medcom.id, Jakarta: Keterlibatan rumah sakit dalam kasus vaksin palsu diduga bagian dari kejahatan korporat. Oknum di rumah sakit dinilai tidak dapat bermain sendiri mengadakan vaksin palsu.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menduga, kejahatan vaksin palsu tidak dapat dikerjakan seorang diri. Sebab, masalah vaksin menyangkut pengadaan barang, biaya, dan anggaran.
"Tidak mungkin seorang oknum di rumah sakit bermain sendiri. Saya kira ini sudah kejahatan korporasi," tutur Tulus dalam program Prime Time News Metro TV, Kamis (14/7/2016).
Menurut Tulus, jika nanti terbukti rumah sakit ikut terlibat, sanksi tidak hanya berupa pencabutan izin usaha, namun bisa juga dilarikan ke pidana korporasi. Pasalnya, kasus pengadaan vaksin palsu merupakan kejahatan sistemik.
Terungkapnya 14 rumah sakit yang diduga menggunakan vaksin palsu, kata Tulus bisa menjadi pintu masuk pihak berwenang menelusuri lebih jauh. Bisa saja, jumlah rumah sakit yang terlibat lebih banyak dari yang diperkirakan.
Pemberian sanksi, lanjutnya, tidak boleh berhenti di teguran tertulis hingga pencabutan izin usaha. Jika rumah sakit terbukti terlibat, secara personal, pimpinan rumah sakit juga perlu diberikan sanksi. "Bisa dipidana, supaya menimbulkan efek jera," ucap dia.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto menyerahkan kasus vaksin palsu yang melibatkan rumah sakit agar diusut tuntas oleh polisi. "Kalau (kejahatan) korporasi, hukum saja, karena niatnya sudah tidak benar," ungkap dia.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IX siang tadi Menteri Kesehatan Nila Juwita F. Moeloek membeberkan 14 rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Selain rumah sakit ada enam bidan dan dua klinik yang juga menggunakan vaksin palsu.
Kasus vaksin palsu masih didalami penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Sejauh ini, Bareskrim telah menetapkan 20 tersangka.
Kabareskrim Komjen Pol Ari Dono mengatakan, jumlah tersangka masih dapat bertambah. Sebab, penyelidikan saat ini baru sekadar di wilayah DKI Jakarta.
"Kita akan dalami siapa yang bertanggung jawab dalam perbuatan ini, bisa bagian farmasinya, bisa bagian lainnya," ujar Ari.
medcom.id, Jakarta: Keterlibatan rumah sakit dalam kasus vaksin palsu diduga bagian dari kejahatan korporat. Oknum di rumah sakit dinilai tidak dapat bermain sendiri mengadakan vaksin palsu.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menduga, kejahatan vaksin palsu tidak dapat dikerjakan seorang diri. Sebab, masalah vaksin menyangkut pengadaan barang, biaya, dan anggaran.
"Tidak mungkin seorang oknum di rumah sakit bermain sendiri. Saya kira ini sudah kejahatan korporasi," tutur Tulus dalam program Prime Time News Metro TV, Kamis (14/7/2016).
Menurut Tulus, jika nanti terbukti rumah sakit ikut terlibat, sanksi tidak hanya berupa pencabutan izin usaha, namun bisa juga dilarikan ke pidana korporasi. Pasalnya, kasus pengadaan vaksin palsu merupakan kejahatan sistemik.
Terungkapnya 14 rumah sakit yang diduga menggunakan vaksin palsu, kata Tulus bisa menjadi pintu masuk pihak berwenang menelusuri lebih jauh. Bisa saja, jumlah rumah sakit yang terlibat lebih banyak dari yang diperkirakan.
Pemberian sanksi, lanjutnya, tidak boleh berhenti di teguran tertulis hingga pencabutan izin usaha. Jika rumah sakit terbukti terlibat, secara personal, pimpinan rumah sakit juga perlu diberikan sanksi. "Bisa dipidana, supaya menimbulkan efek jera," ucap dia.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto menyerahkan kasus vaksin palsu yang melibatkan rumah sakit agar diusut tuntas oleh polisi. "Kalau (kejahatan) korporasi, hukum saja, karena niatnya sudah tidak benar," ungkap dia.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IX siang tadi Menteri Kesehatan Nila Juwita F. Moeloek membeberkan 14 rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Selain rumah sakit ada enam bidan dan dua klinik yang juga menggunakan vaksin palsu.
Kasus vaksin palsu masih didalami penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Sejauh ini, Bareskrim telah menetapkan 20 tersangka.
Kabareskrim Komjen Pol Ari Dono mengatakan, jumlah tersangka masih dapat bertambah. Sebab, penyelidikan saat ini baru sekadar di wilayah DKI Jakarta.
"Kita akan dalami siapa yang bertanggung jawab dalam perbuatan ini, bisa bagian farmasinya, bisa bagian lainnya," ujar Ari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)