Beras untuk masyarakat miskin/Antara/Akbar Nugroho Gumay
Beras untuk masyarakat miskin/Antara/Akbar Nugroho Gumay

Menimbang Program Raskin, Baik atau Buruk?

Fario Untung • 28 April 2014 21:48
medcom.id, Jakarta: Program pemberian beras miskin atau yang lebih dikenal sebagai raskin memang banyak menuai pro dan kontra. Namun, beberapa kalangan dari para pengamat pangan mengungkapkan ketidaksetujuannya jika pemerintah menghapuskan program subsidi beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu.
 
Demikian hal itu ditegaskan oleh pengamat pangan Mohammad Husein Sawit melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (28/4). Hal tesebut disampaikan oleh Husein setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi ketidakberesan dalam pelaksanaan program raskin.
 
"Saya tidak sependapat jika Raskin dihapus. Kalau program Raskin dihapus, maka akan menghapus juga program-program pemerintah yang lain," ujar Husein ketika dikonfirmasi.

Menurut Husein, menghentikan program Raskin bukan solusi. Yang seharusnya dilakukan adalah memperbaiki program tersebut. Pasalnya, program Raskin terkait dengan sejumlah kebijakan lainnya, seperti kebijakan pengadaan dalam negeri. Tetapi yang terjadi sekarang, Raskin terlalu besar, jangkauannya semakin luas dan fungsinya semakin penting.
 
"Tujuan Raskin tahap awal tidak dirancang untuk menstabilkan harga beras, tapi mekanisme stabilitasasi harga beras itu dengan cadangan beras pemerintah. Namun sekarang cadangan beras pemerintah sedikit sekali dan kualitasnya sama dengan Raskin. Karena itu, Raskin digunakan sebagai alat untuk menstabilkan harga," paparnya.
 
Suatu program yang terlalu banyak volumenya, kata Husein, biasanya sulit untuk dikontrol, sehingga perlu ditata sedemikian rupa. Maksudnya, harus dirasionalkan jumlahnya. Jumlah yang rasional sekitar 2 juta ton. Nah, sekarang jumlah Raskin sudah melebihi, yakni mencapai lebih dari 3 juta ton sehingga dianggap terlalu besar.
 
Semakin besar volumen Raskin, semakin besar pula dalam menyerap beras produksi dalam negeri. "Pengadaan itu banyak bergantung pada produksi. Kalau musimnya jelek, tentunya tak bisa mendapat gabah yang banyak, karena tidak mencukupi. Dan biasanya kalau tidak mencukupi, beras harus diimpor. Agar tidak terlalu banyak impor beras, maka manajemen Raskin perlu diperbaiki, harus dirasionalkan jumlahnya, bukan diberangus," tandas Husein.
 
Melalui rasionalisasi jumlah, katanya, maka akan lebih mudah mengontrol dan mengelola program Raskin. Yang harus juga dibenahi, kata Husein, adalah penerima manfaat yang sekarang dibagi rata-rata. "Program yang sudah besar dan massal, pastilah ada kemungkinan salah urus,  tapi tidak harus dihapus. Kalau dihapus, itu tidak menyelesaikan masalah. Justru masalah lain akan muncul. Misalnya petani tak akan terlindungi pada saat panen raya," ujarnya.
 
Jika Raskin dihapus, artinya pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan beras dan tidak ada lagi pembelian gabah dari petani, sehingga petani akan menjualnya kepihak swasta. "Masalahnya, pihak swasta biasanya tak membeli banyak, dan harga akan jatuh di bawah ongkos produksi, sehingga petani akan rugi. Akibatnya, di panen berikutnya petani akan mengurangi luas area, tidak mau menggunakan pupuk lagi dan produksi gabah akan merosot,” urainya.
 
Pendapat senada disampaikan Tuhana dari Universitas Sebelas Maret (UNS) yang juga menghimbau agar pemerintah tidak menghapuskan program Raskin. Menurutnya, ke depan harus ada komitmen bersama dan harus mengoptimalkan kontrol. "Kalau Raskin dihapuskan, maka akan berdampak pada pemenuhan pangan rakyat miskin yang merupakan hal yang penting," tegasnya.
 
Intinya, kata Tuhana, pertama harus dilakukan optimalisasi fungsi pengawasan kepada tim pelaksanaan Raskin. Kedua, menumbuhkan kesadaran masyarakat. “Pelaksanaan Raskin bersumber dari pendataan yang akurat sehingga Raskin tepat sasaran. "Jadi jangan dihapus!" tegasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGT)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan