medcom.id, Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengeluhkan terus menurunnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan hal itu. Pada tahun 2003 peserta KB kontrasepsi jangka panjang masih 14,6 persen, menurun jadi 10,9 persen pada 2007 dan kembali turun menjadi 10,6 persen pada 2012.
“Rendahnya penggunaan MKJP menjadi penyebab stagnasi angka kelahiran selama satu dekade terakhir,” ungkap Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty saat melepas pemudik yang ikut serta dalam program Mudik Bersama Peserta KB, di Jakarta, Jumat (10/6/2015).
Stagansi, tambah Kepala BKKBN, berangkat dari kondisi mayoritas peserta KB modern saat ini masih menggunakan alat kontrasepsi (alkon) jangka pendek (non-MKJP) seperti pil dan suntik, yang rawan putus KB.
Dia menyebutkan angka kegagalan metode suntik saat ini masih cukup tinggi, yakni 6 per 100, yang artinya 6 dari 100 penggunanya tetap mengalami kehamilan setelah menggunakan suntik.
“Jumlah peserta DO ini menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan,” tandas dia.
Lain ceritanya, kata Surya, seandainya mayoritas peserta KB sudah beralih ke MKJP, yang terdiri dari alkon IUD dan implant. Pasalnya IUD bisa bertahan selama delapan tahun dan implant selama tiga tahun. Karena itu, peserta tidak perlu repot melakukan pemasangan ulang dalam jangka pendek, sehingga otomatis resiko putus KB-nya menjadi rendah.
Pada kesempatan serupa, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Sudibyo Alimoeso mengatakan, tingkat putus peserta KB di Indonesia masih tinggi. Secara umum sekitar 27 persen pemakai kontrasepsi non-MKJP berhenti memakai alat kontrasepsinya setelah satu tahun pakai.
Sudibyo menambahkan, tingkat putus pakai alkon tertinggi adalah pil mencapai 41 persen, kondom 31 persen, dan suntik 25 persen. Kasus putus pakai ini menjadi salah satu faktor penyumbang kejadian kehamilan tidak diinginkan, aborsi dan kematian ibu melahirkan di Indonesia.
medcom.id, Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengeluhkan terus menurunnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan hal itu. Pada tahun 2003 peserta KB kontrasepsi jangka panjang masih 14,6 persen, menurun jadi 10,9 persen pada 2007 dan kembali turun menjadi 10,6 persen pada 2012.
“Rendahnya penggunaan MKJP menjadi penyebab stagnasi angka kelahiran selama satu dekade terakhir,” ungkap Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty saat melepas pemudik yang ikut serta dalam program Mudik Bersama Peserta KB, di Jakarta, Jumat (10/6/2015).
Stagansi, tambah Kepala BKKBN, berangkat dari kondisi mayoritas peserta KB modern saat ini masih menggunakan alat kontrasepsi (alkon) jangka pendek (non-MKJP) seperti pil dan suntik, yang rawan putus KB.
Dia menyebutkan angka kegagalan metode suntik saat ini masih cukup tinggi, yakni 6 per 100, yang artinya 6 dari 100 penggunanya tetap mengalami kehamilan setelah menggunakan suntik.
“Jumlah peserta DO ini menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan,” tandas dia.
Lain ceritanya, kata Surya, seandainya mayoritas peserta KB sudah beralih ke MKJP, yang terdiri dari alkon IUD dan implant. Pasalnya IUD bisa bertahan selama delapan tahun dan implant selama tiga tahun. Karena itu, peserta tidak perlu repot melakukan pemasangan ulang dalam jangka pendek, sehingga otomatis resiko putus KB-nya menjadi rendah.
Pada kesempatan serupa, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Sudibyo Alimoeso mengatakan, tingkat putus peserta KB di Indonesia masih tinggi. Secara umum sekitar 27 persen pemakai kontrasepsi non-MKJP berhenti memakai alat kontrasepsinya setelah satu tahun pakai.
Sudibyo menambahkan, tingkat putus pakai alkon tertinggi adalah pil mencapai 41 persen, kondom 31 persen, dan suntik 25 persen. Kasus putus pakai ini menjadi salah satu faktor penyumbang kejadian kehamilan tidak diinginkan, aborsi dan kematian ibu melahirkan di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)