medcom.id, Jakarta: Nafsu menguasai lahan membutakan mata setiap orang. Perusahaan besar dengan legitimasi pemerintah, merampas habis-habisan tanah milik warga, tempat mereka mencari makan. Tak jarang, demi mempertahankan tanah, nyawa jadi taruhan.
Tengoklah Salim Kancil yang meregang nyawa demi tanah yang hendak dirampas habis oleh penguasa hanya karena segelintir harta. Atau Tosan, rekan Salim yang harus pura-pura mati agar tak dihabisi.
Keduanya hanya contoh kecil dari sekian banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Sebutlah Hajah Mimi, nenek renta yang keras menyuarakan hak atas tanahnya meskipun berujung dipenjara.
"Perjuangan mempertahankan tanah adat karena masyarakat di kampung mereka hidup dengan tanah itu. Setelah ditanami kelapa sawit mata pencaharian mereka hilang," kata Hajah Mimi dalam Mata Najwa bertajuk Demi Tanah Kami, Rabu 15 Maret 2017.
Hajah Mimi atau Nurjaniah Gazali yang merupakan pimpinan masyarakat Sambandete Walandawe, Kendari, tak rela tanah adat tempat masyarakat mencari penghidupan dirampas begitu saja oleh penguasa. Bahkan ia berani berdemonstrasi di tempat suaminya bekerja, DPRD Kendari untuk mempertahankan haknya.
Tak hanya Hajah Mimi, Sunarji atau Mbah Narji, warga Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah bahkan diancam oleh centeng PTPN menggunakan celurit dan merasakan dinginnya penjara karena menentang penguasa yang menguasai tanah milik warga.
Bertahun-tahun, bahkan hingga kini, Narji bersama warga Sambirejo berusaha memperjuangkan tanahnya yang dikuasai PTPN IX. Tanah seluas 425 hektare itu berpindah seiring meletusnya peristiwa 65.
Bukannya mendapatkan kembali tanah yang telah dirampas, Narji justru dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menggerakkan massa. Hingga lepas dari kurungan, Narji bersama 700-an kepala keluarga masih menuntut haknya atas lahan yang dikuasasi PTPN IX.
"Saya kasihan dengan keturunan saya. Kalau saya menjadi pengkhianat, saya mati, selesai. Tapi bagaimana dengan anak cucu saya. Jangan takut penjara menghentikan langkah pejuang sejati," kata Narji.
medcom.id, Jakarta: Nafsu menguasai lahan membutakan mata setiap orang. Perusahaan besar dengan legitimasi pemerintah, merampas habis-habisan tanah milik warga, tempat mereka mencari makan. Tak jarang, demi mempertahankan tanah, nyawa jadi taruhan.
Tengoklah Salim Kancil yang meregang nyawa demi tanah yang hendak dirampas habis oleh penguasa hanya karena segelintir harta. Atau
Tosan, rekan Salim yang harus pura-pura mati agar tak dihabisi.
Keduanya hanya contoh kecil dari sekian banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Sebutlah Hajah Mimi, nenek renta yang keras menyuarakan hak atas tanahnya meskipun berujung dipenjara.
"Perjuangan mempertahankan tanah adat karena masyarakat di kampung mereka hidup dengan tanah itu. Setelah ditanami kelapa sawit mata pencaharian mereka hilang," kata Hajah Mimi dalam
Mata Najwa bertajuk
Demi Tanah Kami, Rabu 15 Maret 2017.
">Hajah Mimi atau Nurjaniah Gazali yang merupakan pimpinan masyarakat Sambandete Walandawe, Kendari, tak rela tanah adat tempat masyarakat mencari penghidupan dirampas begitu saja oleh penguasa. Bahkan ia berani berdemonstrasi di tempat suaminya bekerja, DPRD Kendari untuk mempertahankan haknya.
Tak hanya Hajah Mimi, Sunarji atau Mbah Narji, warga Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah bahkan diancam oleh centeng PTPN menggunakan celurit dan merasakan dinginnya penjara karena menentang penguasa yang menguasai tanah milik warga.
Bertahun-tahun, bahkan hingga kini,
">Narji bersama warga Sambirejo berusaha memperjuangkan tanahnya yang dikuasai PTPN IX. Tanah seluas 425 hektare itu berpindah seiring meletusnya peristiwa 65.
Bukannya mendapatkan kembali tanah yang telah dirampas, Narji justru dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menggerakkan massa. Hingga lepas dari kurungan, Narji bersama 700-an kepala keluarga masih menuntut haknya atas lahan yang dikuasasi PTPN IX.
"Saya kasihan dengan keturunan saya. Kalau saya menjadi pengkhianat, saya mati, selesai. Tapi bagaimana dengan anak cucu saya. Jangan takut penjara menghentikan langkah pejuang sejati," kata Narji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)