medcom.id, Jakarta: Pemerintah dinilai bertindak ceroboh menyikapi persoalan keberadaan kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Pemerintah seharusnya tidak membuat pernyataan yang membuat masyarakat menuding Gafatar sebagai kelompok menyimpang.
Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia Syafiq Hasyim menilai, fatwa haram yang dikeluarkan MUI kadangkala tidak perlu dipatuhi negara. Soal keberadaan Gafatar semakin keruh lantaran beberapa pejabat negara ikut berbicara soal dugaan sesat Gafatar.
"Fatwa oleh siapa pun, tidak harus dipatuhi oleh negara, karena domainnya lain," ujar Syafiq dalam diskusi 'Gafatar dalam Perspektif Media', di Gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jalan Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/1/2016).
Menurut Syafiq, fatwa yang dikeluarkan MUI terkadang disikapi negara dengan cara salah. "Itu yang menjadi persoalan," tegas dia.
Fatwa, menurut Syafiq, adalah pendapat hukum yang tidak mengikat. Fatwa yang dikeluarkan MUI atau organisasi Islam lainnya yang memiliki fatwa, tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia. "Kecuali diadopsi jadi bagian hukum positif," tuturnya.
Beberapa pejabat dan aparat negara, lanjut Syafiq, tidak memahami permasalahan Gafatar secara utuh. Hal ini yang kemudian menyebabkan persoalan sesat atau tidaknya Gafatar makin pelik.
Ia menambahkan, Gafatar diasosiasikan kelompok sesat karena terindikasi sebagai reinkarnasi gerakan Al Qiyadah Al Islamiyah. AQAI lahir pada 2000 dengan pimpinan Ahmad Mussadeq.
MUI saat ini juga masih terus mengkaji status sesat Gafatar. Sementara, definisi sesat menurut MUI ada dua hal. Pertama, disebut salah karena menyimpang secara fiqiyah. Ketika ada orang yang melakukan penyimpangan yang berkaitan dengan hukum-hukum islam.
"Salah hukumnya berdosa. Kedua, istilah sesat. Kesalahan teologi, kesalahan keyakinan. Ini yang berat, karena kesalahan keyakinan, konsekuensinya didefiniskan sebagai sesat," jelas dia.
medcom.id, Jakarta: Pemerintah dinilai bertindak ceroboh menyikapi persoalan keberadaan kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Pemerintah seharusnya tidak membuat pernyataan yang membuat masyarakat menuding Gafatar sebagai kelompok menyimpang.
Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia Syafiq Hasyim menilai, fatwa haram yang dikeluarkan MUI kadangkala tidak perlu dipatuhi negara. Soal keberadaan Gafatar semakin keruh lantaran beberapa pejabat negara ikut berbicara soal dugaan sesat Gafatar.
"Fatwa oleh siapa pun, tidak harus dipatuhi oleh negara, karena domainnya lain," ujar Syafiq dalam diskusi 'Gafatar dalam Perspektif Media', di Gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jalan Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/1/2016).
Menurut Syafiq, fatwa yang dikeluarkan MUI terkadang disikapi negara dengan cara salah. "Itu yang menjadi persoalan," tegas dia.
Fatwa, menurut Syafiq, adalah pendapat hukum yang tidak mengikat. Fatwa yang dikeluarkan MUI atau organisasi Islam lainnya yang memiliki fatwa, tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia. "Kecuali diadopsi jadi bagian hukum positif," tuturnya.
Beberapa pejabat dan aparat negara, lanjut Syafiq, tidak memahami permasalahan Gafatar secara utuh. Hal ini yang kemudian menyebabkan persoalan sesat atau tidaknya Gafatar makin pelik.
Ia menambahkan, Gafatar diasosiasikan kelompok sesat karena terindikasi sebagai reinkarnasi gerakan Al Qiyadah Al Islamiyah. AQAI lahir pada 2000 dengan pimpinan Ahmad Mussadeq.
MUI saat ini juga masih terus mengkaji status sesat Gafatar. Sementara, definisi sesat menurut MUI ada dua hal. Pertama, disebut salah karena menyimpang secara fiqiyah. Ketika ada orang yang melakukan penyimpangan yang berkaitan dengan hukum-hukum islam.
"Salah hukumnya berdosa. Kedua, istilah sesat. Kesalahan teologi, kesalahan keyakinan. Ini yang berat, karena kesalahan keyakinan, konsekuensinya didefiniskan sebagai sesat," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)