medcom.id, Jakarta: Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tak main-main dalam menyidangkan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Para hakim menuntut keterangan yang jelas dari para saksi yang dihadirkan di persidangan. Akibatnya, banyak saksi yang kena "semprot" Ketua MK Hamdan Zoelva cs lantaran memberikan keterangan yang tidak jelas, bahkan aneh.
Salah satu korban "keganasan" Hakim MK adalah saksi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk tingkat kota Surabaya, Arif indrijanto. Kala itu, Arif mengatakan ada bentuk intimidasi dari Wakil Wali Kota Surabaya, Wisnu Sakti Buana kepada anggota Panitia Pengawas KEcamatan (Panwascam). Namun, saat dimintai kejelasan dari dugaannya itu, Arif justru tak bisa menjawab.
"Kita enggak hafal,” jawab Arif ketika ditanya sapa nama Panwascam yang diancam, pada sidang Jumat (8/8/2014).
Mendengar jawaban itu, Hamdan selaku pimpinan sidang pun naik pitam. Dengan suara meninggi ia menegur Arif. "Jangan cerita tidak jelas di sini, yang tidak bisa diverifikasi siapa? Diancam apa? Kapan? Harus jelas, kalau tidak, nggak usah cerita,” terang hamdan.
Cerita serupa juga terjadi pada M. Rahmatullah al Amin yang juga dari Surabaya. Rahmat menerangkan pernyataan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di media massa mengenai kesuksesannya membawa Joko Widodo-Jusuf Kalla menang dalam pemilu presiden sebagai bentuk hutang yang dilunasi tim kampanye.
"Yang Mulia, ini saya bawa suara teman-teman di Surabaya. Saya punya buktinya," ujar Rahmat dengan mata yang berkaca-kaca sambil menunjukan sebuah kliping koran.
Hamdan menilai berita yang dikliping Rahmat tidak bisa dijadikan alat bukti yang kuat dalam persidangan. "Cukup ya jangan diteruskan yang di media massa itu karena belum tentu benar atau salah, atau narasumbernya tidak benar," tegas Hamdan.
Namum Rahmat tak mengindahkan perkataan Hamdan. Ia terus berbicara. Hamdan pun kesal, ia akhirnya menegur Rahmat dengan nada yang keras. Barulah saksi itu bisa diam.
"Kalau dibilang cukup, ya cukup! Saya ingatkan ya! Atau nanti saya keluarkan dari ruang sidang!" tegas Hamdan.
Ada lagi kisah saksi Prabowo-Hatta dari Sidoarjo yang bernama Purwanto. Ia menyebut ada penggelembungan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) dalam suatu tempat pemungutan suara (TPS) yang angkanya mencapai 130 suara. Namun, Purwanto tak dapat mengingat siapa saksi yang bertugas di TPS itu.
Begitu pula dengan Bendhot Widoyo, saksi Prabowo-Hatta tingkat di Jepara, Jawa Tengah. Bendhot bilang ada pembagian mi instan dan uang sebesar Rp5.000 untuk mengarahkan warga memilih ke calon nomor 2. Namun, ia tak bisa menunjukan ke absahan tudingan yang ia terima dari seorang relawannya itu.
Kendati demikian, penilaian akhir pada keterangan saksi-saksi ini ada di tangan sembilan hakim MK. Sebab, mereka yang menangani permohonan ini dan punya andil dalam memutuskan perkara.
medcom.id, Jakarta: Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tak main-main dalam menyidangkan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Para hakim menuntut keterangan yang jelas dari para saksi yang dihadirkan di persidangan. Akibatnya, banyak saksi yang kena "semprot" Ketua MK Hamdan Zoelva cs lantaran memberikan keterangan yang tidak jelas, bahkan aneh.
Salah satu korban "keganasan" Hakim MK adalah saksi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk tingkat kota Surabaya, Arif indrijanto. Kala itu, Arif mengatakan ada bentuk intimidasi dari Wakil Wali Kota Surabaya, Wisnu Sakti Buana kepada anggota Panitia Pengawas KEcamatan (Panwascam). Namun, saat dimintai kejelasan dari dugaannya itu, Arif justru tak bisa menjawab.
"Kita enggak hafal,” jawab Arif ketika ditanya sapa nama Panwascam yang diancam, pada sidang Jumat (8/8/2014).
Mendengar jawaban itu, Hamdan selaku pimpinan sidang pun naik pitam. Dengan suara meninggi ia menegur Arif. "Jangan cerita tidak jelas di sini, yang tidak bisa diverifikasi siapa? Diancam apa? Kapan? Harus jelas, kalau tidak, nggak usah cerita,” terang hamdan.
Cerita serupa juga terjadi pada M. Rahmatullah al Amin yang juga dari Surabaya. Rahmat menerangkan pernyataan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di media massa mengenai kesuksesannya membawa Joko Widodo-Jusuf Kalla menang dalam pemilu presiden sebagai bentuk hutang yang dilunasi tim kampanye.
"Yang Mulia, ini saya bawa suara teman-teman di Surabaya. Saya punya buktinya," ujar Rahmat dengan mata yang berkaca-kaca sambil menunjukan sebuah kliping koran.
Hamdan menilai berita yang dikliping Rahmat tidak bisa dijadikan alat bukti yang kuat dalam persidangan. "Cukup ya jangan diteruskan yang di media massa itu karena belum tentu benar atau salah, atau narasumbernya tidak benar," tegas Hamdan.
Namum Rahmat tak mengindahkan perkataan Hamdan. Ia terus berbicara. Hamdan pun kesal, ia akhirnya menegur Rahmat dengan nada yang keras. Barulah saksi itu bisa diam.
"Kalau dibilang cukup, ya cukup! Saya ingatkan ya! Atau nanti saya keluarkan dari ruang sidang!" tegas Hamdan.
Ada lagi kisah saksi Prabowo-Hatta dari Sidoarjo yang bernama Purwanto. Ia menyebut ada penggelembungan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) dalam suatu tempat pemungutan suara (TPS) yang angkanya mencapai 130 suara. Namun, Purwanto tak dapat mengingat siapa saksi yang bertugas di TPS itu.
Begitu pula dengan Bendhot Widoyo, saksi Prabowo-Hatta tingkat di Jepara, Jawa Tengah. Bendhot bilang ada pembagian mi instan dan uang sebesar Rp5.000 untuk mengarahkan warga memilih ke calon nomor 2. Namun, ia tak bisa menunjukan ke absahan tudingan yang ia terima dari seorang relawannya itu.
Kendati demikian, penilaian akhir pada keterangan saksi-saksi ini ada di tangan sembilan hakim MK. Sebab, mereka yang menangani permohonan ini dan punya andil dalam memutuskan perkara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)