"Kalau dulu itu terjadinya lima tahunan, kemudian tiga tahunan, saat ini cenderung dua tahunan," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono dalam telekonferensi di Jakarta, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Daryono mengatakan pada 1950 sampai 1980, kekeringan dan la nina terjadi selama lima tahun sekali. Namun, sejak 1980 sampai saat ini fenomena alam itu terjadi dalam tiga sampai dua tahun sekali.
Daryono mengatakan fenomena itu jadi makin cepat sejak umat manusia mengembangkan industri. Pengembangan itu mempercepat bencana alam.
Pasalnya, hal tersebut membuat bumi makin panas. Kadar karbondioksida (CO2) terus meningkat dari tahun ke tahun akibat revolusi industri.
Baca: BMKG Prediksi Fenomena La Nina Terjadi Awal Tahun 2022
"Peningkatan konsentrasi CO2 di udara tentu diikuti dengan peningkatan temperatur udara. Sehingga ini lah yang menyebabkan pemanasan global," tutur Daryono.
Kejadian ini berlangsung di seluruh dunia. Pola percepatan kekeringan dan la nina ini tidak hanya terjadi di beberapa negara saja.
"Ini akan memicu kekeringan sehingga bencana kebakaran hutan akan terus terjadi, seperti yang terjadi di beberapa pulau di Indonesia," ucap Daryono.
Masyarakat dunia juga tidak bisa melakukan hal lain selain beradaptasi dengan percepatan kekeringan dan la nina itu. Adaptasi harus dibarengi dengan mitigasi yang kuat.
"Sehingga kita harus menghadapi ini sebagai sebuah kenyataan global iklim yang mana kita harus beradaptasi dan mitigasinya," ujar Daryono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id