medcom.id, Jakarta: Dengan bangga diawali kalimat "dari grup sebelah...", tanpa berpikir matang, kabar per kabar tersebar secara berantai.
Penyebaran berita begitu cepat seiring perkembangan teknologi informasi yang kian mendukung kemudahan pengguna. Fitur sebar massal, misalnya, cuma dengan sekali tindakan, orang-orang bisa dengan gampang mengabarkan ulang ke banyak jaringan.
Negatifnya, tradisi berpikir kritis makin hilang. Tak ada lagi kebiasaan mememeriksa ulang, baik terhadap sumber maupun keabsahan konten yang diceritakan.
Pemanfaat kabar hoaks pun, mendapatkan momentumnya.
Darurat
Penyebaran kabar palsu di Indonesia memang memprihatinkan. Tertangkapnya para terduga pelaku dari sindikat produsen kabar palsu dan ujaran kebencian belakangan hari, menjadi sebuah bukti.
Pada 2016 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita hoaks dan ujaran kebencian. Sumber-sumber itulah yang kemudian dijadikan rujukan dalam penyebaran ulang di media sosial.
Awal 2017 lalu, Masyarakat Telematika (Mastel) menunjukkan data bahwa dari sekian banyak kabar hoaks yang tersebar, sebesar 91,80% merupakan konten bermuatan politik.
Jika diperas lagi, dari seluruh muatan konten politik itu, sekira 88,60% di dalamnya dibalut dengan pembahasan yang bersinggungan dengan sentimen suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
Terlebih, nuansa agama. Penerjemahan ajaran yang semestinya bisa membangun kebaikan dan kedamaian ini, malah banyak disalahartikan sebagai pendukung ujaran kebencian.
Baca: [FOKUS] Hijrah Adalah Rekonsiliasi
Hijrah
Momentum tahun baru Islam, tidak hanya putus pada sejarah perpindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Di dalamnya, terdapat banyak pesan yang bisa menjadi permenungan bagi manusia tak terbatas masa.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, 1 Muharam juga bisa dimaknai sebagai hari antihoaks.
"Hijrah yang pernah dilakukan Nabi, hari ini kita maknai untuk beralih dari yang negatif ke positif. Seperti, menyetop diri dari kebiasaan menyebar hoaks," kata Nasaruddin kepada Metrotvnews.com, di Masjid Nursiah Daud Paloh, Jakarta, Rabu, 20 September 2017.
Kebiasaan meneruskan ulang kabar yang diterima, kata Nasaruddin, sebenarnya bukan melulu perkara keliru. Hanya saja, melalui semangat hijrah semestinya tekad yang dibangun justru berhenti menyebar keburukan, lalu memperbanyak menyuarakan motivasi dan kebaikan.
"Mari kita maknai tahun baru Islam ini sebagai awal yang baik untuk menanam saham yang bisa memajukan bangsa. Bukan virus ujaran kebencian yang justru merongrong persatuan dan kesatuan," kata dia.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/RkjP4GVN" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Dengan bangga diawali kalimat "dari grup sebelah...", tanpa berpikir matang, kabar per kabar tersebar secara berantai.
Penyebaran berita begitu cepat seiring perkembangan teknologi informasi yang kian mendukung kemudahan pengguna. Fitur sebar massal, misalnya, cuma dengan sekali tindakan, orang-orang bisa dengan gampang mengabarkan ulang ke banyak jaringan.
Negatifnya, tradisi berpikir kritis makin hilang. Tak ada lagi kebiasaan mememeriksa ulang, baik terhadap sumber maupun keabsahan konten yang diceritakan.
Pemanfaat kabar hoaks pun, mendapatkan momentumnya.
Darurat
Penyebaran kabar palsu di Indonesia memang memprihatinkan. Tertangkapnya para terduga pelaku dari sindikat produsen kabar palsu dan ujaran kebencian belakangan hari,
menjadi sebuah bukti.
Pada 2016 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita hoaks dan ujaran kebencian. Sumber-sumber itulah yang kemudian dijadikan rujukan dalam penyebaran ulang di media sosial.
Awal 2017 lalu, Masyarakat Telematika (Mastel) menunjukkan data bahwa dari sekian banyak kabar hoaks yang tersebar, sebesar 91,80% merupakan konten bermuatan politik.
Jika diperas lagi, dari seluruh muatan konten politik itu, sekira 88,60% di dalamnya dibalut dengan pembahasan yang bersinggungan dengan sentimen suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
Terlebih, nuansa agama. Penerjemahan ajaran yang semestinya bisa membangun kebaikan dan kedamaian ini, malah banyak disalahartikan sebagai pendukung ujaran kebencian.
Baca: [FOKUS] Hijrah Adalah Rekonsiliasi
Hijrah
Momentum tahun baru Islam, tidak hanya putus pada sejarah perpindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Di dalamnya, terdapat banyak pesan yang bisa menjadi permenungan bagi manusia tak terbatas masa.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, 1 Muharam juga bisa dimaknai sebagai hari antihoaks.
"Hijrah yang pernah dilakukan Nabi, hari ini kita maknai untuk beralih dari yang negatif ke positif. Seperti, menyetop diri dari kebiasaan menyebar hoaks," kata Nasaruddin kepada
Metrotvnews.com, di Masjid Nursiah Daud Paloh, Jakarta, Rabu, 20 September 2017.
Kebiasaan meneruskan ulang kabar yang diterima, kata Nasaruddin, sebenarnya bukan melulu perkara keliru. Hanya saja, melalui semangat hijrah semestinya tekad yang dibangun justru berhenti menyebar keburukan, lalu memperbanyak menyuarakan motivasi dan kebaikan.
"Mari kita maknai tahun baru Islam ini sebagai awal yang baik untuk menanam saham yang bisa memajukan bangsa. Bukan virus ujaran kebencian yang justru merongrong persatuan dan kesatuan," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)