Jakarta: Indonesia yang akan memasuki usia ke-78 tahun belum sepenuhnya merdeka dari kasus pelecehan seksual, utamanya kepada kaum perempuan. Sebab, masih banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, terutama di ruang publik.
"Perempuan belum sepenuhnya merdeka dari pelecehan seksual di ruang publik terutama di transportasi umum," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarin, kepada Medcom.id, Selasa, 15 Agustus 2023.
Jika menilik survei nasional Koalisi Ruang Publik Aman pada November-Desember 2021 dengan total responden 4.236 orang, ditemukan ada 3.596 pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik dan sebanyak 23 persen terjadi di transportasi umum
Temuan lain dari Koalisi Ruang Publik Aman yang dirilis pada November 2022, sekitar 48,9 persen perempuan ternyata pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.
Selain itu, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mendata Kota Jakarta sebagai ibu kota mengalami peningkatan kasus kekerasan seksual di transportasi umum dan fasilitas umum, di mana pada data statistik pada 2020 tercatat ada tujuh kasus, pada 2021 ada delapan kasus, dan rentang Januari-Juli 2022 ada 15 kasus.
Salah satu kasus pelecehan seksual yang baru terungkap ialah pemerkosaan yang dilakukan driver ojek online (ojol) Wangkadasi Dever kepada seorang warga negara asing (WNA) asal Brasil, GWL, di Bali. Kasus ini ditangani Polresta Denpasar.
Pada Selasa, 8 Agustus 2023, polisi menangkap Wangkadasi Dever. Wangkadasi Dever dicokok di rumah pamannya, Pasuruan, Jawa Timur.
Fenomena Gunung Es
Pada catatan tahunan, Komnas Perempuan juga menerima laporan dugaan kekerasan seksual di transportasi umum. Namun, jumlahnya masih minim.
"Catatan tahunan Komnas Perempuan 2023 mendapat hanya satu laporan kekerasan seksual yang dilakukan pengemudi online. Meski demikian penting dipahami kekerasan seksual di tempat umum, utamanya di moda transportasi adalah fenomena gunung es," ujar dia.
Melihat situasi ini, Theresia menekankan pentingnya dilakukan survei terbaru terkait situasi pelecehan seksual, utamanya di transportasi umum. Sebab, dia menduga tak banyak korban yang mau atau berani melaporkan kasus ini ke Komnas Perempuan.
"Hal ini menunjukkan pentingnya melakukan survei untuk meng-update situasi kekerasan seksual di transportasi umum karena jika hanya mengandalkan pada pengaduan maka bisa jadi tidak banyak aduan kasus kekerasan seksual di transportasi umum," ucap dia.
Penegakan Hukum
Menurut Theresia, penanganan yang terukur dari aparat penegak hukum merupakan cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini, terutama dengan telah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Polisi diingatkan agar tidak menerapkan restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Selain itu, aparat penegak hukum harus menerima dan memproses kasus kekerasan seksual sesuai dengan amanat UU TPKS. Sehingga, ada efek jera dari pelaku kejahatan seksual.
"Penegakan hukum yang tegas untuk para pelaku menjadi hal krusial," tegas dia.
Jakarta: Indonesia yang akan memasuki
usia ke-78 tahun belum sepenuhnya merdeka dari kasus pelecehan seksual, utamanya kepada kaum
perempuan. Sebab, masih banyak perempuan yang menjadi korban
pelecehan seksual, terutama di ruang publik.
"Perempuan belum sepenuhnya merdeka dari pelecehan seksual di ruang publik terutama di transportasi umum," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarin, kepada
Medcom.id, Selasa, 15 Agustus 2023.
Jika menilik survei nasional Koalisi Ruang Publik Aman pada November-Desember 2021 dengan total responden 4.236 orang, ditemukan ada 3.596 pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik dan sebanyak 23 persen terjadi di transportasi umum
Temuan lain dari Koalisi Ruang Publik Aman yang dirilis pada November 2022, sekitar 48,9 persen perempuan ternyata pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.
Selain itu, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mendata Kota Jakarta sebagai ibu kota mengalami peningkatan kasus kekerasan seksual di transportasi umum dan fasilitas umum, di mana pada data statistik pada 2020 tercatat ada tujuh kasus, pada 2021 ada delapan kasus, dan rentang Januari-Juli 2022 ada 15 kasus.
Salah satu kasus pelecehan seksual yang baru terungkap ialah pemerkosaan yang dilakukan driver ojek
online (ojol) Wangkadasi Dever kepada seorang warga negara asing (WNA) asal Brasil, GWL, di Bali. Kasus ini ditangani Polresta Denpasar.
Pada Selasa, 8 Agustus 2023, polisi menangkap Wangkadasi Dever. Wangkadasi Dever dicokok di rumah pamannya, Pasuruan, Jawa Timur.
Fenomena Gunung Es
Pada catatan tahunan, Komnas Perempuan juga menerima laporan dugaan kekerasan seksual di transportasi umum. Namun, jumlahnya masih minim.
"Catatan tahunan Komnas Perempuan 2023 mendapat hanya satu laporan kekerasan seksual yang dilakukan pengemudi
online. Meski demikian penting dipahami kekerasan seksual di tempat umum, utamanya di moda transportasi adalah fenomena gunung es," ujar dia.
Melihat situasi ini, Theresia menekankan pentingnya dilakukan survei terbaru terkait situasi pelecehan seksual, utamanya di transportasi umum. Sebab, dia menduga tak banyak korban yang mau atau berani melaporkan kasus ini ke Komnas Perempuan.
"Hal ini menunjukkan pentingnya melakukan survei untuk meng-
update situasi kekerasan seksual di transportasi umum karena jika hanya mengandalkan pada pengaduan maka bisa jadi tidak banyak aduan kasus kekerasan seksual di transportasi umum," ucap dia.
Penegakan Hukum
Menurut Theresia, penanganan yang terukur dari aparat penegak hukum merupakan cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini, terutama dengan telah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Polisi diingatkan agar tidak menerapkan
restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Selain itu, aparat penegak hukum harus menerima dan memproses kasus kekerasan seksual sesuai dengan amanat UU TPKS. Sehingga, ada efek jera dari pelaku kejahatan seksual.
"Penegakan hukum yang tegas untuk para pelaku menjadi hal krusial," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)