaga anti rasuah paling baru itu punya sistem pagu sekitar Rp11 miliar untuk 90 perkara.
"Belum lagi soal kesejahteraan. Tidak adanya reward and punishment," kata Andi.
Baca: Jaksa Agung Menahan Tangis di Komisi III DPR
Selain itu, ada juga kebutuhan anggaran tambahan pada saat ekskusi dan pemeliharaan aset bukti. Namun, menurut Andi, penyelesaian perkara di pengadilan bisa saja dikurangi untuk mengamankan beberapa nilai demi menutupi keperluan yang lain.
"Di Belanda misalnya. 60 persen perkara tidak dikirim ke pengadilan. Karens perkara yang enam tahun ke bawah bisa diselesaikan oleh jaksa di luar pengadilan dengan sanksi ganti kerugian. Ini yang namanya restorasi justice," kata Andi.
medcom.id, Jakarta: Aparat kejaksaan memastikan La Nyalla Mattaliti bakal menghadapi penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur. Pada Rabu malam kemarin, 1 Juni 2016, La Nyalla yang menjadi tersangka kasus tersebut berhasil dipulangkan ke Tanah Air, setelah dua bulan berada di Singapura. Baca:
Singapura Usir La Nyalla.
Kegemasan kejaksaan terhadap La Nyalla yang merupakan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur cukup beralasan. Sudah empat kali La Nyalla ditetapkan dalam status tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur. Namun,
tiga kali La Nyalla memenangkan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka terhadapnya itu di Pengadilan Negeri (PN) Jawa Timur.
Berulang kali Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) diterbitkan dalam upaya menjerat La Nyalla yang juga merupakan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) itu sebagai tersangka kasus penggelapan dana hibah Kadin Jatim dan kasus pencucian uang. Fakta ini tak pelak mengundang perhatian publik dan menyorot kinerja kejaksaan di Indonesia. Bahkan, ada yang menilai
kasus La Nyalla ini bisa jadi preseden buruk hukum di Indonesia.
Kejaksaan Agung seakan sulit menghindari citra negatif di mata masyarakat. Publik menilai Korps Adhyaksa kerap tidak sigap dalam penegakan hukum di Indonesia. Malah belakangan, beberapa aksi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan nama-nama yang berasal dari kejaksaan. Simak beritanya di tautan
ini.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sebagai mitra pengawasan pemerintah di bidang penegakan hukum menengarai paling tidak ada
15 poin yang dapat dijadikan acuan dalam menyorot kinerja Kejagung. Poin-poin tersebut telah disampaikan kepada Jaksa Agung dalam rapat kerja pada April lalu. Antara lain menyangkut penerapan hukuman mati, deponering, kasus Deny Indrayana, sprindik La Nyalla yang berulang, serta kasus dugaan korupsi restitusi pajak Mobile8.
Tentu, OTT yang melibatkan para jaksa menjadi sorotan utama Komisi III. Selain itu, kasus pengadaan gardu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah, nasib barang sitaan yang telantar, penyelesaian aset recovery kasus Bank Century. hingga soal perkembangan perburuan debitur Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Parlemen mengharapkan Jaksa Agung memberikan penjelasan atas semua persoalan itu kepada masyarakat.
Namun, Jaksa Agung M Prasetyo menyatakan bekerja keras dan berbenah diri tetap menjadi pilihan yang lebih baik. "Di tengah usaha keras Kejaksaan dalam penegakan hukum dengan harapan masyarakat mencari keadilan, akhir-akhir ini dapat sorotan dan stigma negatif. Yang itu semata-mata melibatkan sumber oknum Kejaksaan yang melakukan penyimpangan, perbuatan tercela dan tidak profesional," ujar Prasetyo di Sasana Baharudin Lopa, Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (2/6/2016).
Pagar api
Lantaran terkesan "ngotot" menjerat La Nyalla sebagai tersangka, publik mencurigai kejaksaan punya muatan politik dalam penuntasan kasus dugaan korupsi dana hibah Kadin Jatim. Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Andi Hamzah mengatakan munculnya sorotan miring dari masyarakat mengenai buruknya kinerja Kejagung, terutama terkait kentalnya unsur politik bukan sesuatu yang sepenuhnya salah.
Menurut Andi, kejaksaan perlu segera berbenah dan bekerja sungguh-sungguh untuk mengatasi segala tudingan miring terkait kinerjanya. Jika Kejagung tidak segera mawas diri maka kepercayaan publik akan semakin menipis.
"Kembalilah bekerja normal. Orang yang diyakini bersalah ya segera dituntut, jangan mengungkit orang yang tidak bersalah, karena memang kecenderungan itu ada. Jangan sampai Kejagung menuntut orang dengan alasan kepentingan politik," ujar Andi kepada
metrotvnews.com, Kamis (2/6/2016).
Andi Hamzah yang merupakan guru besar hukum pidana ini enggan menyebutkan secara rinci kasus mana saja yang dimaksud lekat dengan muatan politis. Tapi, yang jelas mengenai spirit independensi dan kehati-hatian, ia menyarankan Kejagung banyak belajar ke dalam proses-proses penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga kejaksaan Jepang.
Ia menjelaskan, jaksa di negeri Sakura selalu bisa menepi dari hiruk pikuk kepentingan politik. "Di Jepang, perkara yang bebas 0,001 persen. Jadi, 100 ribu perkara yang diserahkan ke pengadilan baru satu yang bebas. Di sana, perkara tidak akan dikirim ke pengadilan jika kejaksaan ragu-ragu," kata Andi.
Jika mengukur dari sejarah, dalam diri Kejagung sendiri juga banyak nama dan masa kepemimpinan yang patut di pelajari. "Kejaksaan Agung di tahun 50-an juga bagus itu. Lurus," kata Andi.
Jika tak mau terlalu lampau, Jaksa Agung bisa meniru semangat sekaligus kehati-hatian Baharuddin Lopa, Jaksa Agung saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Perlu pembenahan
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung dijelaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia berdiri sebagai lembaga pemerintahan. Sementara di sisi lain, sosok Jaksa Agung merupakan pembantu Presiden karena diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Jaksa Agung juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Dari sisi kewenangan yang mengacu pada pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan, maka lembaga ini dianggap memiliki kewenangan yang lebih terbatas. Menurut Andi Hamzah, kewenangan Kejaksaan di Indonesia akhirnya berbeda dengan lembaga-lembaga setingkat di negara lain.
"Terus terang wewenang Kejaksaan Agung yang ada di Indonesia terbilang yang paling kecil dibanding yang ada di negara lain. Tidak bisa melakukan penyidikan sendiri. Kalau di negara lain bisa. Bahkan bisa mengarahkan ke polisi untuk menyetop dan meneruskan penyidikan. Kalau di sini hanya sekadar lewat dari kepolisian. Sebut saja Jaksa Agung di Amerika Serikat, itu dianggap paling berkuasa di dunia. Kalau wewenang mungkin sama, tapi ia bekerja tanpa Menteri Hukum dan HAM, tanpa keolisian," papar Andi.
Hal lain yang biasa menjadi faktor lemahnya kinerja Kejagung berkait paut dengan besarnya anggaran yang dibutuhkan dalam proses penegakan hukum suatu kasus. Jika dibanding penanganan kasus di KPK, maka Kejagung lebih sedikit dengan hanya bertumpu pada Rp200 juta untuk penuntasan satu perkara kasus korupsi. Sementara di lembaga anti rasuah paling baru itu punya sistem pagu sekitar Rp11 miliar untuk 90 perkara.
"Belum lagi soal kesejahteraan. Tidak adanya
reward and punishment," kata Andi.
Baca:
Jaksa Agung Menahan Tangis di Komisi III DPR
Selain itu, ada juga kebutuhan anggaran tambahan pada saat ekskusi dan pemeliharaan aset bukti. Namun, menurut Andi, penyelesaian perkara di pengadilan bisa saja dikurangi untuk mengamankan beberapa nilai demi menutupi keperluan yang lain.
"Di Belanda misalnya. 60 persen perkara tidak dikirim ke pengadilan. Karens perkara yang enam tahun ke bawah bisa diselesaikan oleh jaksa di luar pengadilan dengan sanksi ganti kerugian. Ini yang namanya restorasi
justice," kata Andi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)