Ilustrasi lembaga penyiaran. Foto: Dok/Media Indonesia
Ilustrasi lembaga penyiaran. Foto: Dok/Media Indonesia

Ciptakan Monopoli, ATVSI Tolak Konsep Single Mux

Misbahol Munir • 25 September 2017 15:01
medcom.id, Jakarta: Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menolak penerapan konsep single mux dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital. Bagi ATVSI konsep dan penetapan yang tercantum dalam RUU Penyiaran itu berpotensi menciptakan praktik monopoli.
 
"Praktik itu juga bertentangan dengan demokratisasi penyiaran," kata Ketua ATVSI Ishadi SK dalam keterangan tertulis, Senin 25 September 2017.
 
Ishadi menjelaskan dalam konsep tersebut, frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator. Tentunya dalam hal ini oleh LPP RTRI.

"Ini menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran," ujar dia.
 
Ishadi juga merujuk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ishadi menegaskan, pihaknya menolak konsep single mux tersebut.
 
"Sekalipun hal tersebut dilakukan oleh lembaga yang dimiliki pemerintah," tegas dia.
 
Ishadi menambahkan konsep single mux bukan solusi migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux operator, lanjut dia, akan berdampak pada lembaga penyiaran swasta atau LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian.
 
Pasalnya frekuensi menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran yang dikelola satu pihak saja. Alhasil terjadi pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun.
 
"Ini juga menyebabkan terjadinya PHK stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi," ucap dia.
 
Menurut Ishadi, konsep single mux ini hanya diterapkan di Jerman dan Malaysia. Konsep yang diterapkan di dua negara International Telecomunication Union (ITU), market share TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen.
 
Sedangkan sisanya didominasi TV kabel dan DTH. Adapun di Indonesia, justru market share TV FTA sebesar 90 persen, sedangkan sisanya 10 persen adalah TV kabel.
 
"Kita harus melihat konsep single mux di Malaysia tidak berjalan mulus dan banyak masalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk yang dimiliki pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal. Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran," terang Ishadi.
 
Dalam hal ini, Ishadi menawarkan konsep yang dianggap sehat dan demokratis. Yaitu model bisnis hybrid yang memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan LPP dan LPS.
 
"Konsep Hybrid ini merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktik monopoli (single mux)," beber Ishadi.
 
ATVSI pun, lanjut Ishadi, sudah melakukan road show ke sejumlah partai politik yang ada di DPR. ATVSI menawarkan dan menjelaskan konsep ideal untuk dunia penyiaran Indonesia.
 
"Para ketua partai politik juga tidak sepakat dengan konsep single mux. Karena berpotensi menciptakan situasi yang tidak demokratis seperti di era orde baru," ujar dia.
 
Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov mendesak Komisi I DPR mendengar masukan dari pelaku industri secara komprehensif. Pasalnya upaya Komisi I memasukkan konsep single mux dalam pembahasan RUU Penyiaran telah merusak iklim kompetisi industri penyiaran.
 
"Bukan malah mengabaikan prinsip demokrasi dalam industri penyiaran," kata Kamilov.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan