medcom.id, Jakarta: Belum lepas dari ingatan banyak orang berlomba meninggalkan pekerjaan karena ingin menjadi driver ojek maupun taksi daring. Bayangan pendapatan lebih besar mau tak mau menjadi salah satu pertimbangan sebagian orang mengambil keputusan berani itu.
Buat yang memilih profesi driver ojek online mungkin kurang menantang karena mayoritas sudah memiliki modal kendaraan roda dua. Keputusan besar justru harus diambil mereka yang memilih taksi daring.
Setidaknya, mereka harus menyediakan mobil sebagai salah satu syarat terdaftar sebagai pengemudi. Mereka bahkan harus 'berjudi' meninggalkan pekerjaannya dan mengambil kredit mobil karena iming-iming penghasilan wah.
Belakangan, pengemudi angkutan berbasis aplikasi pelan-pelan mulai gugur. Tak sedikit harus berhenti dari profesi barunya itu.
"Sekarang banyak kok yang sudah enggak narik (mengemudi taksi daring) lagi," kata Edi, pengemudi Grab-Car ketika ditemui Metrotvnews.com di Puri Beta, Ciledug, Jumat 24 Maret 2017.
Edi memang tak tahu detail berbagai alasan pengemudi akhirnya berhenti menjadi pengemudi taksi daring. Ia menduga harapan meningkatkan perekonomian tidak lagi terpenuhi.
Sering kali, kata Edi, tarif yang ditetapkan perusahaan tidak sesuai dengan biaya tempuh perjalanan. Hal itu disebabkan banyak faktor, seperti kemacetan dan lain sebagainya.
Edi juga mengaku jarang mendapatkan bonus dari pelanggan. Padahal, bonus tersebut bisa menjadi pendapatan tambahan pengemudi.
"Dia (pelanggan) kan maunya yang murah. Kalau pelanggan maunya yang enak-enak saja, lebih murah, lebih nyaman," ucap dia.
Tapi, mantan pengemudi taksi konvensional ini tak ingin mengikuti rekan-rekannya yang berhenti dari pekerjaan utama. Dia tetap berusaha menjalani profesinya sebagai driver taksi online agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan membayar kewajiban kredit mobil yang baru berjalan 10 bulan.
"Ya mau enggak mau harus dijalani. Soalnya harus bayar kredit mobil juga," ungkap dia.
Hal senada juga diungkapkan Nur Sahid, pengemudi Go-Car. Pria berumur 45 tahun itu menyebut alasannya tetap memilih profesi sebagai driver taksi daring karena masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan kewajiban membayar kredit mobil.
"Kalau sudah enggak dapat, saya keluar," kata Nur.
Dia mengaku bisnis itu masih memenuhi harapan selama setahun lebih menggeluti profesi itu. Dia masih memilih tetap bertahan.
"Alhamdulillah masih ketemu, kalau enggak ketemu, gulung tikar," sebut dia.
Di tengah kegundahan mewujudkan harapan, Nur berharap kebijakan yang diterapkan pemerintah melalui revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaran Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek mampu menjadi jalan keluar. Sehingga, peningkatan pendapatan sesuai harapan bisa terpenuhi.
"Mendukung, bagus malah biar tambah enak," ucap dia.
medcom.id, Jakarta: Belum lepas dari ingatan banyak orang berlomba meninggalkan pekerjaan karena ingin menjadi driver ojek maupun taksi daring. Bayangan pendapatan lebih besar mau tak mau menjadi salah satu pertimbangan sebagian orang mengambil keputusan berani itu.
Buat yang memilih profesi driver ojek online mungkin kurang menantang karena mayoritas sudah memiliki modal kendaraan roda dua. Keputusan besar justru harus diambil mereka yang memilih taksi daring.
Setidaknya, mereka harus menyediakan mobil sebagai salah satu syarat terdaftar sebagai pengemudi. Mereka bahkan harus 'berjudi' meninggalkan pekerjaannya dan mengambil kredit mobil karena iming-iming penghasilan wah.
Belakangan, pengemudi angkutan berbasis aplikasi pelan-pelan mulai gugur. Tak sedikit harus berhenti dari profesi barunya itu.
"Sekarang banyak kok yang sudah enggak narik (mengemudi taksi daring) lagi," kata Edi, pengemudi Grab-Car ketika ditemui
Metrotvnews.com di Puri Beta, Ciledug, Jumat 24 Maret 2017.
Edi memang tak tahu detail berbagai alasan pengemudi akhirnya berhenti menjadi pengemudi taksi daring. Ia menduga harapan meningkatkan perekonomian tidak lagi terpenuhi.
Sering kali, kata Edi, tarif yang ditetapkan perusahaan tidak sesuai dengan biaya tempuh perjalanan. Hal itu disebabkan banyak faktor, seperti kemacetan dan lain sebagainya.
Edi juga mengaku jarang mendapatkan bonus dari pelanggan. Padahal, bonus tersebut bisa menjadi pendapatan tambahan pengemudi.
"Dia (pelanggan) kan maunya yang murah. Kalau pelanggan maunya yang enak-enak saja, lebih murah, lebih nyaman," ucap dia.
Tapi, mantan pengemudi taksi konvensional ini tak ingin mengikuti rekan-rekannya yang berhenti dari pekerjaan utama. Dia tetap berusaha menjalani profesinya sebagai driver taksi online agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan membayar kewajiban kredit mobil yang baru berjalan 10 bulan.
"Ya mau enggak mau harus dijalani. Soalnya harus bayar kredit mobil juga," ungkap dia.
Hal senada juga diungkapkan Nur Sahid, pengemudi Go-Car. Pria berumur 45 tahun itu menyebut alasannya tetap memilih profesi sebagai driver taksi daring karena masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan kewajiban membayar kredit mobil.
"Kalau sudah enggak dapat, saya keluar," kata Nur.
Dia mengaku bisnis itu masih memenuhi harapan selama setahun lebih menggeluti profesi itu. Dia masih memilih tetap bertahan.
"Alhamdulillah masih ketemu, kalau enggak ketemu, gulung tikar," sebut dia.
Di tengah kegundahan mewujudkan harapan, Nur berharap kebijakan yang diterapkan pemerintah melalui revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaran Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek mampu menjadi jalan keluar. Sehingga, peningkatan pendapatan sesuai harapan bisa terpenuhi.
"Mendukung, bagus malah biar tambah enak," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)