Jakarta: Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Mayor Jenderal (Mayjen) Terawan Agus Putranto menolak semua dugaan yang dialamatkan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) terhadap dirinya. Dia pun enggan berandai-andai jika Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjatuhkan sanksi pemecatan seperti rekomendasi MKEK.
Sebagai seorang tentara aktif, dia mengaku lebih taat komando. Meski demikian, dirinya tidak akan mengabaikan IDI dan segala sanksinya.
"Bukan masalah mengabaikan. Kita menghormati semuanya. Tetapi komando itulah yang menuntun kita," kata Terawan di RSPAD, Jakarta Pusat, Rabu, 4 April 2018.
Terawan mengaku belum menerima surat apa pun menyangkut kasus etik yang menjeratnya. Dia pun enggak banyak bicara soal surat yang menuliskan dirinya dijatuhi sanksi pemecatan sementara dari IDI selama setahun.
"Aku juga bingung. Kita anggap hoaks saja. Daripada jadinya bermasalah. Pusing semua. Akhirnya kena UU ITE. Kan merugikan banyak orang. Termasuk orang yang nyebar juga nyeselnya belakangan," ungkap dia.
Penemu metode 'cuci otak' untuk mengatasi penyakit stroke itu memilih menatap ke depan dalam melihat perkara ini. Pasalnya, dia enggan nantinya malah menjelekkan pihak lainnya.
"Aku ini tentara dan aku ini dokter. Aku sudah lahir untuk jadi dokter. Jadi aku ingin berbuat, bersikap, bertindak sesuai dokter yang profesional."
Baca: KSAD: IDI Main Tembak, Memangnya Siapa?
Dia menekankan digital subtraction angiography (DSA) yang diduga menjadi pangkal masalah etik ini sejatinya sudah diuji secara ilmiah. DSA sudah menjadi materi disertasinya di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurut dia, DSA sudah ditulis dalam 12 jurnal internasional dan menghasilkan enam orang doktor. Namun, dia mengakui segala sesuatu dalam pengobatan pasti ada risikonya. Kendati begitu, risiko bisa diminimalisasi.
"Harus dikerjakan dengan cermat, dengan detail, dan dengan persiapan yang baik. Dan jangan lupa harus didukung doa," kata dia.
Terawan terancam diberhentikan IDI karena dianggap melanggar kode etik kedokteran. Ini terkait larangan bagi dokter untuk mengiklankan dan memuji diri sendiri.
Dia selama ini diketahui sebagai orang yang mengenalkan metode 'cuci otak' untuk mengatasi penyakit stroke. Terapi 'cuci otak' dengan DSA diklaim bisa menghilangkan penyumbatan di otak. Namun, metode menuai pro kontra.
Jakarta: Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Mayor Jenderal (Mayjen) Terawan Agus Putranto menolak semua dugaan yang dialamatkan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) terhadap dirinya. Dia pun enggan berandai-andai jika Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjatuhkan sanksi pemecatan seperti rekomendasi MKEK.
Sebagai seorang tentara aktif, dia mengaku lebih taat komando. Meski demikian, dirinya tidak akan mengabaikan IDI dan segala sanksinya.
"Bukan masalah mengabaikan. Kita menghormati semuanya. Tetapi komando itulah yang menuntun kita," kata Terawan di RSPAD, Jakarta Pusat, Rabu, 4 April 2018.
Terawan mengaku belum menerima surat apa pun menyangkut kasus etik yang menjeratnya. Dia pun enggak banyak bicara soal surat yang menuliskan dirinya dijatuhi sanksi pemecatan sementara dari IDI selama setahun.
"Aku juga bingung. Kita anggap hoaks saja. Daripada jadinya bermasalah. Pusing semua. Akhirnya kena UU ITE. Kan merugikan banyak orang. Termasuk orang yang nyebar juga nyeselnya belakangan," ungkap dia.
Penemu metode 'cuci otak' untuk mengatasi penyakit stroke itu memilih menatap ke depan dalam melihat perkara ini. Pasalnya, dia enggan nantinya malah menjelekkan pihak lainnya.
"Aku ini tentara dan aku ini dokter. Aku sudah lahir untuk jadi dokter. Jadi aku ingin berbuat, bersikap, bertindak sesuai dokter yang profesional."
Baca: KSAD: IDI Main Tembak, Memangnya Siapa?
Dia menekankan
digital subtraction angiography (DSA) yang diduga menjadi pangkal masalah etik ini sejatinya sudah diuji secara ilmiah. DSA sudah menjadi materi disertasinya di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurut dia, DSA sudah ditulis dalam 12 jurnal internasional dan menghasilkan enam orang doktor. Namun, dia mengakui segala sesuatu dalam pengobatan pasti ada risikonya. Kendati begitu, risiko bisa diminimalisasi.
"Harus dikerjakan dengan cermat, dengan detail, dan dengan persiapan yang baik. Dan jangan lupa harus didukung doa," kata dia.
Terawan terancam diberhentikan IDI karena dianggap melanggar kode etik kedokteran. Ini terkait larangan bagi dokter untuk mengiklankan dan memuji diri sendiri.
Dia selama ini diketahui sebagai orang yang mengenalkan metode 'cuci otak' untuk mengatasi penyakit stroke. Terapi 'cuci otak' dengan DSA diklaim bisa menghilangkan penyumbatan di otak. Namun, metode menuai pro kontra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)