medcom.id, Jakarta: Saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, mulut Soeharto tak henti menggumamkan zikir. Jika dalam kondisi sadar, ia selalu menunaikan salat di awal waktu.
Kepada dokter, Pak Harto bersikukuh meminta tubuhnya dimiringkan menghadap kiblat. Padahal, sudah dijelaskan ada dispensasi bagi orang yang sakit dalam menunaikan salat.
Quraish Shibah mendampingi hari-hari terakhir Soeharto. Ia menyaksikan penguasa di era pemerintahan Orde Baru tersebut tampak ikhlas dan siap menghadapi kematian. Jauh-jauh hari, Pak Harto berpesan soal penguburannya.
Bila wafat sebelum Zuhur, ia meminta jenazahnya diterbangkan ke Astana Giribangun hari itu juga. Namun, jika berpulang setelah Zuhur, Pak Harto meminta jasadnya diinapkan dulu di Cendana.
Minggu 27 Januari 2008, Pak Harto wafat selepas Zuhur. Jenazahnya diinapkan di Cendana. Sebelum diterbangkan ke Astana Giribangun, di hadapan para peziarah Quraish berbicara.
"Seandainya Pak Harto hanya memimpin penumpasan komunisme, itu saja sudah cukup. Tapi banyak kebaikan lain Pak Harto, seperti membangun hampir 1.000 masjid hingga akhir hayatnya. Bukan berarti Pak Harto tak punya kesalahan, tapi kebaikan dan jasanya jauh lebih banyak," kata Quraish.
Mobil yang membawa jenazah Soeharto. Antara Foto
Quraish merasakan, Pak Haro makin religius sesudah lengser dari kursi Presiden. Hampir setiap pagi sebelum Subuh, Pak Harto bangun untuk menjalankan salat tahajud.
Quraish kerap diajak diskusi soal ritual, kadar kekhusyuan salat hingga derajat ketakwaan. Sesekali Quraish menyisipkan kisah-kisah tokoh Muslim masa lalu.
"Pak Harto menyimak dengan penuh khidmat, seperti seorang murid mendengar petuah guru. Padahal, Pak Harto jauh lebih tua dari saya, dan dia orang yang mengerti agama," kata Quraish.
Menurut Quraish, penghayatan dan pengamalan ajaran agama lah yang membuat Pak Harto tegar dan pasrah menghadapi berbagai hujatan. Juga ketika penyakit mulai mendera, hingga menjelang akhir hayatnya.
Cerita tersebut dikutip dari buku Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish Shihab karya Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa yang diterbitkan Lentera Hati.
medcom.id, Jakarta: Saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, mulut Soeharto tak henti menggumamkan zikir. Jika dalam kondisi sadar, ia selalu menunaikan salat di awal waktu.
Kepada dokter, Pak Harto bersikukuh meminta tubuhnya dimiringkan menghadap kiblat. Padahal, sudah dijelaskan ada dispensasi bagi orang yang sakit dalam menunaikan salat.
Quraish Shibah mendampingi hari-hari terakhir Soeharto. Ia menyaksikan penguasa di era pemerintahan Orde Baru tersebut tampak ikhlas dan siap menghadapi kematian. Jauh-jauh hari, Pak Harto berpesan soal penguburannya.
Bila wafat sebelum Zuhur, ia meminta jenazahnya diterbangkan ke Astana Giribangun hari itu juga. Namun, jika berpulang setelah Zuhur, Pak Harto meminta jasadnya diinapkan dulu di Cendana.
Minggu 27 Januari 2008, Pak Harto wafat selepas Zuhur. Jenazahnya diinapkan di Cendana. Sebelum diterbangkan ke Astana Giribangun, di hadapan para peziarah Quraish berbicara.
"Seandainya Pak Harto hanya memimpin penumpasan komunisme, itu saja sudah cukup. Tapi banyak kebaikan lain Pak Harto, seperti membangun hampir 1.000 masjid hingga akhir hayatnya. Bukan berarti Pak Harto tak punya kesalahan, tapi kebaikan dan jasanya jauh lebih banyak," kata Quraish.

Mobil yang membawa jenazah Soeharto. Antara Foto
Quraish merasakan, Pak Haro makin religius sesudah lengser dari kursi Presiden. Hampir setiap pagi sebelum Subuh, Pak Harto bangun untuk menjalankan salat tahajud.
Quraish kerap diajak diskusi soal ritual, kadar kekhusyuan salat hingga derajat ketakwaan. Sesekali Quraish menyisipkan kisah-kisah tokoh Muslim masa lalu.
"Pak Harto menyimak dengan penuh khidmat, seperti seorang murid mendengar petuah guru. Padahal, Pak Harto jauh lebih tua dari saya, dan dia orang yang mengerti agama," kata Quraish.
Menurut Quraish, penghayatan dan pengamalan ajaran agama lah yang membuat Pak Harto tegar dan pasrah menghadapi berbagai hujatan. Juga ketika penyakit mulai mendera, hingga menjelang akhir hayatnya.
Cerita tersebut dikutip dari buku Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish Shihab karya Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa yang diterbitkan Lentera Hati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)