Patung WR Supratman menyanyikan Indonesia Raya di depan peserta Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: MTVN/Dheri A)
Patung WR Supratman menyanyikan Indonesia Raya di depan peserta Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: MTVN/Dheri A)

Peringatan Sumpah Pemuda

Rumitnya Perizinan Kongres Pemuda II

Sobih AW Adnan • 28 Oktober 2017 18:52
medcom.id, Jakarta: Susunan panitia sudah dibentuk. Pun para narasumber yang hendak mengisi dalam forum bergengsi Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928, telah ditentukan.
 
Perkaranya, perhelatan ini bakal repot dalam bab perolehan izin Pemerintah Kolonial. Apalagi, Belanda kian tak sembarang mengeluarkan izin pertemuan-pertemuan.
 
"Pemerintah Hindia Belanda tidak mau terkecoh lagi setelah pada 1926 berhasil dikelabuhi M. Tabrani dan teman-temannya ketika mereka menyelenggarakan Kongres Pemuda Pertama," tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman (2012).

Ialah Mr. Sunario, yang diamanati panitia untuk menembus segala keperluan perizinan. Ia pun dibekali setumpuk dokumen dan surat kuasa untuk menghadapi para pembesar Hindia Belanda demi meraih izin tertulis. 
 
Sempat dilarang
 
Seperti yang telah banyak diramal, Belanda akhirnya menolak permohonan izin yang diajukan panitia.
 
Dr. Kiewiet de Jonge, aparatur perizinan Pemerintah Hindia Belanda yang menemui Sunario bilang, pihak keamanan berkeberatan dengan salah satu rangkaian acara yang tertera. Tepatnya, pada jadwal Rapat Ketiga yang telah diajukan panitia kongres.
 
"Yaitu bahwa dalam rangka acara rapat kerja tanggal 28 Oktober 1928 akan diawali dengan arak-arakan Pandoe (padvinderij)," tulis Bambang, masih dalam buku yang sama.
 
Pemerintah Kolonial menuding, rangkaian acara seperti itu amat melenceng dan terkesan tidak berhubungan dengan kongres. 
 
Alhasil, Jonge amat mantap mengatakan bahwa Pemerintah Kolonial melarang digelarnya Kongres Pemuda Kedua.
 
Panitia kongres, memang tak salah tunjuk orang. Mr. Sunario yang tak kalah cerdas pun mengeluarkan dalih-dalih yang pada akhirnya mampu membuyarkan pandangan Belanda.
 
"Dengan menyatakan melarang pawai Pandu, tidaklah berarti bahwa pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua juga harus dilarang," ucap Sunario, sebagaimana dikutip Bambang.
 
Izin bersyarat
 
Jawaban Sunario, mau tidak mau mengubah keputusan Belanda. Setelah terlebih dahulu mendengar masukan para ahli dari Kantoor voor Inlandse Zaken, alias instansi penasehat urusan politik Hindia Belanda, akhirnya Jonge mengeluarkan izin dengan disertai beberapa syarat.
 
Pertama, tidak ada pawai atau arak-arakan dalam rangkaian acara. Termasuk, agenda kepanduan.
 
Kedua, Pemerintah Kolonial berhak menghentikan setiap pidato dalam kongres jika dinilai mengandung ancaman, sindiran, atau hinaan terhadap kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
 
Ketiga, Pemerintah Belanda boleh mengambil inisiatif jalan kekerasan jika syarat-syarat itu tidak diindahkan.
 
Di mata Sunario, syarat seabrek dan cukup berat itu dianggap tak soal. Yang penting baginya dan panitia, izin pemerintah bisa diterbitkan.
 
"Setelah memperoleh izin resmi dan tertulis, panitia kongres kemudian mempersilakan WR. Supratman dan beberapa wartawan lainnya menyiarkan berita mengenai rencana pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua," tulis Bambang.
 
Keesokan harinya, hampir serentak, Sin Po dan beberapa surat kabar Melayu memuat gambaran pelaksanaan kongres. Mereka menjabarkan tujuan, narasumber, organisasi-organisasi yang terlibat, berikut jadwal kegiatan secara lengkap.
 
Gayung pun bersambut. Kongres Pemuda Kedua berjalan khidmat dan lancar. Meski di sana-sini, panitia dengan gesit melakukan perubahan demi mendapatkan tekanan berlebih Pemerintah Kolonial.
 
Baca: Mengenal Dolly, Pelantun Pertama "Indonesia Raya"
 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan