medcom.id, Jakarta: Pulau Bali memang menggoda. Sekalipun seorang raja, rupanya mesti rela meninggalkan tanah kekuasaannya lebih lama demi puas menikmati pesona Pulau Dewata.
Ya. Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz yang sebelumnya mengagendakan liburan di Bali cuma sampai 9 Maret, tiba-tiba meminta perpanjangan waktu hingga tiga hari berikutnya.
Kunjungan Raja Salman di Indonesia memang bikin heboh. Dari jelang kedatangannya hingga hari ini, puluhan ribu pemberitaan dengan kata kunci raja ke tujuh negeri minyak itu telah menyemburat. Entah kenapa, Raja Salman semacam anak emas di antara sekian banyak sejarah kunjungan bilateral di Indonesia.
Mau berapa lama lagi 'Yang Mulia' bertahan dalam tamasya, sebenarnya Pemerintah dan masyarakat Indonesia tak ambil pusing. Toh, sudah berapa kali pula diberitakan, kunjungan dengan memboyong sebanyak 1.500 orang itu bisa dipastikan menyumbang pemasukan negara hingga miliaran rupiah.
Tidak semata-mata pula liburan. Karena sebelumnya sudah diteken sebanyak 11 kesepakatan antarkedua negara. Tapi jika membaca ulang kesemuanya, benarkah paket kerja sama itu telah berpihak dan sesuai dengan harapan Indonesia?
Yang tertinggal
Kedatangan Raja Salman begitu kental dengan isu investasi di Indonesia. Mengimbangi itu, ada juga obrolan bahwa rangkaian tour penguasa Arab Saudi di beberapa negara di Asia Tenggara itu sembari menawarkan penjualan saham awal alias initial public offering (IPO) Saudi Aramco sebesar 5%.
Saat baru menjejakkan kaki di Indonesia pada 1 Maret, Raja Salman pun disambut sang tuan rumah, Presiden Joko Widodo, langsung di pelataran Bandara. Persis seperti menyambut kedatangan sanak keluarga, Raja Salman diantar kesana kemari hingga kemudian lahirlah 11 poin kesepakatan Arab Saudi-Indonesia.
Sayangnya, entah lupa, entah terselip di bagian mana. Tak ada pembahasan mengenai kerja sama perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Padahal, ada 1,6 juta lebih TKI di negara Raja Salman, 25 orang di antaranya tengah terancam hukuman pancung, dan tak sedikit lainnya mengalami tindak kekerasan.
Guna memperjelas, bolehlah tengok salah satu TKI tervonis mati, Rusmini. Perempuan berusia 31 tahun asal Desa Sukadana, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat itu terjerat hukum dengan tuduhan memakai ilmu sihir untuk memengaruhi keluarga majikan. Pada 2012, hakim juga sudah menjatuhi Rusmini dengan hukuman cambuk sebanyak 1.200 kali dan denda SAR 1 juta atau Rp 3,5 miliar.
Mengutip keterangan Migrant Care, hukuman mati yang mengancam puluhan TKI di Arab Saudi biasanya dijerat tuduhan pembunuhan, memakai sihir, dan zina. Tapi di luar itu, masih banyak masalah hukum lain yang mereka dihadapi. Pantas saja, jika lembaga sekelas Migrant Care dan sejenisnya tampak gigih menyuarakan ini di tengah hiruk pikuk penyambutan Raja Salman.
Di ruang lain, kekecewaan serupa juga dilontarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). PBNU menilai, perlindungan pekerja Indonesia di Arab Saudi tak kalah penting ketimbang urusan investasi dan perkara ekonomi lainnya.
Pemerintah pun bisa membantah. Misalnya, dengan mengatakan bahwa komitmen untuk memperjuangkan nasib TKI itu sudah ditunjukkan dengan gamblang oleh Presiden Jokowi langsung di hadapan Raja Salman. Tapi sekali lagi, pada faktanya, pesan perlindungan itu luput dari catatan hitam di atas putih.
Selain Rusmini, begitu juga Karni (35). TKI asal Desa Karangjunti, Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah itu terancam hukuman pancung atas tuduhan pembunuhan. Kamis (13/12)/FOTO ANTARA/Oky Lukmansyah
Melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Pemerintah juga membantah dengan mengatakan bahwa perlindungan TKI itu sudah termaktub dalam pasal-pasal memerangi kejahatan internasional. Jika seperti itu, jatuhnya bisa berbeda di ranah buruh migran, terlebih di Arab Saudi. Pasalnya negara itu masih banyak yang belum menganggap TKI sebagai pekerja. Mereka mengenal istilah kafalla alias menganggap TKI sebagai properti belaka.
Dan memang begitulah, TKI di Arab Saudi tercerabut hak dan keselamatannya lantaran kerap dianggap sebagai benda mati. Sekadar komoditas jual beli.
Tagih
Berbeda dengan ekskutif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rupanya lebih memilih untuk mengklaim bahwa keinginan para keluarga TKI itu sudah ditembuskan saat Raja Salman bertamu ke Senayan. Kabarnya, surat permintaan perlindungan diserahkan ke beberapa anggota Majelis Syuro alias parlemen Arab Saudi yang juga turut dalam rombongan. Bahkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku, surat serupa ditembuskan juga kepada protokoler Raja Salman.
Namun lagi-lagi, wujud rupa surat yang dimaksud seperti apa, tak ada yang tahu.
Dari pada tak terang, lebih baik DPR menjalankan tugasnya terkait hal ini dengan mengebut revisi RUU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Penundaan proses tersebut juga harus disadari sangat berdampak pada situasi TKI yang tak kunjung membaik.
Perlindungan TKI jelas persoalan penting. Jika timbang-timbangnya melulu urusan ekonomi dan duit, siapa pula yang meragukan sumbangsih pejuang devisa itu bagi pemasukan negara. Mengutip Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), nilai remitansi atau transfer uang TKI rata-rata sebesar Rp 85,71 triliun di sepanjang 2010-2015.
Maka, kurang adil rasanya jika Pemerintah cuma membanggakan keberhasilan merayu Penjaga Dua Tanah Suci untuk menambah kuota haji Indonesia menjadi 221.000 jemaah. Jika itu dianggap lain urusan, lantas apa kabar janji Pemerintah Arab Saudi untuk memberi santunan kepada 53 jemaah haji asal Indonesia korban insiden jatuhnya crane pada musim haji 2015?
Banyak yang bilang, hubungan Arab Saudi dan Indonesia tak ubahnya serupa saudara, selayaknya keluarga. Tak patut rasanya jika seusai perjumpaan masih ada yang mengganjal di hati salah satu dari keduanya.
Jadi, timbanglah lebih jernih, mumpung Raja Salman masih di Bali.
medcom.id, Jakarta: Pulau Bali memang menggoda. Sekalipun seorang raja, rupanya mesti rela meninggalkan tanah kekuasaannya lebih lama demi puas menikmati pesona Pulau Dewata.
Ya. Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz yang sebelumnya mengagendakan liburan di Bali cuma sampai 9 Maret, tiba-tiba meminta perpanjangan waktu hingga tiga hari berikutnya.
Kunjungan Raja Salman di Indonesia memang bikin heboh. Dari jelang kedatangannya hingga hari ini, puluhan ribu pemberitaan dengan kata kunci raja ke tujuh negeri minyak itu telah menyemburat. Entah kenapa, Raja Salman semacam anak emas di antara sekian banyak sejarah kunjungan bilateral di Indonesia.
Mau berapa lama lagi 'Yang Mulia' bertahan dalam tamasya, sebenarnya Pemerintah dan masyarakat Indonesia tak ambil pusing. Toh, sudah berapa kali pula diberitakan, kunjungan dengan memboyong sebanyak 1.500 orang itu bisa dipastikan menyumbang pemasukan negara hingga miliaran rupiah.
Tidak semata-mata pula liburan. Karena sebelumnya sudah diteken sebanyak 11 kesepakatan antarkedua negara. Tapi jika membaca ulang kesemuanya, benarkah paket kerja sama itu telah berpihak dan sesuai dengan harapan Indonesia?
Yang tertinggal
Kedatangan Raja Salman begitu kental dengan isu investasi di Indonesia. Mengimbangi itu, ada juga obrolan bahwa rangkaian
tour penguasa Arab Saudi di beberapa negara di Asia Tenggara itu sembari menawarkan penjualan saham awal alias
initial public offering (IPO) Saudi Aramco sebesar 5%.
Saat baru menjejakkan kaki di Indonesia pada 1 Maret, Raja Salman pun disambut sang tuan rumah, Presiden Joko Widodo, langsung di pelataran Bandara. Persis seperti menyambut kedatangan sanak keluarga, Raja Salman diantar kesana kemari hingga kemudian lahirlah 11 poin kesepakatan Arab Saudi-Indonesia.
Sayangnya, entah lupa, entah terselip di bagian mana. Tak ada pembahasan mengenai kerja sama perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Padahal, ada 1,6 juta lebih TKI di negara Raja Salman, 25 orang di antaranya tengah terancam hukuman pancung, dan tak sedikit lainnya mengalami tindak kekerasan.
Guna memperjelas, bolehlah tengok salah satu TKI tervonis mati, Rusmini. Perempuan berusia 31 tahun asal Desa Sukadana, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat itu terjerat hukum dengan tuduhan memakai ilmu sihir untuk memengaruhi keluarga majikan. Pada 2012, hakim juga sudah menjatuhi Rusmini dengan hukuman cambuk sebanyak 1.200 kali dan denda SAR 1 juta atau Rp 3,5 miliar.
Mengutip keterangan
Migrant Care, hukuman mati yang mengancam puluhan TKI di Arab Saudi biasanya dijerat tuduhan pembunuhan, memakai sihir, dan zina. Tapi di luar itu, masih banyak masalah hukum lain yang mereka dihadapi. Pantas saja, jika lembaga sekelas
Migrant Care dan sejenisnya tampak gigih menyuarakan ini di tengah hiruk pikuk penyambutan Raja Salman.
Di ruang lain, kekecewaan serupa juga dilontarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). PBNU menilai, perlindungan pekerja Indonesia di Arab Saudi tak kalah penting ketimbang urusan investasi dan perkara ekonomi lainnya.
Pemerintah pun bisa membantah. Misalnya, dengan mengatakan bahwa komitmen untuk memperjuangkan nasib TKI itu sudah ditunjukkan dengan gamblang oleh Presiden Jokowi langsung di hadapan Raja Salman. Tapi sekali lagi, pada faktanya, pesan perlindungan itu luput dari catatan hitam di atas putih.
Selain Rusmini, begitu juga Karni (35). TKI asal Desa Karangjunti, Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah itu terancam hukuman pancung atas tuduhan pembunuhan. Kamis (13/12)/FOTO ANTARA/Oky Lukmansyah
Melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Pemerintah juga membantah dengan mengatakan bahwa perlindungan TKI itu sudah termaktub dalam pasal-pasal memerangi kejahatan internasional. Jika seperti itu, jatuhnya bisa berbeda di ranah buruh migran, terlebih di Arab Saudi. Pasalnya negara itu masih banyak yang belum menganggap TKI sebagai pekerja. Mereka mengenal istilah
kafalla alias menganggap TKI sebagai properti belaka.
Dan memang begitulah, TKI di Arab Saudi tercerabut hak dan keselamatannya lantaran kerap dianggap sebagai benda mati. Sekadar komoditas jual beli.
Tagih
Berbeda dengan ekskutif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rupanya lebih memilih untuk mengklaim bahwa keinginan para keluarga TKI itu sudah ditembuskan saat Raja Salman bertamu ke Senayan. Kabarnya, surat permintaan perlindungan diserahkan ke beberapa anggota Majelis Syuro alias parlemen Arab Saudi yang juga turut dalam rombongan. Bahkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku, surat serupa ditembuskan juga kepada protokoler Raja Salman.
Namun lagi-lagi, wujud rupa surat yang dimaksud seperti apa, tak ada yang tahu.
Dari pada tak terang, lebih baik DPR menjalankan tugasnya terkait hal ini dengan mengebut revisi RUU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Penundaan proses tersebut juga harus disadari sangat berdampak pada situasi TKI yang tak kunjung membaik.
Perlindungan TKI jelas persoalan penting. Jika timbang-timbangnya melulu urusan ekonomi dan duit, siapa pula yang meragukan sumbangsih pejuang devisa itu bagi pemasukan negara. Mengutip Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), nilai remitansi atau transfer uang TKI rata-rata sebesar Rp 85,71 triliun di sepanjang 2010-2015.
Maka, kurang adil rasanya jika Pemerintah cuma membanggakan keberhasilan merayu Penjaga Dua Tanah Suci untuk menambah kuota haji Indonesia menjadi 221.000 jemaah. Jika itu dianggap lain urusan, lantas apa kabar janji Pemerintah Arab Saudi untuk memberi santunan kepada 53 jemaah haji asal Indonesia korban insiden jatuhnya
crane pada musim haji 2015?
Banyak yang bilang, hubungan Arab Saudi dan Indonesia tak ubahnya serupa saudara, selayaknya keluarga. Tak patut rasanya jika seusai perjumpaan masih ada yang mengganjal di hati salah satu dari keduanya.
Jadi, timbanglah lebih jernih, mumpung Raja Salman masih di Bali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)