(Kiri ke Kanan) Dosen Hukum Tata Negara  STHI Jentera, Bivitri Susanti, Guru Besar Antropologi UI Sulistyowati Irianto, perwakilan masyarakat adat Sunda wiwitan Dewi Kanti, kuasa hukum Sunda wiwitan Antonius Cahyadi. MTVN/Adin Azhar.
(Kiri ke Kanan) Dosen Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti, Guru Besar Antropologi UI Sulistyowati Irianto, perwakilan masyarakat adat Sunda wiwitan Dewi Kanti, kuasa hukum Sunda wiwitan Antonius Cahyadi. MTVN/Adin Azhar.

Negara Dinilai Abaikan Eksistensi Masyarakat Adat

M Sholahadhin Azhar • 21 September 2017 05:36
medcom.id, Jakarta: Keberadaan masyarakat adat di Tanah Air dipandang sebelah mata. Padahal entitas tersebut sudah ada sebelum Indonesia berdiri, seharusnya ada perhatian khusus dari pemerintah terkait hal ini.
 
"Masyarakat adat ada sebelum Indonesia merdeka. Tapi ketika jadi Indonesia, kok masyarakat adat jadi warga negara kelas dua," kata Guru Besar Antropologi UI Sulistyowati Irianto di diskusi Peran Negara Dalam Mengatasi Konflik Tanah Masyarakat di Jakarta, Rabu 20 September 2017.
 
Sejak Oktober 1928 masyarakat adat diakui dan hidup berkelindan. Hingga saat ini, malah jumlahnya terus tergerus. Contohnya seperti Suku Anak Dalam (SAD). Sulis mengatakan, hal ini terjadi karena negara tidak hadir melindungi mereka.

Salah satu contoh kasus di Cigugur, Kuningan. Ada masyarakat adat Sunda Wiwitan yang digugat perihal tanah adat. Namun Pengadilan Negeri Kabupaten Kuningan menyelesaikan perkara itu dengan hukum waris. Sehingga masyarakat adat Sunda Wiwitan dirugikan.
 
Sebab, sejak lama tanah itu menjadi tanah adat yang disepakati keluarga leluhur Sunda. Bahkan ada manuskrip yang diteliti telah ada sejak abad 18, berisi tentang perjanjian tanah adat di sana.
 
"Ada konsistensi hukum, mengakui keberadaan masyarakat adat tapi mengabaikan dan tidak mengakui mereka," imbuh Sulis.
 
Selain itu, hal-hal lain juga menjadi dasar tudingan pengabaian olen negara. Seperti pengakuan keyakinan yang dianut masyarakat adat. Hal ini mengakibatkan polemik dokumen kependudukan. Kepercayaan mereka tak bisa dimasukkan dalam kolom agama di sana.
 
Dampaknya jelas menyakitkan, mulai dari lahir para masyarakat adat berpotensi mendapat label 'anak di luar nikah'. Sebab, bapak dan ibunya tidak tercatat dalam Kantor Urusan Agama saat menikah, karena tak ada kejelasan dalam kolom agama.
 
Sulis menilai, seharusnya negara bisa mengakomodir itu. Sebab, pernah terjadi saat Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia. "Artinya secara politik, pengakuan bisa diberikan. Waktu jaman Gus Dur, agama yang tadinya lima jadi enam.  Itu implikasi besar banget," katanya.
 
Terakhir, masalah polemik agama bagi masyarakat adat juga menghadang mereka saat menemui proses hukum. Ini dialami oleh masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan. Ketika ada tokoh masyarakat yang memberikan kesaksian saat proses sengketa tanah adat, ia tidak disumpah.
 
Hakim menganggap keyakinan saksi tak memiliki dasar agama, sehingga tak masuk kategori kesaksian. "Hanya karena mereka menempatkan masyarakat adat sebagai orang yang tidak beragama," pungkas Sulis.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan