SORE itu, Kamis 21 Agustus 2019, Kami bertemu seorang pria bernama lengkap Pollycarpus Budihari Prijanto. Pria yang namanya selalu diperbincangkan jelang 'ulang tahun' pembunuhan aktivis Munir.
Kami berbincang santai dengan pria berkacamata ini setelah genap 15 tahun kasus kematian Munir. Saat kami temui, kondisi bahu kirinya sedang patah. Ia mengaku sudah 15 kali patah tulang dan sempat terbakar karena berbagai kejadian.
Aksi menuntut penuntasan kasus kematian Munir di depan Istana Merdeka memang sudah terlanjur menjadi tradisi tahunan. Keluarga almarhum dan para pejuang HAM terus mendesak pemerintah membongkar kasus Munir yang masih ganjil. Pengadilan memang telah menjatuhkan vonis 14 tahun terhadap Pollycarpus sebagai pelaku pembunuhan. Meski begitu, aksi tahunan itu tetap terus berlangsung lantaran pelaku utama belum terungkap.
Belakangan, nama Pollycarpus mendadak muncul di pemberitaan media massa. Namanya masuk pemberitaan tidak lagi terkait kasus Munir, namun pria kelahiran Surakarta ini dikabarkan tutup usia pada Sabtu, 17 Oktober 2020. Pollycarpus meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), karena terpapar virus korona tipe baru alias covid-19.
Dalam wawancara bersama Kami, Pollycarpus banyak berbincang tentang kehidupan di dalam penjara, hari-hari setelah bebas, stigma masyarakat, hingga impiannya membagun Papua. Pollycarpus amat antusias jika membahas soal Papua.
Berikut kutipan wawancara terakhir Pollycarpus bersama jurnalis Medcom.id, M Rodhi Aulia dan Wanda Indana:
Setelah 15 tahun, bagaimana rasanya menjadi orang yang divonis sebagai Pembunuh?
Rasanya asyik. Orang kan takut. Saya enggak takut. Kasus saya direkayasa. Tapi saya enggak nuduh pelakunya. Jadi biasa saja. Harusnya 15 tahun ini diberi penghargaan kepada perekayasa.
Anda tahu siapa yang merekayasa sehingga Anda terseret kasus ini?
Saya juga kontemplatif. Biar orang mikir. Saya tidak berhak menuduh. Tapi saya boleh dong mikir. Rekayasa hukumnya ini lho. Saya enggak ikut rekonstruksi. Jadi sudah inkrah, itu apa? Kok saya dihukum lagi. Munir mati lagi, dihukum lagi. Yang mati satu orang, tapi empat kali. Yakni, Satu racun masuk di mie goreng, kedua 8 jam racun masuk sebelum meninggal, 9 jam racun masuk sebelum meninggal dan yang terakhir racun masuk saat di Coffee Bean.
Tidak ada dendam?
Dendam sama siapa?
Pernah bertemu mereka yang diduga merekayasa?
Saya pernah ketemu. Saya ucapkan selamat. Selamat ya pak. Saya cari satu-satu. Saya salamin. Mereka heran, kaget. Kalau di raut wajahnya ada penyesalan. Saya tidak butuh pengakuan. Tapi dalam hati mereka tahu.
Jadi orang itu tidak usah dendam. Saya masih dibutuhkan orang. Jadi direktur di mana-mana. Sebentar lagi saya masukkan pesawat dari Rusia ke Papua.
Pernah Bertemu kerabat Almarhum Munir?
Kalau mau ketemu saya, boleh. Kapan saja. Lewat media juga boleh. Siapa yang mau menjembatani. (Jangan) cuma cuap-cuap di luar saja. Undanglah saya.
Setelah divonis bersalah, bagaimana hari-hari Anda menjalani masa hukuman di penjara?
Saya sudah mengalami dinamika hidup yang tidak sewajarnya sebagai manusia. Saya dari kecil di hutan, senang sebagai orang yang mencintai alam ini. Setelah saya jadi pilot dengan kehidupan yang mewah dan megah, dari satu negara ke negara lain, karena saya terbang internasional, tinggal di hotel mewah. Kasarnya begini, makan pagi di Singapura besok saya (maaf) ke toiletnya di Eropa. Itu waktu yang singkat. Setelah itu saya masuk penjara.
Saya kehilangan suatu kehidupan yang dulu saya nikmati. Kembali lagi tergantung pada mindset. Gimana kita mensyukuri. Saya dipenjara. Di dalam penjara saya pernah tidak melihat matahari selama 2 tahun 3 bulan di dalam kamar (ruang isolasi). Tapi saya manfaatkan. Di dalam ruang gelap, saya harus bisa melihat dengan tajam. Banyak energi yang bisa kita ambil. Dalam penjara saya berpikir saya harus jadi leader. Bisa membina orang di lingkungan saya. Residivis, teroris, pemerkosa, penjudi, narkotik dan lain-lain.
Saya tetap saya dan saya bukan mereka. Bahkan ketika di Lapas Cipinang, saya merintis sekolah hukum. Saya tidak selesai (merintisnya). Saya pindah ke Lapas Sukamiskin. Jadi SH (sarjana hukum) jebolan narapidana juga banyak.
Waktu itu visi-misinya membuat orang melek hukum. Melek hukum di dalam orang terpenjara karena pelanggaran hukum.
Saya pindah ke Sukamiskin. Di sana terpacu lagi gagasan-gagasan yang harus kita kembangkan. Ketika saya upacara, kiri-kanan saya lihat ada residivis, pemerkosa dan termasuk koruptor. Lalu saya bertanya apa yang bisa dilakukan. Ketika itu ada kepala suku. Sering terjadi keributan. Begitu ada keributan dipanggil kepala sukunya.
Saya pikir ini tidak baik. Kita bubarkan. Kita buat program selama tiga bulan nonstop ikut admisi orientasi. Kesamaptaan, baris-berbaris. Kalau fisiknya baik, semuanya baik.
Selain itu kita buat yang namanya pesantren, pembinaan akhlak dan lain-lain. Penyuluhan HIV, narkotik. Waktu di dalam, waktu 24 jam bagi saya kurang.
Jadi kita juga buat sekolah. Yang tidak punya ijazah SMA ada paket A, B, C. Setelah bebas, mereka punya ijazah. Kita doktrin mereka bahwa ijazah bukan untuk mencari kerja, tapi mengajari menciptakan lapangan kerja. Contohnya kita buat sabun mandi, minuman herbal. Kita ajarkan jangan kecil hati. Hidup itu sudah ada suratannya.
Total mendekam di penjara?
Saya total 10 tahun. Saya menjalani penjara dua fase. Fase pertama 14 tahun. 2 tahun bebas karena kasasi. Bebas satu tahun, dimasukkan lagi 20 tahun dengan kasus yang sama. Saya menjalani 8 tahun. Jadi total saya menjalani 10 tahun. Karena remisi saya cukup banyak. Tidak mengada-ngada seperti yang diberitakan mass media. Jadi saya melakukan aktivitas, yang membuat saya mendapatkan keringanan.
Bebas murni Agustus 2018. Apa yang Anda lakukan?
Jadi semua itu berkait-kaitan. Sebelum dipenjara, saya dapat job yang menarik. Seperti air mengalir. Sebenarnya saya tidak punya cita-cita jadi pilot. Di dalam penjara pun tamu saya banyak. Satu hari bisa sampai 15 orang. Ada yang sekadar besuk, bincang-bincang, konsultasi macam-macam.
Setelah keluar saya banyak sekali tawaran pekerjaan. Pertama, saya sebagai perwakilan Antonov 26 Rusia. Kembali lagi di Papua. Saya kerja di Gatari sebagai asisten direktur.
Kemudian perwakilan bisnis Korea-Indonesia di bidang perkapalan. Ada juga di bidang power plant. Juga program mendatangkan pesawat kecil yang rencananya untuk Papua. Jadi memang hidup saya, hati saya, jiwa saya, saya habiskan untuk Papua.
Sekarang saya diminta juga mengelola cargo air chater. Yang mudah-mudahan ini berjalan lancar. Sebentar lagi kita masukkan helikopter dari Rusia yang besar sekali untuk Papua lagi. Coba, kurang apa kita tidak memerhatikan Papua lagi. Biar orang di luar Papua mengenal Papua dan orang Papua mengenal daerah lain. Kita satu bangsa.
Anda sering menyebut Papua, ada cerita tentang Papua?
Saya dari kecil di Papua. Sekolahnya di Papua. dari 1968 pindah-pindah. SMP-SMA di Papua. Ketika itu banyak sekali di pedalaman. Setelah saya lulus SLA (setara SMA) saya ke Jakarta. Jadi beberapa pendidikan saya ikuti. Tapi untuk kuliah saya sempat di STTN Pasar Minggu. Tapi hanya satu semester.
Tapi saya cari yang lebih praktis untuk masa depan yang lebih terjamin. Akhirnya saya masuk IDP (Ikatan Dinas Pendek). Tapi saya tidak lanjutkan. Karena bersamaan dengan sekolah terbang di Solo. Waktu itu LPPU yang berubah menjadi PLP. Di situ menjelang tamat, harusnya saya di Garuda.
Jadi tugas kami di sana (Papua) juga sebagai pilot, mekanik, medis, pertanian, bangunan segala macam dan saya terbang single pilot. Yang lebih berkesan lagi ketika saya jalan kaki dari Wamena menuju Oksibil. Tiga setengah bulan. Jadi saya mau tanya ke adik dan teman-teman saya di sana. Pernahkah demikian. Jadi itu panggilan hati. Panggilan tugas. Kami tidak membeda-bedakan warna kulit, rambut, bahasa dan budaya. Semua itu saudara kita. Jadi kalau kita ingin melakukan tulus dan hati bersih, itu tidak pernah masalah.
Kondisi Papua sekarang?
Ketika tahun 70-an, masih sepi sekali. Kendaraan tidak seperti sekarang. Dulu kita kalau ada vespa kempes digantung. Tidak ada tambal ban. Dulu masih sangat sederhana. Tapi lambat laun pembangunan cukup baik. Yang paling cepat pembangunan, ya sepuluh tahun terakhir. Ini yang betul-betul saya kagum.
Pandangan Anda tentang Papua yang sempat bergejolak kemarin?
Sebenarnya semua tergantung mindset. Kami juga sangat terkaget dengan kejadian kemarin. Bahwa sebenarnya saudara kita anak-anak Papua itu, tidak ada sifat pemarah. Mereka badannya besar tapi hatinya lembut. Itu yang saya tahu.
Menurut Anda, sebagai orang yang besar dan tumbuh di Papua, bagaimana pandangan orang-orang asli Papua tentang NKRI?
Sebenarnya mereka cinta NKRI. Cuma hanya kasus-kasus insidentil. Bahwa mungkin kurikulum pendidkan tidak seperti dulu. Jadi kebebasan demokrasi yang kebablasan. Jadi tidak ada pendalaman mental ideologi kebangsaan.
Menurut Anda, sejauh mana perhatian pemerintah untuk Papua?
Pemerintah cukup memerhatikan. Artinya dari dulu yang kondisinya sekolah-sekolah yang fasilitasnya sangat sederhana, sekarang sudah luar biasa. Sudah tidak ada perbedaan. Justru kita lihat adik-adik kita dari Papua dapat prioritas. Misalnya beasiswa. Adik-adik kita yang sekolah di Jawa dan luar negeri, itu luar biasa mendapat perhatian dari pemerintah.
Coba dibandingkan dengan saudara kita di luar Papua, Jawa dan pelosoknya. Banyak sekali yang mengalami kesulitan sekolah. Tapi mereka punya mental petarung mencari masa depan yang baik. Coba lihat mama yang jual bumbu di Pasar Senen. Tapi anak-anaknya S2, S3, profesional semua. Mari kita bangkit. Jangan merasa dibedakan. Semua kita satu bangsa. Keliru kalau mengatakan ada diskriminasi, diintimidasi, dan lain-lain. Sebenarnya tidak juga.
Kabarnya bapak ingin mendidik anak-anak Papua sebagai pilot dan ingin membangun sekolah penerbangan di sana?
Itu impian saya sejak dalam penjara. Prinsip saya, di penjara hanya fisik saja tapi pikiran saya tetap bebas. Saya ingin kembali lagi membangun papua sesuai profesi saya. Saya ingin sekali membangun papua aviation training center. Di dalamnya ada pendidkan pilot, teknik dan seterusnya, termasuk aviation security. Latar belakangnya adalah Papua ini memiliki hampir 280 air-strip. Yaitu landasan yang bisa didarati pesawat. Kemudian ada 600-800 helipad. Yang mungkin sekarang ini belum dibuka. Saya punya data. Papua aviation ini kami ingin mendidik adik-adik kita di Papua karena trasnportasi udara masih menjadi andalan dan vital.
Memang pembangunan luar biasa, jalan raya sudah diaspal. Tapi daerah terpencil, di puncak-puncak gunung sana, perlu transportasi udara. Kita didik adik-adik kita jadi airliner dan bus pilot--orang yang mahir terbang di hutan, jungle flight. Itu kurikulum dari awal. Kita training di sekitar itu. Setelah lulus, job mereka di situ. Mereka sudah hafal daerah dan punya nilai plus.
SORE itu, Kamis 21 Agustus 2019, Kami bertemu seorang pria bernama lengkap Pollycarpus Budihari Prijanto. Pria yang namanya selalu diperbincangkan jelang 'ulang tahun' pembunuhan aktivis Munir.
Kami berbincang santai dengan pria berkacamata ini setelah genap 15 tahun kasus kematian Munir. Saat kami temui, kondisi bahu kirinya sedang patah. Ia mengaku sudah 15 kali patah tulang dan sempat terbakar karena berbagai kejadian.
Aksi menuntut penuntasan kasus kematian Munir di depan Istana Merdeka memang sudah terlanjur menjadi tradisi tahunan. Keluarga almarhum dan para pejuang HAM terus mendesak pemerintah membongkar kasus Munir yang masih ganjil. Pengadilan memang telah menjatuhkan vonis 14 tahun terhadap Pollycarpus sebagai pelaku pembunuhan. Meski begitu, aksi tahunan itu tetap terus berlangsung lantaran pelaku utama belum terungkap.
Belakangan, nama Pollycarpus mendadak muncul di pemberitaan media massa. Namanya masuk pemberitaan tidak lagi terkait kasus Munir, namun pria kelahiran Surakarta ini dikabarkan tutup usia pada Sabtu, 17 Oktober 2020. Pollycarpus meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), karena terpapar virus korona tipe baru alias covid-19.
Dalam wawancara bersama Kami, Pollycarpus banyak berbincang tentang kehidupan di dalam penjara, hari-hari setelah bebas, stigma masyarakat, hingga impiannya membagun Papua. Pollycarpus amat antusias jika membahas soal Papua.
Berikut kutipan wawancara terakhir Pollycarpus bersama jurnalis Medcom.id, M Rodhi Aulia dan Wanda Indana:
Setelah 15 tahun, bagaimana rasanya menjadi orang yang divonis sebagai Pembunuh?
Rasanya asyik. Orang kan takut. Saya enggak takut. Kasus saya direkayasa. Tapi saya enggak nuduh pelakunya. Jadi biasa saja. Harusnya 15 tahun ini diberi penghargaan kepada perekayasa.
Anda tahu siapa yang merekayasa sehingga Anda terseret kasus ini?
Saya juga kontemplatif. Biar orang mikir. Saya tidak berhak menuduh. Tapi saya boleh dong mikir. Rekayasa hukumnya ini
lho. Saya enggak ikut rekonstruksi. Jadi sudah inkrah, itu apa? Kok saya dihukum lagi. Munir mati lagi, dihukum lagi. Yang mati satu orang, tapi empat kali. Yakni, Satu racun masuk di mie goreng, kedua 8 jam racun masuk sebelum meninggal, 9 jam racun masuk sebelum meninggal dan yang terakhir racun masuk saat di
Coffee Bean.
Tidak ada dendam?
Dendam sama siapa?
Pernah bertemu mereka yang diduga merekayasa?
Saya pernah ketemu. Saya ucapkan selamat. Selamat ya pak. Saya cari satu-satu. Saya salamin. Mereka heran, kaget. Kalau di raut wajahnya ada penyesalan. Saya tidak butuh pengakuan. Tapi dalam hati mereka tahu.
Jadi orang itu tidak usah dendam. Saya masih dibutuhkan orang. Jadi direktur di mana-mana. Sebentar lagi saya masukkan pesawat dari Rusia ke Papua.
Pernah Bertemu kerabat Almarhum Munir?
Kalau mau ketemu saya, boleh. Kapan saja. Lewat media juga boleh. Siapa yang mau menjembatani. (Jangan) cuma cuap-cuap di luar saja. Undanglah saya.
Setelah divonis bersalah, bagaimana hari-hari Anda menjalani masa hukuman di penjara?
Saya sudah mengalami dinamika hidup yang tidak sewajarnya sebagai manusia. Saya dari kecil di hutan, senang sebagai orang yang mencintai alam ini. Setelah saya jadi pilot dengan kehidupan yang mewah dan megah, dari satu negara ke negara lain, karena saya terbang internasional, tinggal di hotel mewah. Kasarnya begini, makan pagi di Singapura besok saya (maaf) ke toiletnya di Eropa. Itu waktu yang singkat. Setelah itu saya masuk penjara.
Saya kehilangan suatu kehidupan yang dulu saya nikmati. Kembali lagi tergantung pada mindset. Gimana kita mensyukuri. Saya dipenjara. Di dalam penjara saya pernah tidak melihat matahari selama 2 tahun 3 bulan di dalam kamar (ruang isolasi). Tapi saya manfaatkan. Di dalam ruang gelap, saya harus bisa melihat dengan tajam. Banyak energi yang bisa kita ambil. Dalam penjara saya berpikir saya harus jadi leader. Bisa membina orang di lingkungan saya. Residivis, teroris, pemerkosa, penjudi, narkotik dan lain-lain.
Saya tetap saya dan saya bukan mereka. Bahkan ketika di Lapas Cipinang, saya merintis sekolah hukum. Saya tidak selesai (merintisnya). Saya pindah ke Lapas Sukamiskin. Jadi SH (sarjana hukum) jebolan narapidana juga banyak.
Waktu itu visi-misinya membuat orang melek hukum. Melek hukum di dalam orang terpenjara karena pelanggaran hukum.
Saya pindah ke Sukamiskin. Di sana terpacu lagi gagasan-gagasan yang harus kita kembangkan. Ketika saya upacara, kiri-kanan saya lihat ada residivis, pemerkosa dan termasuk koruptor. Lalu saya bertanya apa yang bisa dilakukan. Ketika itu ada kepala suku. Sering terjadi keributan. Begitu ada keributan dipanggil kepala sukunya.
Saya pikir ini tidak baik. Kita bubarkan. Kita buat program selama tiga bulan nonstop ikut admisi orientasi. Kesamaptaan, baris-berbaris. Kalau fisiknya baik, semuanya baik.
Selain itu kita buat yang namanya pesantren, pembinaan akhlak dan lain-lain. Penyuluhan HIV, narkotik. Waktu di dalam, waktu 24 jam bagi saya kurang.
Jadi kita juga buat sekolah. Yang tidak punya ijazah SMA ada paket A, B, C. Setelah bebas, mereka punya ijazah. Kita doktrin mereka bahwa ijazah bukan untuk mencari kerja, tapi mengajari menciptakan lapangan kerja. Contohnya kita buat sabun mandi, minuman herbal. Kita ajarkan jangan kecil hati. Hidup itu sudah ada suratannya.
Total mendekam di penjara?
Saya total 10 tahun. Saya menjalani penjara dua fase. Fase pertama 14 tahun. 2 tahun bebas karena kasasi. Bebas satu tahun, dimasukkan lagi 20 tahun dengan kasus yang sama. Saya menjalani 8 tahun. Jadi total saya menjalani 10 tahun. Karena remisi saya cukup banyak. Tidak mengada-ngada seperti yang diberitakan mass media. Jadi saya melakukan aktivitas, yang membuat saya mendapatkan keringanan.
Bebas murni Agustus 2018. Apa yang Anda lakukan?
Jadi semua itu berkait-kaitan. Sebelum dipenjara, saya dapat job yang menarik. Seperti air mengalir. Sebenarnya saya tidak punya cita-cita jadi pilot. Di dalam penjara pun tamu saya banyak. Satu hari bisa sampai 15 orang. Ada yang sekadar besuk, bincang-bincang, konsultasi macam-macam.
Setelah keluar saya banyak sekali tawaran pekerjaan. Pertama, saya sebagai perwakilan Antonov 26 Rusia. Kembali lagi di Papua. Saya kerja di Gatari sebagai asisten direktur.
Kemudian perwakilan bisnis Korea-Indonesia di bidang perkapalan. Ada juga di bidang power plant. Juga program mendatangkan pesawat kecil yang rencananya untuk Papua. Jadi memang hidup saya, hati saya, jiwa saya, saya habiskan untuk Papua.
Sekarang saya diminta juga mengelola cargo air chater. Yang mudah-mudahan ini berjalan lancar. Sebentar lagi kita masukkan helikopter dari Rusia yang besar sekali untuk Papua lagi. Coba, kurang apa kita tidak memerhatikan Papua lagi. Biar orang di luar Papua mengenal Papua dan orang Papua mengenal daerah lain. Kita satu bangsa.
Anda sering menyebut Papua, ada cerita tentang Papua?
Saya dari kecil di Papua. Sekolahnya di Papua. dari 1968 pindah-pindah. SMP-SMA di Papua. Ketika itu banyak sekali di pedalaman. Setelah saya lulus SLA (setara SMA) saya ke Jakarta. Jadi beberapa pendidikan saya ikuti. Tapi untuk kuliah saya sempat di STTN Pasar Minggu. Tapi hanya satu semester.
Tapi saya cari yang lebih praktis untuk masa depan yang lebih terjamin. Akhirnya saya masuk IDP (Ikatan Dinas Pendek). Tapi saya tidak lanjutkan. Karena bersamaan dengan sekolah terbang di Solo. Waktu itu LPPU yang berubah menjadi PLP. Di situ menjelang tamat, harusnya saya di Garuda.
Jadi tugas kami di sana (Papua) juga sebagai pilot, mekanik, medis, pertanian, bangunan segala macam dan saya terbang single pilot. Yang lebih berkesan lagi ketika saya jalan kaki dari Wamena menuju Oksibil. Tiga setengah bulan. Jadi saya mau tanya ke adik dan teman-teman saya di sana. Pernahkah demikian. Jadi itu panggilan hati. Panggilan tugas. Kami tidak membeda-bedakan warna kulit, rambut, bahasa dan budaya. Semua itu saudara kita. Jadi kalau kita ingin melakukan tulus dan hati bersih, itu tidak pernah masalah.
Kondisi Papua sekarang?
Ketika tahun 70-an, masih sepi sekali. Kendaraan tidak seperti sekarang. Dulu kita kalau ada vespa kempes digantung. Tidak ada tambal ban. Dulu masih sangat sederhana. Tapi lambat laun pembangunan cukup baik. Yang paling cepat pembangunan, ya sepuluh tahun terakhir. Ini yang betul-betul saya kagum.
Pandangan Anda tentang Papua yang sempat bergejolak kemarin?
Sebenarnya semua tergantung
mindset. Kami juga sangat terkaget dengan kejadian kemarin. Bahwa sebenarnya saudara kita anak-anak Papua itu, tidak ada sifat pemarah. Mereka badannya besar tapi hatinya lembut. Itu yang saya tahu.
Menurut Anda, sebagai orang yang besar dan tumbuh di Papua, bagaimana pandangan orang-orang asli Papua tentang NKRI?
Sebenarnya mereka cinta NKRI. Cuma hanya kasus-kasus insidentil. Bahwa mungkin kurikulum pendidkan tidak seperti dulu. Jadi kebebasan demokrasi yang kebablasan. Jadi tidak ada pendalaman mental ideologi kebangsaan.
Menurut Anda, sejauh mana perhatian pemerintah untuk Papua?
Pemerintah cukup memerhatikan. Artinya dari dulu yang kondisinya sekolah-sekolah yang fasilitasnya sangat sederhana, sekarang sudah luar biasa. Sudah tidak ada perbedaan. Justru kita lihat adik-adik kita dari Papua dapat prioritas. Misalnya beasiswa. Adik-adik kita yang sekolah di Jawa dan luar negeri, itu luar biasa mendapat perhatian dari pemerintah.
Coba dibandingkan dengan saudara kita di luar Papua, Jawa dan pelosoknya. Banyak sekali yang mengalami kesulitan sekolah. Tapi mereka punya mental petarung mencari masa depan yang baik. Coba lihat mama yang jual bumbu di Pasar Senen. Tapi anak-anaknya S2, S3, profesional semua. Mari kita bangkit. Jangan merasa dibedakan. Semua kita satu bangsa. Keliru kalau mengatakan ada diskriminasi, diintimidasi, dan lain-lain. Sebenarnya tidak juga.
Kabarnya bapak ingin mendidik anak-anak Papua sebagai pilot dan ingin membangun sekolah penerbangan di sana?
Itu impian saya sejak dalam penjara. Prinsip saya, di penjara hanya fisik saja tapi pikiran saya tetap bebas. Saya ingin kembali lagi membangun papua sesuai profesi saya. Saya ingin sekali membangun papua aviation training center. Di dalamnya ada pendidkan pilot, teknik dan seterusnya, termasuk
aviation security. Latar belakangnya adalah Papua ini memiliki hampir 280
air-strip. Yaitu landasan yang bisa didarati pesawat. Kemudian ada 600-800 helipad. Yang mungkin sekarang ini belum dibuka. Saya punya data. Papua
aviation ini kami ingin mendidik adik-adik kita di Papua karena trasnportasi udara masih menjadi andalan dan vital.
Memang pembangunan luar biasa, jalan raya sudah diaspal. Tapi daerah terpencil, di puncak-puncak gunung sana, perlu transportasi udara. Kita didik adik-adik kita jadi airliner dan bus pilot--orang yang mahir terbang di hutan,
jungle flight. Itu kurikulum dari awal. Kita training di sekitar itu. Setelah lulus,
job mereka di situ. Mereka sudah hafal daerah dan punya nilai plus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WAN)