Ilustrasi Komnas HAM/Media Indonesia.
Ilustrasi Komnas HAM/Media Indonesia.

TNI-Polri Diminta Pegang Prinsip Non Diskriminasi

Siti Yona Hukmana • 16 Februari 2021 00:24
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta TNI-Polri memegang prinsip non diskriminasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya di tengah masyarakat. Komitmen ini penting agar tak dianggap tebang pilih dalam memproses kasus.
 
"Sebagian ada faktanya (terkait adanya diskriminsi), tapi sebagaian lagi persepsi yang dibangun," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam rapat pimpinan (Rapim) TNI-Polri 2021 di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin, 15 Februari 2021.
 
Ahmad mengaku sering dipertanyakan soal praktik kriminalisasi ulama. Dia mempertanyakan hal itu ke Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj. Keduanya tidak ada yang mengiyakan soal kriminalisasi ulama itu.

"Jadi, ini yang mana?" ujar Ahmad.
 
Di sisi lain, Ahmad meminta TNI-Polri juga menguatkan komunikasi publik. Guna meyakinkan semua pihak tentang visi dan misi TNI-Polri, hingga visi bangsa Indonesia.
 
"Kadang-kadang satu kebijakan sudah bagus, tapi karena komunikasi publiknya belum bagus, ya salah dipersepsikan," kata Ahmad.
 
Ahmad mencontohkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri terkait penggunaan jilbab. Komnas HAM mengapresiasi SKB itu, namun dikritik Majelis Ulama Indonesia (MUI).
 
"Kadang-kadang tidak membaca dengan persis pasal-pasalnya. Padahal pasal yang ada di dalamnya itu intinya sebetulnya sejalan dengan prinsip HAM," ucap Ahmad.
 
Baca: 5 Sikap MUI Terhadap SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah
 
Prinsip HAM itu, yakni kebebasan beragama. Kemudian, praktik penggunaan atribut agama tertentu, seperti jilbab, tanda salib, dan lainnya. Ahmad menegaskan tidak boleh ada orang yang memaksakan kehendak setiap individu.
 
"Apalagi negara ikut-ikutan memaksakan. SKB itu pada dasarnya ingin menegaskan sikap bahwa kemerdekaan beribadah, kemerdekaan mempraktikkan ajaran-ajaran agamanya itu adalah kebebasan dari tiap-tiap individu," tegas Ahmad.
 
Ahmad mengatakan aturan SKB 3 Menteri itu hanya berlaku pada sekolah-sekolah negeri. Dia menekankan tidak ada persepsi bahwa dengan menerapkan aturan itu akan meninggalkan jilbab selamanya.
 
"Enggak ada SKB itu isinya. Tapi sekali lagi saya katakan, isu-isu seperti ini disalahmengertikan masyarakat. Karena itu kita perlu membangun komunikasi publik yang lebih mantap kepada semua elemen, sehingga masyarakat bisa paham," tutur Ahmad.
 
Menurut Ahmad, atas adanya SKB 3 menteri itu muncul narasi kontra di media sosial. Rezim ini dianggap anti agama Islam.
 
"Padahal presidennya orang Islam, wakil presidennya kiai. Enggak ada sebetulnya, tapi narasi-narasi seperti itu tetap dibangung sedemikian rupa," ucap Ahmad.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan