Petugas polisi berjaga-jaga agar warga tidak mendekat ke lokasi ledakan di pos polisi perempatan jalan di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1/2016). Foto: MI/Atet Dwi Pramadia
Petugas polisi berjaga-jaga agar warga tidak mendekat ke lokasi ledakan di pos polisi perempatan jalan di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1/2016). Foto: MI/Atet Dwi Pramadia

Kerumunan Massa di Tengah Ledakan, Tidak Takut atau Tidak Dewasa?

Dheri Agriesta • 15 Januari 2016 15:25
medcom.id, Jakarta: Teror mengguncang Jakarta, 14 Januari 2016. Tercatat tujuh orang tewas, lima di antaranya adalah orang-orang yang diduga pelaku. Sementara 14 orang terluka. 
 
Lima ledakan terdengar di kawasan sekitaran Gedung Sarinah di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Bukan cuma ledakan, tapi juga rentetan tembakan. Ya, para teroris itu menggenggam senjata. Bahkan sempat menembakannya secara acak ke tengah warga yang berkerumun.  
 
Salah satu ledakan terjadi di pos polisi di depan pusat perbelanjaan Sarinah. Sesaat setelah ledakan itu, massa tampak panik, berlarian. Namun tak lama berselang, warga justru berkumpul di depan pos polisi tersebut. Ingin melihat dari dekat tiga orang yang terkapar berlumuran darah.

Dari foto yang beredar di media massa, saat massa berkumpul di depan pos polisi, dua pelaku mengacungkan senjata dan menembakannya ke kerumunan massa. Seorang warga ambruk. Tewas dengan luka tembak di kepala. 
 
Kenekatan pelaku melepaskan tembakan, membuat massa bubar. Mereka berlarian mencari tempat aman.
 
Para pelaku kemudian baku tembak dengan polisi. Saat tembak-menembak itu terjadi, para pedagang justru dengan santainya menjajakan dagangannya. Bahkan penarik ojek enggan membawa penumpang. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi.
 
Saat polisi membuka jalan dan melepas batas steril, massa kembali berkerumun di lokasi ledakan dan baku tembak. Bahkan beberapa di antaranya berselfie.     
 
Sikap massa yang berkerumun setelah ledakan dianggap berbahaya. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama lewat akun Twitter pribadinya, meminta publik untuk tak berkerumun di lokasi kejadian ledakan dan tembakan. Itu, kata Ahok, begitu dia kerap disapa, mengganggu kerja polisi dan membuat lalu lintas jadi tersendat.
 
Lalu mengapa masyarakat begitu berani untuk mendekat ke arah titik sumber ledakan?
 
Sosiolog Universitas Kristen Indonesia Raphy Uli Tobing menilai masyarakat Indonesia cenderung impulsif, bergerak secara tiba-tiba menurut keinginannya sendiri. Secara psikososial Uli menilai masyarakat yang berbondong dan menyaksikan sebuah kejadian itu belum dewasa.
 
"Cenderung memuaskan keingintahuannya tanpa memikirkan dulu konsekuensi seperti bahaya atau hambatan yang mungkin timbul karena perilakunya," kata Uli melalui pesan singkat kepada Metrotvnews.com, Jumat (15/1/2016).
 
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Thamrin Tomaloga mengatakan, berkerumun untuk melihat sumber keramaian lazim terjadi di Indonesia.
 
Tamrin menolak menilai sikap massa itu salah atau benar. Namun menurutya, tindakan itu menyulitkan petugas yang sedang melakukan operasi di lapangan.
 
"Kalau mau dinilai salah benar, harus dinilai dari indikator tertentu seperti kelancaran operasi aparat, itu salah itu," kata dia.
 
Yang jelas, kata Tamrin, kerumunan massa itu mengesankan mereka tak berpikir panjang, padahal bisa saja membahayakan. Hal itu berbeda dengan masyarakat di beberapa negara, khususnya negara barat, yang cenderung tak langsung bereaksi untuk mendekat ke sumber bahaya. 
 
"Jadi lebih kecenderungan dari menyelesaikan masalah. Mereka aktif, orang barat itu warga negara yang aktif. Kita kan bukan, kita belum sampai ke warga negara yang aktif, kita itu kerumumanan yang bergerak, lebih ikut arus," jelas Tamrin.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan