medcom.id, Jakarta: Terinspirasi dari fez atau fezzi asal Turki, begitulah salah satu versi mengisahkan kelahiran peci sebagai salah satu identitas negeri.
Penutup kepala berwarna hitam ini, menjadi kebanggaan Indonesia sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Bahkan, ia menjadi ciri khas Soekarno, selain tongkat komando.
Peci, sebenarnya lazim pula dikenal bangsa-bangsa Melayu. Istilah lainnya, songkok. Para pengkaji sejarah menyebut, topi tradisional ini sudah ada di Nusantara sejak abad 13.
Sejarawan Brunei Darussalam Rozan Yunos dalam The Origin of the Songkok or Kopiah (2007) menegaskan, songkok, mulanya dipromosikan para pedagang dari Jazirah Arab.
Kemunculannya, seiring dengan pengenalan serban yang mulai khas dikenakan para ulama.
"Hal yang menjadi pemandangan umum saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan.
Pendapat itu, boleh benar, bisa juga salah. Sebab faktanya, masyarakat Arab sendiri tidak terlalu populer dengan benda yang juga disebut kopiah tersebut.
Pemersatu dan antikorupsi
Di masa awal kepemimpinan Republik Indonesia, peci menjelma sebagai penanda kuat dalam ruang-ruang diplomasi. Peci, kian populer menjadi ciri khas yang dikenakan para tokoh bangsa.
Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) mengisahkan, Soekarno memaknai peci sebagai simbol nasionalisme. Peci, berperan sebagai penyatu dari keragaman identitas yang ada di Indonesia, bahkan simbol perlawanan terhadap penjajah.
"Ciri khas saya... simbol nasionalisme kami," ucap Bung Besar, sebagaimana dikutip Adams.
Semangat itu, rupanya masih bertahan hingga hari ini. Termasuk, seperti yang dihayati oleh seorang Uu Ruzhanul Ulum, Bupati Tasikmalaya, Jawa Barat.
"Saya menekankan seluruh pelajar dan pegawai laki-laki di Pemerintahan Daerah (Pemda) memakai peci. Sebagai lambang kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Uu kepada Metrotvnews.com, beberapa waktu lalu.
Baca: Belajar dari Bupati yang Santri
Bukan sekadar formalitas, Uu meyakini, peci semestinya turut berperan dalam mencegah perbuatan buruk pemakainya.
"Jika dihayati, pemakai peci seharusnya malu jika ada godaan berbuat jahat. Misalnya, korupsi. Jika masih memiliki hati nurani, ia tak akan tega mengotori benda yang dulunya dipakai para pendiri bangsa dan para kiai ini," kata Uu, sembari menunjuk penutup kepala yang dikenakannya.
Di balik peci
Pemahaman Uu tentang perlunya penanda kebangsaan melalui peci tak tumbuh begitu saja. Perjalanan hidupnya yang kental dengan tempaan agama memberikan pengalaman tersendiri.
Uu lahir dari keluarga besar pesantren. Kakeknya, Ajengan KH Choer Affandi merupakan ulama kharismatik pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya.
Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum dan para santrinya di komplek Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (9/12)/ANTARA/Adeng Bustomi
Dia menceritakan, ketika masih dalam gemblengan keluarganya, ia tak begitu sepakat dengan imbauan agar para santri membiasakan diri mengenakan peci, terutama yang berwarna hitam. Sebagai bentuk ketidaksetujuannya itu, Uu pun kerap mondar-mandir di lingkungan pesantren tanpa mengenakan penutup kepala itu.
"Hingga suatu saat, saya dikirim keluarga untuk mengaji di Pondok Pesantren Bantargedang, Tasikmalaya. Dari situlah pengalaman berharga itu dimulai," kata Uu.
Meski sudah berada di pesantren di luar asuhan keluarga besarnya, Uu tetap kekeh untuk mempertahankan prinsip penolakan terhadap kewajiban memakai peci. Menurutnya, perintah semacam itu tetap tidak relevan.
"Akhirnya saya pun disidang dan berdebat dengan pengurus. Saya bilang, peci itu bukan syariat. Tak ada satu pun dalil yang layak dijadikan alasan," kata dia.
Lantaran paham santri yang diinterogasinya juga merupakan anak ajengan, akhirnya pengurus pun lebih memilih mengalah. Tapi, justru dari babak itulah ia mulai berpikir lantas menemukan pentingnya makna berpeci.
"Saya akhirnya merenung, memang benar bukan amanat Islam, tapi penting untuk semangat kebangsaan," kata dia.
Setelahnya, Uu malah berbalik. Bahkan hingga kini hampir tak pernah melepas penutup kepalanya.
"Apalagi, ketika berhadapan dengan keberagamaan di Jawa Barat, peran peci kian penting," kata pria yang digadang-gadang calon kuat pendamping Ridwan Kamil di Pilkada 2018 ini.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Rb1ZXLlk" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Terinspirasi dari
fez atau
fezzi asal Turki, begitulah salah satu versi mengisahkan kelahiran peci sebagai salah satu identitas negeri.
Penutup kepala berwarna hitam ini, menjadi kebanggaan Indonesia sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Bahkan, ia menjadi ciri khas Soekarno, selain tongkat komando.
Peci, sebenarnya lazim pula dikenal bangsa-bangsa Melayu. Istilah lainnya, songkok. Para pengkaji sejarah menyebut, topi tradisional ini sudah ada di Nusantara sejak abad 13.
Sejarawan Brunei Darussalam Rozan Yunos dalam
The Origin of the Songkok or Kopiah (2007) menegaskan, songkok, mulanya dipromosikan para pedagang dari Jazirah Arab.
Kemunculannya, seiring dengan pengenalan serban yang mulai khas dikenakan para ulama.
"Hal yang menjadi pemandangan umum saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan.
Pendapat itu, boleh benar, bisa juga salah. Sebab faktanya, masyarakat Arab sendiri tidak terlalu populer dengan benda yang juga disebut kopiah tersebut.
Pemersatu dan antikorupsi
Di masa awal kepemimpinan Republik Indonesia, peci menjelma sebagai penanda kuat dalam ruang-ruang diplomasi. Peci, kian populer menjadi ciri khas yang dikenakan para tokoh bangsa.
Cindy Adams dalam
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) mengisahkan, Soekarno memaknai peci sebagai simbol nasionalisme. Peci, berperan sebagai penyatu dari keragaman identitas yang ada di Indonesia, bahkan simbol perlawanan terhadap penjajah.
"Ciri khas saya... simbol nasionalisme kami," ucap Bung Besar, sebagaimana dikutip Adams.
Semangat itu, rupanya masih bertahan hingga hari ini. Termasuk, seperti yang dihayati oleh seorang Uu Ruzhanul Ulum, Bupati Tasikmalaya, Jawa Barat.
"Saya menekankan seluruh pelajar dan pegawai laki-laki di Pemerintahan Daerah (Pemda) memakai peci. Sebagai lambang kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Uu kepada
Metrotvnews.com, beberapa waktu lalu.
Baca: Belajar dari Bupati yang Santri
Bukan sekadar formalitas, Uu meyakini, peci semestinya turut berperan dalam mencegah perbuatan buruk pemakainya.
"Jika dihayati, pemakai peci seharusnya malu jika ada godaan berbuat jahat. Misalnya, korupsi. Jika masih memiliki hati nurani, ia tak akan tega mengotori benda yang dulunya dipakai para pendiri bangsa dan para kiai ini," kata Uu, sembari menunjuk penutup kepala yang dikenakannya.
Di balik peci
Pemahaman Uu tentang perlunya penanda kebangsaan melalui peci tak tumbuh begitu saja. Perjalanan hidupnya yang kental dengan tempaan agama memberikan pengalaman tersendiri.
Uu lahir dari keluarga besar pesantren. Kakeknya, Ajengan KH Choer Affandi merupakan ulama kharismatik pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya.
Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum dan para santrinya di komplek Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (9/12)/ANTARA/Adeng Bustomi
Dia menceritakan, ketika masih dalam gemblengan keluarganya, ia tak begitu sepakat dengan imbauan agar para santri membiasakan diri mengenakan peci, terutama yang berwarna hitam. Sebagai bentuk ketidaksetujuannya itu, Uu pun kerap mondar-mandir di lingkungan pesantren tanpa mengenakan penutup kepala itu.
"Hingga suatu saat, saya dikirim keluarga untuk mengaji di Pondok Pesantren Bantargedang, Tasikmalaya. Dari situlah pengalaman berharga itu dimulai," kata Uu.
Meski sudah berada di pesantren di luar asuhan keluarga besarnya, Uu tetap kekeh untuk mempertahankan prinsip penolakan terhadap kewajiban memakai peci. Menurutnya, perintah semacam itu tetap tidak relevan.
"Akhirnya saya pun disidang dan berdebat dengan pengurus. Saya bilang, peci itu bukan syariat. Tak ada satu pun dalil yang layak dijadikan alasan," kata dia.
Lantaran paham santri yang diinterogasinya juga merupakan anak ajengan, akhirnya pengurus pun lebih memilih mengalah. Tapi, justru dari babak itulah ia mulai berpikir lantas menemukan pentingnya makna berpeci.
"Saya akhirnya merenung, memang benar bukan amanat Islam, tapi penting untuk semangat kebangsaan," kata dia.
Setelahnya, Uu malah berbalik. Bahkan hingga kini hampir tak pernah melepas penutup kepalanya.
"Apalagi, ketika berhadapan dengan keberagamaan di Jawa Barat, peran peci kian penting," kata pria yang digadang-gadang calon kuat pendamping Ridwan Kamil di Pilkada 2018 ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)