medcom.id, Jakarta: Dalam perhitungan skala nasional, Nahdlatul Ulama (NU) kerap dibilang sebagai organisasi massa Islam terbesar.
Baru-baru ini misalnya, Alvara Reseach Center melansir hasil survei bertajuk Potret Keberagaman Indonesia. Dengan metode wawancara tatap muka melibatkan 1.626 responden di 34 provinsi, Alvara menempatkan NU sebagai organisasi paling dikenal. Bahkan, angka yang muncul sampai 97,0%. Mengungguli Muhammadiyah 93,4% atau Front Pembela Islam (FPI) dengan angka 68,8%.
Soal jumlah populasi, NU tak diragukan lagi. Sebut saja seperti yang dikutip dari Making Sense of the Secular: Critical Perspectives from Europe to Asia. Pada 2014, warga NU berjumlah 85 juta jiwa.
Bisa juga menengok hasil survei IndoBarometer pada tahun 2000. Di sana disebutkan bahwa warga NU di Indonesia mencapai 143 juta jiwa. Ketika dihubungkan dengan hak pilih, bolehlah merujuk data survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2013. Dengan metode exit poll, LSI memunculkan jumlah pemegang hak pilih dari warga NU sekira 36% dari jumlah pemilih nasional. Hasilnya, 91,2 juta pemilih mengaku sebagai warga NU.
Lantas, sejauh mana pengaruh Nahdliyin di Ibu Kota?
Data cukup mengejutkan dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA. Pada 24 Januari lalu, lembaga survei itu menyebut pemilih NU menaruh hati pada pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Pilkada DKI Jakarta 2017. Pada kalangan pemilih Nahdliyin, elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni disebut paling tinggi (39,6%), mengungguli pasangan Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (24,6%) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (25,3%).
Jumlah populasi warga NU di Ibu Kota memang tak sebesar di daerah di Pulau Jawa Lainnya. Dalam sejarahnya, NU dengan pandangan keagamaan yang cenderung tradisionalis tidak membeludak di tengah perkotaan.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Said Aqil Siroj mengatakan, susahnya NU menembus Muslim perkotaan lantaran beragam kesan miring yang sengaja diembuskan sejak lama. NU, yang sebagian besar santri dikatakan ketinggalan zaman, kuno, dan tidak berpikir maju.
"Barulah di era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU kembali dinaikkan kelasnya sebagai masyarakat muslim moderat, pro-demokrasi, dan mementingkan prinsip kebangsaan," kata Said kepada metrotvnews.com, Kamis (2/2/2017).
Baca: Teladan Islam Kebangsaan NU-Muhammadiyah
Kini, kata Said, NU mampu memberi pengaruh dan warna di seluruh daerah, termasuk di Ibu Kota. Kehadiran NU dianggap mampu menjawab persoalan bangsa dengan mengedepankan akhlak dan kedamaian.
Termasuk, kata Said, terhadap beragam hiruk pikuk yang terjadi jelang Pilkada DKI Jakarta belakangan hari. NU tetap berkomitmen pada prinsip kemaslahatan banyak pihak.
Namun, ketika batin terusik, biasanya warga NU tak memberi simpati kepada sumber gangguannya. Seperti dalam insiden persidangan Ahok yang melibatkan sesepuh NU, KH Ma'ruf Amin sebagai saksi kasus dugaan penistaan agama, misalnya.
Menurut Said Aqil, sikap Ahok yang menyangsikan objektivitas Ma’ruf Amin di persidangan itu bisa dipastikan akan berdampak negatif. "Ahok sendiri yang rugi," kata Said di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Kerugian yang dimaksud, bukan lain perkara perolehan suara di Pilgub DKI. Said menjelaskan, sosok Ma'ruf Amin yang juga merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mendapat tempat terhormat di lingkungan warga NU. "Kalau menyinggung orang NU, orang NU enggak memilih," ucap Said.
Baca: PBNU Sesalkan Insiden di Persidangan Ahok
Direktur Alvara Research Center, Hasanuddin Ali mengamini jumlah warga NU di Ibu Kota yang tidak terlalu besar. Namun, komunitas yang dikatakannya banyak memakan asam garam itu mampu memberikan pengaruh cukup signifikan.
"Jumlah yang paling mendekati riil adalah total dari jumlah suara dari dua partai Islam yang digabung. Yakni, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)," kata Hasanuddin kepada metrotvnews.com, Kamis (2/2/2017).
Pada Pemilu Legislatif DKI Jakarta 2014, PPP memperoleh 452.224 suara (9,97 persen), sementara PKB mendapat 260.159 suara (5,73 persen). Jika dijumlah, maka dibayangkan pemilih dari warga NU berjumlah 712.383 orang (15,69 persen).
"Memang kecil. Tapi, gaungnya bisa berdampak luas," kata dia.
Solidaritas NU begitu kuat, lanjut Hasanuddin. Ia beranggapan, penting bagi para kandidat untuk menimbang keberadaan warga NU di Ibu Kota. "Terutama menjaga hubungan baik dan komunikasi. Itu sangat penting," kata Hasanuddin.
medcom.id, Jakarta: Dalam perhitungan skala nasional, Nahdlatul Ulama (NU) kerap dibilang sebagai organisasi massa Islam terbesar.
Baru-baru ini misalnya, Alvara Reseach Center melansir hasil survei bertajuk Potret Keberagaman Indonesia. Dengan metode wawancara tatap muka melibatkan 1.626 responden di 34 provinsi, Alvara menempatkan NU sebagai organisasi paling dikenal. Bahkan, angka yang muncul sampai 97,0%. Mengungguli Muhammadiyah 93,4% atau Front Pembela Islam (FPI) dengan angka 68,8%.
Soal jumlah populasi, NU tak diragukan lagi. Sebut saja seperti yang dikutip dari
Making Sense of the Secular: Critical Perspectives from Europe to Asia. Pada 2014, warga NU berjumlah 85 juta jiwa.
Bisa juga menengok hasil survei IndoBarometer pada tahun 2000. Di sana disebutkan bahwa warga NU di Indonesia mencapai 143 juta jiwa. Ketika dihubungkan dengan hak pilih, bolehlah merujuk data survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2013. Dengan metode
exit poll, LSI memunculkan jumlah pemegang hak pilih dari warga NU sekira 36% dari jumlah pemilih nasional. Hasilnya, 91,2 juta pemilih mengaku sebagai warga NU.
Lantas, sejauh mana pengaruh
Nahdliyin di Ibu Kota?
Data cukup mengejutkan dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA. Pada 24 Januari lalu, lembaga survei itu menyebut pemilih NU menaruh hati pada pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Pilkada DKI Jakarta 2017. Pada kalangan pemilih
Nahdliyin, elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni disebut paling tinggi (39,6%), mengungguli pasangan Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (24,6%) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (25,3%).
Jumlah populasi warga NU di Ibu Kota memang tak sebesar di daerah di Pulau Jawa Lainnya. Dalam sejarahnya, NU dengan pandangan keagamaan yang cenderung tradisionalis tidak membeludak di tengah perkotaan.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Said Aqil Siroj mengatakan, susahnya NU menembus Muslim perkotaan lantaran beragam kesan miring yang sengaja diembuskan sejak lama. NU, yang sebagian besar santri dikatakan ketinggalan zaman, kuno, dan tidak berpikir maju.
"Barulah di era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU kembali dinaikkan kelasnya sebagai masyarakat muslim moderat, pro-demokrasi, dan mementingkan prinsip kebangsaan," kata Said kepada
metrotvnews.com, Kamis (2/2/2017).
Baca: Teladan Islam Kebangsaan NU-Muhammadiyah
Kini, kata Said, NU mampu memberi pengaruh dan warna di seluruh daerah, termasuk di Ibu Kota. Kehadiran NU dianggap mampu menjawab persoalan bangsa dengan mengedepankan akhlak dan kedamaian.
Termasuk, kata Said, terhadap beragam hiruk pikuk yang terjadi jelang Pilkada DKI Jakarta belakangan hari. NU tetap berkomitmen pada prinsip kemaslahatan banyak pihak.
Namun, ketika batin terusik, biasanya warga NU tak memberi simpati kepada sumber gangguannya. Seperti dalam insiden persidangan Ahok yang melibatkan sesepuh NU, KH Ma'ruf Amin sebagai saksi kasus dugaan penistaan agama, misalnya.
Menurut Said Aqil, sikap Ahok yang menyangsikan objektivitas Ma’ruf Amin di persidangan itu bisa dipastikan akan berdampak negatif. "Ahok sendiri yang rugi," kata Said di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Kerugian yang dimaksud, bukan lain perkara perolehan suara di Pilgub DKI. Said menjelaskan, sosok Ma'ruf Amin yang juga merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mendapat tempat terhormat di lingkungan warga NU. "Kalau menyinggung orang NU, orang NU
enggak memilih," ucap Said.
Baca: PBNU Sesalkan Insiden di Persidangan Ahok
Direktur Alvara Research Center, Hasanuddin Ali mengamini jumlah warga NU di Ibu Kota yang tidak terlalu besar. Namun, komunitas yang dikatakannya banyak memakan asam garam itu mampu memberikan pengaruh cukup signifikan.
"Jumlah yang paling mendekati riil adalah total dari jumlah suara dari dua partai Islam yang digabung. Yakni, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)," kata Hasanuddin kepada
metrotvnews.com, Kamis (2/2/2017).
Pada Pemilu Legislatif DKI Jakarta 2014, PPP memperoleh 452.224 suara (9,97 persen), sementara PKB mendapat 260.159 suara (5,73 persen). Jika dijumlah, maka dibayangkan pemilih dari warga NU berjumlah 712.383 orang (15,69 persen).
"Memang kecil. Tapi, gaungnya bisa berdampak luas," kata dia.
Solidaritas NU begitu kuat, lanjut Hasanuddin. Ia beranggapan, penting bagi para kandidat untuk menimbang keberadaan warga NU di Ibu Kota. "Terutama menjaga hubungan baik dan komunikasi. Itu sangat penting," kata Hasanuddin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ADM)