Ilustrasi pemerkosaan. (MI/Ramdani)
Ilustrasi pemerkosaan. (MI/Ramdani)

Ingatan Mei 1998 dan Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sobih AW Adnan • 16 Mei 2016 21:33
medcom.id, Jakarta: Baru beberapa tahun terakhir Zara (bukan nama sebenarnya) berani melintasi bilangan Slipi, Jakarta Barat. Sebuah ingatan kerap membuatnya bermandikan keringat dingin dan rasa getar yang tak menentu. Peristiwa yang terjadi pada petang 14 Mei 1998 itu, masih jelas terpatri di dalam benak, tak jua luntur hingga beberapa tahun kemudian.
 
Di saat kekacauan ibu kota terjadi, Zara tercatat sebagai mahasiswi aktif di sebuah universitas. Jejak traumatis yang panjang dan mendalam itu dimulai saat dia dan seorang kawannya diangkut paksa oleh beberapa pria tak dikenal. Di dalam mobil misterius itu, Zara merasa dihancurkan masa depannya, juga harus kehilangan dua bagian vital di dadanya.
 
“Masih banyak kejadian di luar nalar kemanusiaan saat itu,” ujar Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amirudin kepada metrotvnews.com saat mengomentari ragam kisah korban kekerasan seksual dalam jumpa pers bertajuk Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa: Disangkal!, di Jakarta Rabu (11/5/2016).

Fakta adanya kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 tersebut, ujar Mariana,  menandai keadaan politik masa rezim Orde Baru yang disalahartikan sebagai konflik sosial. Berdasarkan laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, kerusuhan di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya yang berlangsung pada 13 hingga 15 Mei 1998 itu menelan 152 orang korban kekerasan seksual dan perkosaan. Sementara 20 orang di antaranya meninggal dunia.
 
“Kami berharap masyarakat ikut menjadikan Mei sebagai peringatan atas tragedi bangsa yang kemudian pada akhirnya bisa membantu melakukan pencegahan dan pendokumentasian seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia,” kata Mariana.
 
 Ingatan Mei 1998 dan Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
 
Menghormati keseluruhan korban
 
Tidak semua orang mampu untuk membincang masa lalunya yang menyakitkan. Terlebih jika harus kembali bangkit dan berjuang menuntut keadilan. Persoalan kekerasan seksual lekat dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk dalam diri korban itu sendiri.
 
“Inilah yang menyulitkan penelusuran terungkapnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk pada tragedi Mei '98,” ucap Mariana.
 
Sulitnya mengungkap kejahatan seksual massal yang terjadi pada 18 tahun silam dilandasi beberapa faktor. Di antaranya, menurut Mariana, banyaknya korban yang memilih bungkam. Latar belakang korban sebagai minoritas (etnis Tionghoa) dan kerap disudutkan dalam kasus pemerkosaan membuat mereka banyak menutup diri.
 
“Pemulihan korban dari trauma menjadi penting, juga mengupayakan agar kejadian serupa tidak terulang,”  kata dia.
 
Sejak peristiwa itu meletus, upaya pengungkapan kasus kekerasan seksual massal 1998 digenjot melalui berbagai cara. Ratusan relawan kemanusiaan disebar guna mencari bukti-bukti, para pendamping dikerahkan untuk menggali informasi dan meneguhkan kembali rasa kepercaya-dirian korban, sementara rohaniawan dan psikolog membantu keluarga untuk memulihkan kejiwaan korban yang dilanda traumatisme mendalam.
 
Proses-proses menuju keadilan terus dilakukan. Komnas Perempuan juga terlahir dari semangat menuntaskan pengungkapan kasus kemanusiaan ini. Data-data dan kesimpulan yang dihimpun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dijadikan patokan untuk menyuarakan tuntutan kepada pihak-pihak berwenang. Sementara para korban dan keluarganya, membangun rumah bersama bernama Forum Komunikasi Keluarga Korban Mei ’98 (FKKM) demi saling menguatkan dan menumbuhkan harapan-harapan.
 
“Namun karena tidak juga mendapatkan kejelasan hukum, maka para korban yang sebelumnya mau bersama-sama dan bersedia menjadi saksi sedikit demi sedikit berkurang,” kata Mariana.
 
 RUU PKS untuk keadilan korban
 
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan gagasan untuk mengawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga bersinggungan erat dengan menghormati perasaan dari pengalaman pahit yang dimiliki korban kekerasan seksual tragedi Mei 1998. Mensyaratkan adanya perubahan mendasar pada sistem pembuktian yang lebih memudahkan korban menjadi semangat utama RUU tersebut.
 
Ambil contoh, satu saksi dianggap saksi dengan didukung bukti lainnya, pemeriksaan dimungkinkan dengan tidak menghadirkan korban tetapi dengan sistem yang lebih ramah pada korban. Beban pembuktian ada pada penyidik dan pelaku bila menyangkal laporan korban.
 
“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah bentuk penghormatan untuk seluruh korban, dan kita semua punya tanggung jawab moral untuk mewujudkannya, agar Tragedi Mei ’98 dan deretan kekerasan bangsa yang lain tidak berulang,” kata Yuniyanti.
 
RUU PKS, menurut Yuniyanti, dibutuhkan sebagai asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis). Sejak 2014 lalu, Komnas Perempuan menyusun naskah akademik dan draft RUU PKS sebagai payung hukum dan perlindungan bagi korban. Dalam mewujudkan ikhtiar ini, Komnas Perempuan mengaku telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya berkonsultasi dengan korban, pendamping korban, akademisi, aparat penegak hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga HAM nasional, sebelum kemudian disusun kembali oleh tim perumus yang hingga saat ini masuk draf ketiga.
 
RUU PKS dikatakan memiliki beberapa penekanan pemahaman. Selain semangat memudahkan kesaksian korban, yang dimaksud kekerasan seksual pada panduan hukum ini juga mencakup tidak semata pada perkosaan, tapi meliputi juga pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan  sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
 
Yuniyanti menjelaskan, dari data yang dihimpun mitra Komnas Perempuan di lima wilayah, yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh dan Sulawesi menemukan fakta 80% korban kekerasan seksual memilih jalur hukum. Sementara 50% diselesaikan melalui mediasi, karena dinikahkan dengan pelaku, tidak cukup bukti ataupun korban kelelahan berhadapan dengan hukum, dan 40% korban terhenti di kepolisian. Sehingga kasus kekerasan seksual yang dapat diproses hingga persidangan hanya mencapai 10%.
 
Prinsip penghukuman dalam semangat RUU PKS juga bersifat mendidik, menjerakan, manusiawi dan tidak merendahkan martabat, juga pada prinsip memenuhi rasa keadilan korban dan cegah keberulangan. Sementara bentuk pidana ditekankan memiliki gradasi dari setiap bentuk kekerasan seksual, meliputi pemasyarakatan, rehabilitasi pelaku, dan restitusi terhadap korban.
 
“Sementara pidana tambahan meliputi juga pemulihan nama baik, sanksi administratif, dan denda. Dalam Pemidanaan diberlakukan pemberatan jika dilakukan oleh orang tua, para tokoh masyarakat, pejabat negara dan aparat hukum, dan jika dilakukan terhadap anak, perempuan hamil dan penyandang disabilitas serta dilakukan secara gang rape,” ujar dia.
 
Mendorong pengesahan RUU PKS dan pengungkapan kekerasan seksual massal pada tragedi 1998 merupakan satu kesatuan dalam usaha menghormati dan memerjuangkan seluruh hak korban. Selain itu, bagi negara, kata Yuniyanti, wajib mengakui tragedi tersebut sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa. Negara mesti meminta maaf kepada semua korban kerusuhan 1998.
 
“Ya (negara) meminta maaf. Kejadian luar biasa. Sekaligus negara juga harus mengakui tragedi tersebut. Setelah itu, lakukan proses hukum ke pengadilan bagi para pelaku,” kata Yuniyanti.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan