Jakarta: Pemotongan Bantuan Sosial Tunai (BST) kian menimpa sejumlah warga. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni menjelaskan, sejak 2020 belum dilakukan proses tindak lanjut dari laporan kasus pemotongan atau pemungutan liar (pungli) bantuan sosial (bansos).
Menurut Data ICW, dari hampir 200 laporan, 45 persennya merupakan keluhan terkait pemotongan bansos yang ditemukan melalui pemantauan di 11 daerah pada tahun 2020. Hal ini dinilai kembali terjadi di tahun 2021.
"Banyak warga yang melaporkan, baik yang dilakukan oleh RT/RW atau pendamping sejak tahun lalu. Tetapi tindak lanjut dari laporan itu yang kita tidak tahu," kata Dewi dalam tayangan Metro Siang di Metro TV pada Sabtu, 31 Juli 2021.
Dewi menyatakan, berbagai pengaduan telah diantarkan kepada pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat melalui tatap muka ataupun dalam jaringan (daring). Namun, belum dilakukan penindaklanjutan dengan baik.
"Dikatakan ‘Ayo Lapor!’, tapi bagaimana kita mau melaporkan kalau tindak lanjutnya saja kita tidak tahu," ujar Dewi.
Dewi menyebutkan, terdapat tiga celah yang menjadi potensi terjadinya pemotongan bansos. Di antaranya, ketidakakuratan pendataan, pengadaan darurat yang mencakup bansos dan alat material kesehatan, serta sistem distribusi yang meliputi kurangnya sosialisasi dan pemotongan.
"Sosialisasi paling penting, mereka harus tahu bansos itu berapa nominalnya dan terdiri dari apa saja," jelas Dewi.
Pihaknya menyarankan pemerintah pusat segera memastikan proses verifikasi bansos yang tepat sasaran telah dilakukan di sejumlah daerah. Perbaikan tindak lanjut dengan tujuan mencapai transparansi dari Bansos tersebut. (Nadia Ayu)
Jakarta: Pemotongan Bantuan Sosial Tunai (BST) kian menimpa sejumlah warga. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni menjelaskan, sejak 2020 belum dilakukan proses tindak lanjut dari laporan kasus pemotongan atau pemungutan liar (pungli) bantuan sosial (bansos).
Menurut Data ICW, dari hampir 200 laporan, 45 persennya merupakan keluhan terkait pemotongan bansos yang ditemukan melalui pemantauan di 11 daerah pada tahun 2020. Hal ini dinilai kembali terjadi di tahun 2021.
"Banyak warga yang melaporkan, baik yang dilakukan oleh RT/RW atau pendamping sejak tahun lalu. Tetapi tindak lanjut dari laporan itu yang kita tidak tahu," kata Dewi dalam tayangan Metro Siang di Metro TV pada Sabtu, 31 Juli 2021.
Dewi menyatakan, berbagai pengaduan telah diantarkan kepada pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat melalui tatap muka ataupun dalam jaringan (daring). Namun, belum dilakukan penindaklanjutan dengan baik.
"Dikatakan ‘Ayo Lapor!’, tapi bagaimana kita mau melaporkan kalau tindak lanjutnya saja kita tidak tahu," ujar Dewi.
Dewi menyebutkan, terdapat tiga celah yang menjadi potensi terjadinya pemotongan bansos. Di antaranya, ketidakakuratan pendataan, pengadaan darurat yang mencakup bansos dan alat material kesehatan, serta sistem distribusi yang meliputi kurangnya sosialisasi dan pemotongan.
"Sosialisasi paling penting, mereka harus tahu bansos itu berapa nominalnya dan terdiri dari apa saja," jelas Dewi.
Pihaknya menyarankan pemerintah pusat segera memastikan proses verifikasi bansos yang tepat sasaran telah dilakukan di sejumlah daerah. Perbaikan tindak lanjut dengan tujuan mencapai transparansi dari Bansos tersebut. (
Nadia Ayu)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)