medcom.id, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus anak yang terpapar terorisme dan ideologi radikal meningkat sepanjang 2016. Kasus terkait dengan agama dan budaya yang ditangani KPAI selama 2015 sebanyak 180 kasus, sedangkan 2016 sebanyak 219 kasus.
"Saat ini KPAI melakukan pengawasan intensif terhadap empat anak yang terpapar terorisme. KPAI juga memantau langsung anak-anak di Lapas dengan kasus terorisme. Ternyata, di dalam penjara justru terjadi radikalisasi anak," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Kantor KPAI, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2016).
Asrorun menjelaskan, KPAI mendesak penegak hukum menerapkan pendekatan restorative justice atau pendekatan pemulihan bagi anak-anak yang terpapar terorisme. Penanganan kasus hukum anak yang terpapar ideologi radikal dan terorisme, sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang SPPA, perlu diarahkan untuk memulihkan agar anak memiliki masa depan lebih baik. Bukan penghukuman.
Dengan pendekatan pemulihan, lanjut Asrorun, hak-hak anak akan tetap didapat, seperti pendidikan, mendapat pengetahuan sesuai dengan usianya, serta hak tumbuh kembang. "Selain itu, yang harus diperhatikan adalah media sosial. Saat ini, radikalisme sangat berkembang biak di media sosial," katanya.
Menurut Asrorun, peran keluarga dan orang tua sangat besar agar anak tidak mudah mendapatkan informasi yang salah tentang agama. "Harus ada penyaring yang lebih besar lagi, agar anak tidak mendapatkan informasi begitu saja, khususnya di dunia maya," pungkas dia.
(Baca: Mengintip Pesantren Anak Teroris di Deli Serdang)
medcom.id, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus anak yang terpapar terorisme dan ideologi radikal meningkat sepanjang 2016. Kasus terkait dengan agama dan budaya yang ditangani KPAI selama 2015 sebanyak 180 kasus, sedangkan 2016 sebanyak 219 kasus.
"Saat ini KPAI melakukan pengawasan intensif terhadap empat anak yang terpapar terorisme. KPAI juga memantau langsung anak-anak di Lapas dengan kasus terorisme. Ternyata, di dalam penjara justru terjadi radikalisasi anak," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Kantor KPAI, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2016).
Asrorun menjelaskan, KPAI mendesak penegak hukum menerapkan pendekatan restorative justice atau pendekatan pemulihan bagi anak-anak yang terpapar terorisme. Penanganan kasus hukum anak yang terpapar ideologi radikal dan terorisme, sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang SPPA, perlu diarahkan untuk memulihkan agar anak memiliki masa depan lebih baik. Bukan penghukuman.
Dengan pendekatan pemulihan, lanjut Asrorun, hak-hak anak akan tetap didapat, seperti pendidikan, mendapat pengetahuan sesuai dengan usianya, serta hak tumbuh kembang. "Selain itu, yang harus diperhatikan adalah media sosial. Saat ini, radikalisme sangat berkembang biak di media sosial," katanya.
Menurut Asrorun, peran keluarga dan orang tua sangat besar agar anak tidak mudah mendapatkan informasi yang salah tentang agama. "Harus ada penyaring yang lebih besar lagi, agar anak tidak mendapatkan informasi begitu saja, khususnya di dunia maya," pungkas dia.
(Baca: Mengintip Pesantren Anak Teroris di Deli Serdang) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)