Jakarta: Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Pers menerima tujuh pengaduan atas peristiwa kerusuhan demontrasi penolakan hasil pemilu pada Selasa, 21 dan Rabu, 22 Mei 2019. Tujuh aduan itu merupakan korban yang diduga salah tangkap.
"Kita buka posko pengaduan sejak 27 Mei hingga 1 Juni. Sepanjang periode itu, kami menerima tujuh pengaduan," kata Koordinator KontraS, Yati Andriyani di kantornya Jalan Kramat II Nomor 7, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Minggu, 2 Juni 2019.
Yati menyebut tujuh korban itu diduga telah mengalami pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manunisa (HAM). Dari tujuh korban itu, ada tujuh pelanggaran yang diduga dilakukan aparat kepolisian.
Pertama, terjadinya penyiksaan. Seluruh tersangka yang diadukan oleh keluarganya tidak bisa ditemui dengan berbagai alasan. Penghalangan akses itu menimbulkan dugaan adanya penyiksaan.
"Contohnya, terhadap anak berinisial RM, 17. Dia mengeluh bahwa telah dipukuli yang mengakibatkan babak belur. Kepala atasnya bocor, pelipis bengkak benjol, mata kanan lebam, punggung ada bekas pukulan dan bekas luka di tangan kanan," ujar Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora.
Mereka pun tidak dapat bertemu dengan keluarga. Penghilangan akses untuk bertemu dengan keluarga ini bertentangan dengan Pasal 60 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana setiap tersangka berhak menerima kunjungan dari keluarganya.
Selanjutnya, tidak diberikannya bantuan hukum. Kepolisian telah menyediakan kuasa hukum untuk semua orang yang ditangkap. Hal ini mengibaratkan tak ada kesempatan tersangka memilih pengacara sendiri. Meski disediakan pengacara, penasihat hukum itu seringkali tidak memberikan pembelaan sebagaimana mestinya.
"Kuasa hukum dari kepolisian ini hanya hadir ketika setelah berita acara pemeriksaan (BAP) dibuat, baru dia tanda tangan. Akibatnya, kesempatan untuk orang-orang mengajukan pembelaan menjadi semakin kecil, melainkan semakin besar menjadi pidana," ungkap Nelson.
Lalu, pelanggaran hak anak. Pemeriksaan kepada anak-anak dilakukan tanpa adanya orang tua. Ini melanggar hak anak dalam proses hukum yakni Pasal 12 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Kepolisian harus mengusut pelaku kekerasan terhadap RM yang mengalami kepala bocor. Karena, kekerasan terhadap anak jelas dilarang. Pelakunya dapat dipidana penjara 3 tahun 6 bulan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 80 Jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak," tukas Nelson.
Pelanggaran lain, tidak diberitahukannya penangkapan dan penahanan. Keluarga yang mengadu mengaku tidak menerima informasi dari pihak yang menangkap. Pihak keluarga malah inisiatif mencari sendiri ke sana ke mari, seperti rumah sakit, Polres dan Polda Metro Jaya.
Selanjutnya, tidak diberikannya surat penangkapan dan penahanan. Akibatnya, keluarga para pengadu tidak mengetahui bahwa anak atau keluarganya ditangkap. Seharusnya, kepolisian memberikan surat itu saat keluarga datang ke Polda Metro Jaya atau Polres.
"Tidak ada surat ini menjadi peluang tidak adanya kuasa hukum, rekayasa perkara, dan dihukumnya orang yang tidak bersalah," beber Nelson.
Terakhir, pelanggaran dugaan salah tangkap. Nelson meyakini tujuh pengaduan itu merupakan korban salah tangkap. Sebab, kata dia, polisi menangkap semua orang yang berada di di lokasi.
"Contoh seorang yang berinisial AF. Saat pulang kerja, motornya mengalami masalah dan mogok di tengah jalan daerah Slipi, Jakarta Barat. Saat membetulkan motornya, ada kerumunan dan ada aparat sedang melakukan sweeping. Hal itu membuatnya melarikan diri ke salah satu gedung. Lalu, dia ditangkap polisi," terang Nelson.
Atas tujuh aduan dan tujuh dugaan pelanggaran itu, Yati selaku Koordinator KontraS mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengurai masalah hukum secara terang benderang. Tim itu harus melibatkan Kepolisian, Kompolnas, KPAI, Ombudsman, Komnas HAM dan masyarakat sipil.
"Ini penting dilakukan untuk mengukur sejauhmana pemerintahan Jokowi mengedepankan penegakan hukum dan hak asasi manusia," pungkas Yati.
Jakarta: Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Pers menerima tujuh pengaduan atas peristiwa kerusuhan demontrasi penolakan hasil pemilu pada Selasa, 21 dan Rabu, 22 Mei 2019. Tujuh aduan itu merupakan korban yang diduga salah tangkap.
"Kita buka posko pengaduan sejak 27 Mei hingga 1 Juni. Sepanjang periode itu, kami menerima tujuh pengaduan," kata Koordinator KontraS, Yati Andriyani di kantornya Jalan Kramat II Nomor 7, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Minggu, 2 Juni 2019.
Yati menyebut tujuh korban itu diduga telah mengalami pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manunisa (HAM). Dari tujuh korban itu, ada tujuh pelanggaran yang diduga dilakukan aparat kepolisian.
Pertama, terjadinya penyiksaan. Seluruh tersangka yang diadukan oleh keluarganya tidak bisa ditemui dengan berbagai alasan. Penghalangan akses itu menimbulkan dugaan adanya penyiksaan.
"Contohnya, terhadap anak berinisial RM, 17. Dia mengeluh bahwa telah dipukuli yang mengakibatkan babak belur. Kepala atasnya bocor, pelipis bengkak benjol, mata kanan lebam, punggung ada bekas pukulan dan bekas luka di tangan kanan," ujar Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora.
Mereka pun tidak dapat bertemu dengan keluarga. Penghilangan akses untuk bertemu dengan keluarga ini bertentangan dengan Pasal 60 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana setiap tersangka berhak menerima kunjungan dari keluarganya.
Selanjutnya, tidak diberikannya bantuan hukum. Kepolisian telah menyediakan kuasa hukum untuk semua orang yang ditangkap. Hal ini mengibaratkan tak ada kesempatan tersangka memilih pengacara sendiri. Meski disediakan pengacara, penasihat hukum itu seringkali tidak memberikan pembelaan sebagaimana mestinya.
"Kuasa hukum dari kepolisian ini hanya hadir ketika setelah berita acara pemeriksaan (BAP) dibuat, baru dia tanda tangan. Akibatnya, kesempatan untuk orang-orang mengajukan pembelaan menjadi semakin kecil, melainkan semakin besar menjadi pidana," ungkap Nelson.
Lalu, pelanggaran hak anak. Pemeriksaan kepada anak-anak dilakukan tanpa adanya orang tua. Ini melanggar hak anak dalam proses hukum yakni Pasal 12 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Kepolisian harus mengusut pelaku kekerasan terhadap RM yang mengalami kepala bocor. Karena, kekerasan terhadap anak jelas dilarang. Pelakunya dapat dipidana penjara 3 tahun 6 bulan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 80 Jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak," tukas Nelson.
Pelanggaran lain, tidak diberitahukannya penangkapan dan penahanan. Keluarga yang mengadu mengaku tidak menerima informasi dari pihak yang menangkap. Pihak keluarga malah inisiatif mencari sendiri ke sana ke mari, seperti rumah sakit, Polres dan Polda Metro Jaya.
Selanjutnya, tidak diberikannya surat penangkapan dan penahanan. Akibatnya, keluarga para pengadu tidak mengetahui bahwa anak atau keluarganya ditangkap. Seharusnya, kepolisian memberikan surat itu saat keluarga datang ke Polda Metro Jaya atau Polres.
"Tidak ada surat ini menjadi peluang tidak adanya kuasa hukum, rekayasa perkara, dan dihukumnya orang yang tidak bersalah," beber Nelson.
Terakhir, pelanggaran dugaan salah tangkap. Nelson meyakini tujuh pengaduan itu merupakan korban salah tangkap. Sebab, kata dia, polisi menangkap semua orang yang berada di di lokasi.
"Contoh seorang yang berinisial AF. Saat pulang kerja, motornya mengalami masalah dan mogok di tengah jalan daerah Slipi, Jakarta Barat. Saat membetulkan motornya, ada kerumunan dan ada aparat sedang melakukan
sweeping. Hal itu membuatnya melarikan diri ke salah satu gedung. Lalu, dia ditangkap polisi," terang Nelson.
Atas tujuh aduan dan tujuh dugaan pelanggaran itu, Yati selaku Koordinator KontraS mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengurai masalah hukum secara terang benderang. Tim itu harus melibatkan Kepolisian, Kompolnas, KPAI, Ombudsman, Komnas HAM dan masyarakat sipil.
"Ini penting dilakukan untuk mengukur sejauhmana pemerintahan Jokowi mengedepankan penegakan hukum dan hak asasi manusia," pungkas Yati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)