Jakarta: Kondisi udara Jakarta dinilai tak membaik pada masa libur Lebaran 2019. Kondisi tersebut dinilai dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan gabungan polutan kendaraan bermotor, pembakaran biomassa panen di pantai utara Jawa, debu musim kemarau hingga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara menjadi pemantik buruknya udara di Ibu Kota.
"Jika dianalisa berdasarkan wind rose (arah angin), wind speed (kecepatan angin), temperatur, kelembaban, memang memungkinkan berbagai polutan dari sebelah timur dan tenggara," kata Ahmad di Jakarta seperti dilansir Antara, Selasa, 11 Juni 2019.
Polutan yang ia dimaksud berasal dari gas buang kendaraan untuk aktivitas warga berlebaran, pembakaran biomassa atau jerami dari panen padi di wilayah Pantura, Jawa Barat. Selain itu, debu kemarau di Jakarta maupun yang berasal dari sebelah Timur dan Tenggara Ibu Kota turut menjadi penyumbang.
Ahmad mengatakan debu yang merangsek itu merupakan hasil pembangunan maupun industri dan lainnya. "Karena efek kering kemarau maka jumlahnya semakin banyak yang beterbangan (total suspended particulate)," ucap dia.
Ahmad menyampaikan kendaraan bermotor menyumbang polusi 44 persen untuk Jakarta maupun di Pantura Jawa. Kemudian PLTU batu bara menyumbang 14 persen, pembakaran industri 19 persen, pembakaran biomassa dan sampah 13 persen, debu jalanan 5 persen, proses konstruksi 2 persen, dan rumah tangga 3 persen.
Sebelumnya, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago mengatakan selama empat tahun terakhir ia telah mengamati fenomena kondisi udara saat Lebaran. Ia mengaku telah hafal dengan kondisi tersebut.
Bila dibuat hasil pemantauan kondisi udara Jakarta per jam, maka terlihat grafik konsentrasi partikel udara berukuran 10 partikulat mikron (PM10) dan yang lebih kecil dari 2,5 mikron (PM2.5) akan lebih tinggi setelah Salat Id. Grafik baru akan turun setelah siang atau sore hari.
Grafik konsentrasi PM2.5 dari hasil Air Quality Monitoring System (AQMS) yang dimiliki KLHK, pada Senin, 3 Juni 2019 tercatat 44,7 mikrogram per meter kubik. Sedangkan pada Selasa, 4 Juni 2019, atau satu hari sebelum Lebaran 2019 mencapai 70,8 mikrogram per meter kubik.
Angka tersebut melewati bakumutu PM2.5 yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999, yakni sebesar 65 mikrogram per meter kubik. Pada Rabu, 5 Juni 2019, atau H1, grafik konsentrasi PM2.5 ada di angka 37,5 mikrogram per meter kubik.
Kondisi tersebut terus menurun pada Kamis, 6 Juni 2019 yang mencapai 27,2 mikrogram per meter kubik. Sedangkan pada Jumat, 7 Juni 2019 menjadi 26,6 mikrogram per meter kubik
Sedangkan berdasarkan dari AQMS Kedubes AS di Jakarta Pusat terpantau pada Sabtu, 8 Juni 2019, grafik konsentrasi PM2.5 meningkat menjadi 32,71 mikrogram per meter kubik. Sementara Minggu, 9 Juni 2019 kembali meningkat menjadi 38,27 mikrogram per meter kubik.
Jakarta: Kondisi udara Jakarta dinilai tak membaik pada masa libur Lebaran 2019. Kondisi tersebut dinilai dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan gabungan polutan kendaraan bermotor, pembakaran biomassa panen di pantai utara Jawa, debu musim kemarau hingga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara menjadi pemantik buruknya udara di Ibu Kota.
"Jika dianalisa berdasarkan wind rose (arah angin), wind speed (kecepatan angin), temperatur, kelembaban, memang memungkinkan berbagai polutan dari sebelah timur dan tenggara," kata Ahmad di Jakarta seperti dilansir Antara, Selasa, 11 Juni 2019.
Polutan yang ia dimaksud berasal dari gas buang kendaraan untuk aktivitas warga berlebaran, pembakaran biomassa atau jerami dari panen padi di wilayah Pantura, Jawa Barat. Selain itu, debu kemarau di Jakarta maupun yang berasal dari sebelah Timur dan Tenggara Ibu Kota turut menjadi penyumbang.
Ahmad mengatakan debu yang merangsek itu merupakan hasil pembangunan maupun industri dan lainnya. "Karena efek kering kemarau maka jumlahnya semakin banyak yang beterbangan (total suspended particulate)," ucap dia.
Ahmad menyampaikan kendaraan bermotor menyumbang polusi 44 persen untuk Jakarta maupun di Pantura Jawa. Kemudian PLTU batu bara menyumbang 14 persen, pembakaran industri 19 persen, pembakaran biomassa dan sampah 13 persen, debu jalanan 5 persen, proses konstruksi 2 persen, dan rumah tangga 3 persen.
Sebelumnya, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago mengatakan selama empat tahun terakhir ia telah mengamati fenomena kondisi udara saat Lebaran. Ia mengaku telah hafal dengan kondisi tersebut.
Bila dibuat hasil pemantauan kondisi udara Jakarta per jam, maka terlihat grafik konsentrasi partikel udara berukuran 10 partikulat mikron (PM10) dan yang lebih kecil dari 2,5 mikron (PM2.5) akan lebih tinggi setelah Salat Id. Grafik baru akan turun setelah siang atau sore hari.
Grafik konsentrasi PM2.5 dari hasil Air Quality Monitoring System (AQMS) yang dimiliki KLHK, pada Senin, 3 Juni 2019 tercatat 44,7 mikrogram per meter kubik. Sedangkan pada Selasa, 4 Juni 2019, atau satu hari sebelum Lebaran 2019 mencapai 70,8 mikrogram per meter kubik.
Angka tersebut melewati bakumutu PM2.5 yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999, yakni sebesar 65 mikrogram per meter kubik. Pada Rabu, 5 Juni 2019, atau H1, grafik konsentrasi PM2.5 ada di angka 37,5 mikrogram per meter kubik.
Kondisi tersebut terus menurun pada Kamis, 6 Juni 2019 yang mencapai 27,2 mikrogram per meter kubik. Sedangkan pada Jumat, 7 Juni 2019 menjadi 26,6 mikrogram per meter kubik
Sedangkan berdasarkan dari AQMS Kedubes AS di Jakarta Pusat terpantau pada Sabtu, 8 Juni 2019, grafik konsentrasi PM2.5 meningkat menjadi 32,71 mikrogram per meter kubik. Sementara Minggu, 9 Juni 2019 kembali meningkat menjadi 38,27 mikrogram per meter kubik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)