medcom.id, Jakarta: Seseorang melempar kabar dari pesan siaran yang baru saja diterimanya. Dengan begitu menggebu, ia merasa bangga menyiarkan kembali informasi yang dianggapnya paling baru itu. Tanpa peduli sejauh mana kebenarannya, tanpa memeriksa seperti apa tahapan informasi itu disulap dalam bentuk berita.
Dari grup sebelah. Istilah itu mendadak akrab belakangan hari.
Persebaran informasi di jagat maya tak terkendali. Di dalamnya, bisa jadi ada kabar bohong (hoax) lahir dan hilir mudik. Dan tak dapat disangkal, pertautan kabar bohong itu berdampak hingga ke dunia nyata.
Koordinator Komunitas Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho menghitung paling tidak ada 30 aduan berita palsu yang diterimanya. Berita hoax yang berseliweran di dunia maya sebenarnya berpotensi mengganggu keamanan nasional. Bahkan, beberapa kali informasi palsu itu menjadi viral dan memicu keributan.
Meski sekadar mengunggah ulang, perkara ini sebaiknya tidak boleh dianggap sepele oleh netizen. Secara tak sadar, ia melanggar Pasal 28 Ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Produk hukum itu jelas menyatakan;
"Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar"
"Sangat disayangkan banyak yang berpendidikan tinggi ikut menyebarkan berita hoax. Perlu ada penindakan hukum, maupun dengan masyarakat kembali bermedia sosial dengan santun," kata Septiaji di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2016).
Memilah sumber berita
Socialmediatoday.com merilis data sebanyak 85 persen pengguna menjadikan Facebook dan Twitter sebagai sumber pertama di pagi hari. Facebook dipakai 1,7 miliar orang per bulan dan pengguna harian Twitter sekitar 140 juta orang. Jangan heran jika dua platform media sosial itu dijadikan saluran penyebaran berita, baik yang kredibel maupun hoax.
Kabar palsu itu lebih sering bersumber dari situs yang sekilas tampak sebagai portal berita resmi. Tautan berita dengan judul menghebohkan, bahkan terkesan provokatif mampu menarik minat para pengguna media sosial untuk menyebarkan ulang.
Pakar media sosial, Nukman Luthfie mengatakan, masyarakat pengguna media sosial mesti berhati-hati dalam merespon informasi di jagat maya. Dari sisi sumber, perlu diteliti apakah kabar itu berasal dari media pemberitaan kredibel atau abal-abal.
"Silakan cek dulu identitas medianya. Kalau ada kantor dan susunan redaksinya boleh disebar ulang. Kalau tidak ada, itu abal-abal (palsu). Jangan disebarkan," kata Nukman kepada Metro TV, Kamis (1/12/2016).
Sebab pentingnya merujuk pada media resmi dan kredibel, kata Nukman, karena setidaknya berita itu sudah melalui proses profesional dan terverifikasi. Jika salah pun, media itu akan bertanggung jawab lantaran bekerja di bawah pantauan Dewan Pers.
Ciri mudah berikutnya guna membedakan kredibilitas sumber berita adalah dengan menimbang gaya bahasa yang disajikan. Judul, kata Nukman, oleh media tidak bertanggung jawab kerap dikemas dalam bentuk bombastis. "Padahal ketika dibaca keseluruhan itu tidak terkait dengan isi," kata dia.
Memantau utuh
Di sisi lain, hal terbaru yang ditemukan dua bulan terakhir adalah bermunculannya situs berita abal-abal yang menyudutkan media-media massa resmi. Berita pelintiran dan provokatif itu gencar desebarkan melalui media sosial hingga akhirnya diyakini kebenarannya oleh sebagian orang.
Contoh kasus adalah seperti apa yang dialami Metro TV yang dituding menyebarkan kabar bohong. Kabar dari situs berita abal-abal yang disertai ajakan boikot itu begitu cepat menyebar tanpa proses verifikasi lebih lanjut. Dampaknya dalam peliputan aksi 211 dan 212 kru di lapangan pun mendapat intimidasi lantaran kuatnya anggapan yang bersumber dari media sosial tersebut.
Ketua Dewan Pers Bidang Pengaduandan Etika Imam Wahyudi mengatakan, masyarakat disajikan informasi tidak bersifat menyeluruh. Tudingan kebohongan itu perlu diimbangi dengan melihat laporan data yang ditayangkan.
"Secara substansi tidak ada kebohongan publik, kecuali kalau kita mendengarnya sepotong-sepotong, dan itu tidak bisa berlaku dalam siaran jurnalistik seperti ini," kata Imam kepada Metro TV, Minggu (4/12/2016).
Laporan yang dilakukan reporter Metro TV Rifai Pamone pada aksi damai 2 Desember misalnya. Berita asli yang utuh tampak bahwa data yang disajikan telah melalui konfirmasi narasumber dan verifikasi melalui tayangan udara.
Wartawan Senior Abdul Kohar mengatakan, seorang jurnalis mengemban tugas melakukan verifikasi yang sangat ketat dalam melaporkan informasi kepada masyarakat. Verifikasi data ini merupakan bentuk profesionalitas jurnalis.
"Di tengah era banjir informasi seperti sekarang ini, tugas jurnalis adalah disiplin verifikasi. Melakukan verifikasi yang sangat ketat. Rifai Pamone menyebut 50 ribu di titik itu berdasar hasil koordinator lapangan aksi. Artinya fungsi mengkonfirmasi menanyakan kepada narasumber sudah dilakukan," kata Kohar kepada Metro TV, Minggu (4/12/2016).
Tak sekadar konfirmasi, verifikasi data pun dilakukan pula oleh tim Metro TV. Tayangan gambar dari udara menggunakan drone dilakukan untuk menunjukan suasana massa yang telah berada di sekitar kawasan Gedung Sapta Pesona.
Membangun wawasan media
Media sosial memberikan pola baru bagi masyarakat dalam menerima informasi. Media siber, sebagai sesuatu yang klop dalam dunia itu dianggap lebih praktis dan menghadirkan tradisi tersendiri. Singkat, cepat dan praktis.
Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Hasanddin Makassar, Syamsuddin Aziz, MPhil, PhD mengatakan, fenomena persebaran informasi yang tengah terjadi di dunia maya hari ini adalah satu babak yang tidak bisa tidak mesti dilewati. Kesimpang-siuran dalam merespon berita tanpa menilik kualitas produksinya merupakan satu tahapan yang kedepannya terus berproses lebih baik.
"Tapi, saya harap ini tidak berlangsung terlalu lama," kata Syamsuddin kepada metrotvnews.com, Selasa (6/12/2016).
Tidak semua pengguna hanya berlangsung di media sosial. Menurut Syamsuddin, persebaran berita hoax menjadi begitu signifikan bukan lantaran kemasan judul atau konten yang provokatif, tapi juga ada dukungan yang saling menghubungkan berupa jaringan atau grup komunikasi.
"Mereka lebih percaya merespon kiriman dari grup. Tidak langsung dari sumber utama," paparnya.
Di sisi lain, para anggota grup, sebut saja Whatsapp, hanya latah menyalin dan mengunggahnya kembali. Proses cek ulang pun kembali dilewati.
Ada yang bisa diupayakan pemerintah agar masyarakat Indonesia terbebas dari hasutan yang bersumber berita bohong. Menurut Syamsuddin, antisipasi jangka panjang bisa disiapkan pemerintah dengan memasukkan kurikulum wawasan media kepada pelajar di sekolah.
"Bisa dimulai kepada pelajar menengah. Suguhi mereka wawasan tentang kemediaan. Masyarakat perlu tahu tentang bagaimana cara membaca produk jurnalistik," ujar Syamsuddin.
Tugas itu, kata dia, bukan hanya milik pemerintah. Media-media resmi dan kredibel juga mesti turut mendorong memberikan pencerahan. Selain itu, berikan juga hak bagi masyarakat untuk memahami ideologi masing-masing media secara gamblang.
medcom.id, Jakarta: Seseorang melempar kabar dari pesan siaran yang baru saja diterimanya. Dengan begitu menggebu, ia merasa bangga menyiarkan kembali informasi yang dianggapnya paling baru itu. Tanpa peduli sejauh mana kebenarannya, tanpa memeriksa seperti apa tahapan informasi itu disulap dalam bentuk berita.
Dari grup sebelah. Istilah itu mendadak akrab belakangan hari.
Persebaran informasi di jagat maya tak terkendali. Di dalamnya, bisa jadi ada kabar bohong
(hoax) lahir dan hilir mudik. Dan tak dapat disangkal, pertautan kabar bohong itu berdampak hingga ke dunia nyata.
Koordinator Komunitas Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho menghitung paling tidak ada 30 aduan berita palsu yang diterimanya. Berita
hoax yang berseliweran di dunia maya sebenarnya berpotensi mengganggu keamanan nasional. Bahkan, beberapa kali informasi palsu itu menjadi
viral dan memicu keributan.
Meski sekadar mengunggah ulang, perkara ini sebaiknya tidak boleh dianggap sepele oleh
netizen. Secara tak sadar, ia melanggar Pasal 28 Ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Produk hukum itu jelas menyatakan;
"Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar"
"Sangat disayangkan banyak yang berpendidikan tinggi ikut menyebarkan berita
hoax. Perlu ada penindakan hukum, maupun dengan masyarakat kembali bermedia sosial dengan santun," kata Septiaji di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2016).
Memilah sumber berita
Socialmediatoday.com merilis data sebanyak 85 persen pengguna menjadikan Facebook dan Twitter sebagai sumber pertama di pagi hari. Facebook dipakai 1,7 miliar orang per bulan dan pengguna harian Twitter sekitar 140 juta orang. Jangan heran jika dua platform media sosial itu dijadikan saluran penyebaran berita, baik yang kredibel maupun
hoax.
Kabar palsu itu lebih sering bersumber dari situs yang sekilas tampak sebagai portal berita resmi. Tautan berita dengan judul menghebohkan, bahkan terkesan provokatif mampu menarik minat para pengguna media sosial untuk menyebarkan ulang.
Pakar media sosial, Nukman Luthfie mengatakan, masyarakat pengguna media sosial mesti berhati-hati dalam merespon informasi di jagat maya. Dari sisi sumber, perlu diteliti apakah kabar itu berasal dari media pemberitaan kredibel atau abal-abal.
"Silakan cek dulu identitas medianya. Kalau ada kantor dan susunan redaksinya boleh disebar ulang. Kalau tidak ada, itu
abal-abal (palsu). Jangan disebarkan," kata Nukman kepada
Metro TV, Kamis (1/12/2016).
Sebab pentingnya merujuk pada media resmi dan kredibel, kata Nukman, karena setidaknya berita itu sudah melalui proses profesional dan terverifikasi. Jika salah pun, media itu akan bertanggung jawab lantaran bekerja di bawah pantauan Dewan Pers.
Ciri mudah berikutnya guna membedakan kredibilitas sumber berita adalah dengan menimbang gaya bahasa yang disajikan. Judul, kata Nukman, oleh media tidak bertanggung jawab kerap dikemas dalam bentuk bombastis. "Padahal ketika dibaca keseluruhan itu tidak terkait dengan isi," kata dia.
Memantau utuh
Di sisi lain, hal terbaru yang ditemukan dua bulan terakhir adalah bermunculannya situs berita
abal-abal yang menyudutkan media-media massa resmi. Berita pelintiran dan provokatif itu gencar desebarkan melalui media sosial hingga akhirnya diyakini kebenarannya oleh sebagian orang.
Contoh kasus adalah seperti apa yang dialami Metro TV yang dituding menyebarkan kabar bohong. Kabar dari situs berita
abal-abal yang disertai ajakan boikot itu begitu cepat menyebar tanpa proses verifikasi lebih lanjut. Dampaknya dalam peliputan aksi 211 dan 212 kru di lapangan pun mendapat intimidasi lantaran kuatnya anggapan yang bersumber dari media sosial tersebut.
Ketua Dewan Pers Bidang Pengaduandan Etika Imam Wahyudi mengatakan, masyarakat disajikan informasi tidak bersifat menyeluruh. Tudingan kebohongan itu perlu diimbangi dengan melihat laporan data yang ditayangkan.
"Secara substansi tidak ada kebohongan publik, kecuali kalau kita mendengarnya sepotong-sepotong, dan itu tidak bisa berlaku dalam siaran jurnalistik seperti ini," kata Imam kepada
Metro TV, Minggu (4/12/2016).
Laporan yang dilakukan reporter Metro TV Rifai Pamone pada aksi damai 2 Desember misalnya. Berita asli yang utuh tampak bahwa data yang disajikan telah melalui konfirmasi narasumber dan verifikasi melalui tayangan udara.
Wartawan Senior Abdul Kohar mengatakan, seorang jurnalis mengemban tugas melakukan verifikasi yang sangat ketat dalam melaporkan informasi kepada masyarakat. Verifikasi data ini merupakan bentuk profesionalitas jurnalis.
"Di tengah era banjir informasi seperti sekarang ini, tugas jurnalis adalah disiplin verifikasi. Melakukan verifikasi yang sangat ketat. Rifai Pamone menyebut 50 ribu di titik itu berdasar hasil koordinator lapangan aksi. Artinya fungsi mengkonfirmasi menanyakan kepada narasumber sudah dilakukan," kata Kohar kepada
Metro TV, Minggu (4/12/2016).
Tak sekadar konfirmasi, verifikasi data pun dilakukan pula oleh tim Metro TV. Tayangan gambar dari udara menggunakan drone dilakukan untuk menunjukan suasana massa yang telah berada di sekitar kawasan Gedung Sapta Pesona.
Membangun wawasan media
Media sosial memberikan pola baru bagi masyarakat dalam menerima informasi. Media siber, sebagai sesuatu yang klop dalam dunia itu dianggap lebih praktis dan menghadirkan tradisi tersendiri. Singkat, cepat dan praktis.
Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Hasanddin Makassar, Syamsuddin Aziz, MPhil, PhD mengatakan, fenomena persebaran informasi yang tengah terjadi di dunia maya hari ini adalah satu babak yang tidak bisa tidak mesti dilewati. Kesimpang-siuran dalam merespon berita tanpa menilik kualitas produksinya merupakan satu tahapan yang kedepannya terus berproses lebih baik.
"Tapi, saya harap ini tidak berlangsung terlalu lama," kata Syamsuddin kepada
metrotvnews.com, Selasa (6/12/2016).
Tidak semua pengguna hanya berlangsung di media sosial. Menurut Syamsuddin, persebaran berita
hoax menjadi begitu signifikan bukan lantaran kemasan judul atau konten yang provokatif, tapi juga ada dukungan yang saling menghubungkan berupa jaringan atau grup komunikasi.
"Mereka lebih percaya merespon kiriman dari grup. Tidak langsung dari sumber utama," paparnya.
Di sisi lain, para anggota grup, sebut saja Whatsapp, hanya latah menyalin dan mengunggahnya kembali. Proses cek ulang pun kembali dilewati.
Ada yang bisa diupayakan pemerintah agar masyarakat Indonesia terbebas dari hasutan yang bersumber berita bohong. Menurut Syamsuddin, antisipasi jangka panjang bisa disiapkan pemerintah dengan memasukkan kurikulum wawasan media kepada pelajar di sekolah.
"Bisa dimulai kepada pelajar menengah. Suguhi mereka wawasan tentang kemediaan. Masyarakat perlu tahu tentang bagaimana cara membaca produk jurnalistik," ujar Syamsuddin.
Tugas itu, kata dia, bukan hanya milik pemerintah. Media-media resmi dan kredibel juga mesti turut mendorong memberikan pencerahan. Selain itu, berikan juga hak bagi masyarakat untuk memahami ideologi masing-masing media secara gamblang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)