medcom.id, Jakarta: Kepatuhan tanpa kebebasan adalah perbudakan, kebebasan tanpa kepatuhan; nafsu.
Sosiolog Amerika Serikat (AS) Robert Neelly Bellah, tampaknya paham betul. Dalam Freedom, Coercion, and Authority (1999) itu, seakan ia menyimpulkan bahwa perihal kemerdekaan sekalipun, perlu juga titik tengah.
Hari ini, kebebasan sebagai ruh demokrasi, banyak mendapat sorotan. Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tak sepi dari pro dan kontra.
Yang sepakat, keputusan itu tak lain merupakan perwujudan dari ketegasan pemerintah. Dalihnya, keragaman yang menjadi latar belakang masyarakat Indonesia hanya bisa hidup di bawah naungan Pancasila. Itu makanya, aturan kuat diperlukan demi memukul segala hal yang bisa menjelma ancaman. Termasuk, ideologi di luar Pancasila dan gerakan ormas yang dinilai tak sejalan.
Namun di mata kelompok penentang, argumen itu keliru. Sebab, mereka merasa tak menemukan sinyal yang bisa dikategorikan sebagai rongrongan. Perubahan wajah Perppu menjadi UU kali ini, malah lebih dianggap mengancam kebebasan.
Tujuh dari sepuluh fraksi yang hadir dalam Rapat Paripurna menyatakan setuju atas pengesahan UU tersebut. Mereka adalah PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Meski tiga di antaranya, yaitu PPP, PKB, dan Demokrat menyisipkan catatan agar pemerintah berkenan segera merevisi Perppu bersama DPR.
Tiga lainnya, yakni PKS, PAN, dan Gerindra, dengan kekeh dan tegas menolak. Walau mufakat tak tercapai, teknik voting akhirnya melahirkan keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Di tanah demokrasi, tak ada yang salah dari dua sudut pandang tersebut. Kembali ke apa yang Bellah bilang, semuanya, toh sedang mencita-citakan kebaikan negara. Tak boleh ada perbudakan, apalagi nafsu berlebihan.
Peran sipil
Perkara ormas, bisa juga dijadikan sebagai bukti betapa beragamnya identitas rakyat Indonesia. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyebut, saat ini ada sebanyak 325.887 ormas yang terdaftar dan berbadan hukum.
Dari hasil voting terbuka, sebanyak 314 anggota dari tujuh fraksi menyatakan setuju, serta sebanyak 131 anggota dari tiga fraksi menyatakan tidak setuju. Anggota yang hadir seluruhnya sebanyak 445 anggota/ANTARA/Wahyu Putro A
Pendirian ormas, tentu dilandasi sebabak kebutuhan. Pembentukannya tak sembarang, tujuan yang dijadikan pedoman pun tak boleh serampangan.
Persoalan ormas ini, lantas muncul ketika beberapa pihak, termasuk pemerintah, mensinyalir satu ormas yang cenderung berseberangan dengan Pancasila. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah ormas dengan jargon kekhilafahan dianggap mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca: [Fokus] Di Ujung Pembubaran HTI
Masalahnya, ada semacam trauma di kalangan masyarakat. Dalam arti, terkait hadirnya UU yang memberi kewenangan bagi pemerintah untuk meridai dan tidak terhadap keberadaan sekelompok perkumpulan.
Menjelang akhir kekuasaan Presiden Soekarno, misalnya, diterbitkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Kala itu, pemerintah merasa perlu mencegah tindakan yang dianggap memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan ideologi Pancasila dan kekuasaan negara. Atau bagi siapa pun yang terkesan kontrarevolusi.
Menariknya, Penpres itu langgeng dan bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan. Presiden Soeharto, tetap mengadopsi aturan yang menyediakan hukuman berupa pidana mati, penjara seumur hidup, atau minimal pidana penjara selama 20 tahun tersebut.
Baik Orde Lama (Orla) maupun Orde Baru (Orba), aturan itu terkesan lebih berfungsi sebagai palu godam. Regulasi yang dinilai akan begitu tajam menyasar orang dan kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan.
Pascareformasi, Penpres sakti itu dicabut melalui UU Nomor 26 Tahun 1999. Alasannya, aturan itu malah menciptakan ketidakpastian hukum, serta bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM).
Lalu, apa bedanya dengan UU yang diketuk DPR barusan?
Intelektual muslim Azyumardi Azra mengatakan, pengesahan Perppu menjadi UU Ormas hari ini tidak bisa disamakan dengan peraturan-peraturan di masa lalu. Sebab, dalam UU Subversif yang pernah diberlakukan itu seakan tidak disediakan sedikit pun ruang bagi masyarakat untuk mengontrol ekskusi yang dilakukan pemerintah.
"Sekarang, civil society harus mengawasi tindakan dan keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Jika represif, bisa diprotes ramai-ramai," kata Azyumardi dalam Primetime News di Metro TV, Selasa, 24 Oktober 2017.
Untuk itulah, kata dia, usulan agar segera dilakukan revisi juga harus ditanggapi dengan baik oleh pemerintah. Pasalnya, tuduhan bahwa pemerintah hari ini juga menghadirkan wajah represif bisa diminimalisir dengan memperbaiki mengenai konsekuensi hukuman yang diterapkan.
"Kurungan pidana sekian tahun bagi yang terbukti melanggar, tidak diperlukan. Hukuman harus lebih bersifat edukatif agar tak menimbulkan masalah berkepanjangan," kata dia.
Baca: [Fokus] Yang Perlu Setelah Perppu
Menimbang sejarah dan tetangga
Ada kemiripan dalam sejarah sosial politik antara Indonesia dan Negeri Jiran, Malaysia.
Dalam Menggugat otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia (2004), sosiolog Ariel Heryanto mengatakan keduanya sama-sama pernah memiliki corak penggunaan kekuasaan secara represif.
Indonesia, melalui Orba-nya, pernah memunculkan kekerasan politik dan memelihara pemerintahan militeristik dengan tindakan-tindakang brutal terhadap oposisi. Hal itu, terjadi berbarengan ketika Malaysia memerankan karakter represif dengan bertumpu pada UU keamanan warisan kolonial Inggris.
"Ada suatu masa, terutama sebelum 1990, orang Indonesia memandang Malaysia sebagai negara yang lebih tertib dari pada negeri mereka, sedangkan bagi Malaysia yang sesungguhnya terjadi adalah yang sebaliknya," tulis Ariel.
Malaysia, boleh jadi lebih parah. Pengebirian politik itu disimpan rapi melalui amandemen April 1998 terhadap UU Berorganisasi alias Companiest Act. Berdasarkan aturan itu, para birokrat setempat memiliki kekuasaan sangat besar dan nyaris tak terbatas untuk menolak pendaftaran atau membubarkan suatu organisasi.
"Aturan lainnya, Internal Security Act (ISA) merupakan contoh yang lebih gamblang mengenai otoriterisme di Malaysia," tulis Ariel, masih dalam buku yang sama.
Konsep ISA, masih digunakan di Malaysia, bahkan Singapura hingga sekarang. Tapi, kebijakan keras dalam memerangi segala yang dianggap ancaman negara itu, tak dilirik Pemerintah Indonesia.
Pun melalui UU Ormas yang baru disahkan hari ini, pemerintah justru berhasil menghindarkan diri dari penggunaan cara-cara kekerasan. Perppu Ormas, rupanya banyak ambil pelajaran dari sejarah, maupun negeri tetangga.
Singkatnya, aturan baru ini akan menjadi jalan tengah. Untuk mengekskusi, pemerintah bisa langsung membubarkan satu-dua ormas yang dianggap membahayakan. Keputusan itu, tak lagi harus bertele-tele sebagaimana yang termaktub dalam aturan sebelumnya.
Begitu juga bagi ormas terkait, mereka masih diberikan kebebasan dan hak untuk menempuh jalur pengadilan. Belum lagi, ada kekuatan lain berupa kontrol publik yang sudah amat leluasa di era serba keterbukaan.
UU Ormas, memang harus disambut dengan cara cerdas. Ia lahir dengan cara demokratis, di negeri demokratis, untuk menjaga kehidupan yang tetap demokratis.
medcom.id, Jakarta: Kepatuhan tanpa kebebasan adalah perbudakan, kebebasan tanpa kepatuhan; nafsu.
Sosiolog Amerika Serikat (AS) Robert Neelly Bellah, tampaknya paham betul. Dalam
Freedom, Coercion, and Authority (1999) itu, seakan ia menyimpulkan bahwa perihal kemerdekaan sekalipun, perlu juga titik tengah.
Hari ini, kebebasan sebagai ruh demokrasi, banyak mendapat sorotan. Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tak sepi dari pro dan kontra.
Yang sepakat, keputusan itu tak lain merupakan perwujudan dari ketegasan pemerintah. Dalihnya, keragaman yang menjadi latar belakang masyarakat Indonesia hanya bisa hidup di bawah naungan Pancasila. Itu makanya, aturan kuat diperlukan demi memukul segala hal yang bisa menjelma ancaman. Termasuk, ideologi di luar Pancasila dan gerakan ormas yang dinilai tak sejalan.
Namun di mata kelompok penentang, argumen itu keliru. Sebab, mereka merasa tak menemukan sinyal yang bisa dikategorikan sebagai rongrongan. Perubahan wajah Perppu menjadi UU kali ini, malah lebih dianggap mengancam kebebasan.
Tujuh dari sepuluh fraksi yang hadir dalam Rapat Paripurna menyatakan setuju atas pengesahan UU tersebut. Mereka adalah PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Meski tiga di antaranya, yaitu PPP, PKB, dan Demokrat menyisipkan catatan agar pemerintah berkenan segera merevisi Perppu bersama DPR.
Tiga lainnya, yakni PKS, PAN, dan Gerindra, dengan kekeh dan tegas menolak. Walau mufakat tak tercapai, teknik
voting akhirnya melahirkan keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Di tanah demokrasi, tak ada yang salah dari dua sudut pandang tersebut. Kembali ke apa yang Bellah bilang, semuanya, toh sedang mencita-citakan kebaikan negara. Tak boleh ada perbudakan, apalagi nafsu berlebihan.
Peran sipil
Perkara ormas, bisa juga dijadikan sebagai bukti betapa beragamnya identitas rakyat Indonesia. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyebut, saat ini ada sebanyak 325.887 ormas yang terdaftar dan berbadan hukum.
Dari hasil voting terbuka, sebanyak 314 anggota dari tujuh fraksi menyatakan setuju, serta sebanyak 131 anggota dari tiga fraksi menyatakan tidak setuju. Anggota yang hadir seluruhnya sebanyak 445 anggota/ANTARA/Wahyu Putro A
Pendirian ormas, tentu dilandasi sebabak kebutuhan. Pembentukannya tak sembarang, tujuan yang dijadikan pedoman pun tak boleh serampangan.
Persoalan ormas ini, lantas muncul ketika beberapa pihak, termasuk pemerintah, mensinyalir satu ormas yang cenderung berseberangan dengan Pancasila. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah ormas dengan jargon kekhilafahan dianggap mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca: [Fokus] Di Ujung Pembubaran HTI
Masalahnya, ada semacam trauma di kalangan masyarakat. Dalam arti, terkait hadirnya UU yang memberi kewenangan bagi pemerintah untuk meridai dan tidak terhadap keberadaan sekelompok perkumpulan.
Menjelang akhir kekuasaan Presiden Soekarno, misalnya, diterbitkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Kala itu, pemerintah merasa perlu mencegah tindakan yang dianggap memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan ideologi Pancasila dan kekuasaan negara. Atau bagi siapa pun yang terkesan kontrarevolusi.
Menariknya, Penpres itu langgeng dan bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan. Presiden Soeharto, tetap mengadopsi aturan yang menyediakan hukuman berupa pidana mati, penjara seumur hidup, atau minimal pidana penjara selama 20 tahun tersebut.
Baik Orde Lama (Orla) maupun Orde Baru (Orba), aturan itu terkesan lebih berfungsi sebagai palu godam. Regulasi yang dinilai akan begitu tajam menyasar orang dan kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan.
Pascareformasi, Penpres sakti itu dicabut melalui UU Nomor 26 Tahun 1999. Alasannya, aturan itu malah menciptakan ketidakpastian hukum, serta bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM).
Lalu, apa bedanya dengan UU yang diketuk DPR barusan?
Intelektual muslim Azyumardi Azra mengatakan, pengesahan Perppu menjadi UU Ormas hari ini tidak bisa disamakan dengan peraturan-peraturan di masa lalu. Sebab, dalam UU Subversif yang pernah diberlakukan itu seakan tidak disediakan sedikit pun ruang bagi masyarakat untuk mengontrol ekskusi yang dilakukan pemerintah.
"Sekarang,
civil society harus mengawasi tindakan dan keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Jika represif, bisa diprotes ramai-ramai," kata Azyumardi dalam
Primetime News di
Metro TV, Selasa, 24 Oktober 2017.
Untuk itulah, kata dia, usulan agar segera dilakukan revisi juga harus ditanggapi dengan baik oleh pemerintah. Pasalnya, tuduhan bahwa pemerintah hari ini juga menghadirkan wajah represif bisa diminimalisir dengan memperbaiki mengenai konsekuensi hukuman yang diterapkan.
"Kurungan pidana sekian tahun bagi yang terbukti melanggar, tidak diperlukan. Hukuman harus lebih bersifat edukatif agar tak menimbulkan masalah berkepanjangan," kata dia.
Baca: [Fokus] Yang Perlu Setelah Perppu
Menimbang sejarah dan tetangga
Ada kemiripan dalam sejarah sosial politik antara Indonesia dan Negeri Jiran, Malaysia.
Dalam
Menggugat otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia (2004), sosiolog Ariel Heryanto mengatakan keduanya sama-sama pernah memiliki corak penggunaan kekuasaan secara represif.
Indonesia, melalui Orba-nya, pernah memunculkan kekerasan politik dan memelihara pemerintahan militeristik dengan tindakan-tindakang brutal terhadap oposisi. Hal itu, terjadi berbarengan ketika Malaysia memerankan karakter represif dengan bertumpu pada UU keamanan warisan kolonial Inggris.
"Ada suatu masa, terutama sebelum 1990, orang Indonesia memandang Malaysia sebagai negara yang lebih tertib dari pada negeri mereka, sedangkan bagi Malaysia yang sesungguhnya terjadi adalah yang sebaliknya," tulis Ariel.
Malaysia, boleh jadi lebih parah. Pengebirian politik itu disimpan rapi melalui amandemen April 1998 terhadap UU Berorganisasi alias
Companiest Act. Berdasarkan aturan itu, para birokrat setempat memiliki kekuasaan sangat besar dan nyaris tak terbatas untuk menolak pendaftaran atau membubarkan suatu organisasi.
"Aturan lainnya,
Internal Security Act (ISA) merupakan contoh yang lebih gamblang mengenai otoriterisme di Malaysia," tulis Ariel, masih dalam buku yang sama.
Konsep ISA, masih digunakan di Malaysia, bahkan Singapura hingga sekarang. Tapi, kebijakan keras dalam memerangi segala yang dianggap ancaman negara itu, tak dilirik Pemerintah Indonesia.
Pun melalui UU Ormas yang baru disahkan hari ini, pemerintah justru berhasil menghindarkan diri dari penggunaan cara-cara kekerasan. Perppu Ormas, rupanya banyak ambil pelajaran dari sejarah, maupun negeri tetangga.
Singkatnya, aturan baru ini akan menjadi jalan tengah. Untuk mengekskusi, pemerintah bisa langsung membubarkan satu-dua ormas yang dianggap membahayakan. Keputusan itu, tak lagi harus bertele-tele sebagaimana yang termaktub dalam aturan sebelumnya.
Begitu juga bagi ormas terkait, mereka masih diberikan kebebasan dan hak untuk menempuh jalur pengadilan. Belum lagi, ada kekuatan lain berupa kontrol publik yang sudah amat leluasa di era serba keterbukaan.
UU Ormas, memang harus disambut dengan cara cerdas. Ia lahir dengan cara demokratis, di negeri demokratis, untuk menjaga kehidupan yang tetap demokratis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)