medcom.id, Jakarta: Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengaku kecewa dengan implementasi revisi Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2016. Pasalnya, aturan yang diubah menjadi Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 itu dianggap melanggar janji.
"Yang menjadi persoalan di daerah. Karena pada saat uji publik Kementerian Perhubungan janji 1 April berlaku dan jalan, tapi kan tidak dan ada beberapa perubahan isinya. Buat saya ini mengecewakan," ujar Agus, dalam Newsline, Kamis 6 April 2017.
Agus pun menilai ada salah persepsi antara revisi PM 32/2016 menjadi PM 26/2017. Sebab yang selama ini gaduh tidak hanya taksi online dengan taksi resmi, tapi juga antara angkutan kota (angkot) dan ojek online.
Menurut Agus, fokus pemerintah selama ini hanya pada taksi online, sedangkan ojek online masih dibiarkan. Padahal, dalam UU nomor 22 tahun 2009, kendaraan roda dua bukan merupakan angkutan umum yang diizinkan untuk menarik penumpang.
"Ojek itu di UU nomor 22 tahun 2009 bukan angkutan umum. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan PM 32/2016 dan revisinya yang menjadi PM 26/2017," kata Agus.
Selain soal aturan kendaraan, persoalan lain yang tak sesuai dengan rencana pelaksanaan revisi PM 32/2016 adalah tarif yang dinilai belum menyesuaikan. Jika dibandingkan dengan taksi resmi, tarif taksi online justru lebih tinggi.
Menurut Agus, persoalan inilah yang dikhawatirkan akan menggusur usaha taksi resmi dan memunculkan predator tarif.
"Menurut saya, masyarakat harus bedakan antara layanan dan kebijakannya. Sekarang kita murah karena disubsidi, siapa yang mensubsidi? Yang punya uang, fancy capital, untuk membuat predator price. Ketika taksi habis, tinggal dia atur (tarif) sendiri. Masyarakat tidak bisa menolak karena sudah tidak ada taksi biasa," jelas Agus.
Sementara itu, Direktur Angkutan dan Multimoda Kementerian Perhubungan Cucu Mulyana menjelaskan bahwa ada beberapa aturan memang memerlukan waktu untuk menyesuaikan dengan PM 26/2017.
"Ada beberapa materi yang dalam pelaksanannya menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga dalam materi tertentu, pemerintah memberlakukan masa transsisi 3 bulan. Termasuk terkait tarif yang kemungkinan terhitung efektif per 1 juli," jelas Cucu.
medcom.id, Jakarta: Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengaku kecewa dengan implementasi revisi Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2016. Pasalnya, aturan yang diubah menjadi Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 itu dianggap melanggar janji.
"Yang menjadi persoalan di daerah. Karena pada saat uji publik Kementerian Perhubungan janji 1 April berlaku dan jalan, tapi kan tidak dan ada beberapa perubahan isinya. Buat saya ini mengecewakan," ujar Agus, dalam
Newsline, Kamis 6 April 2017.
Agus pun menilai ada salah persepsi antara revisi PM 32/2016 menjadi PM 26/2017. Sebab yang selama ini gaduh tidak hanya taksi
online dengan taksi resmi, tapi juga antara angkutan kota (angkot) dan ojek
online.
Menurut Agus, fokus pemerintah selama ini hanya pada taksi
online, sedangkan ojek
online masih dibiarkan. Padahal, dalam UU nomor 22 tahun 2009, kendaraan roda dua bukan merupakan angkutan umum yang diizinkan untuk menarik penumpang.
"Ojek itu di UU nomor 22 tahun 2009 bukan angkutan umum. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan PM 32/2016 dan revisinya yang menjadi PM 26/2017," kata Agus.
Selain soal aturan kendaraan, persoalan lain yang tak sesuai dengan rencana pelaksanaan revisi PM 32/2016 adalah tarif yang dinilai belum menyesuaikan. Jika dibandingkan dengan taksi resmi, tarif taksi
online justru lebih tinggi.
Menurut Agus, persoalan inilah yang dikhawatirkan akan menggusur usaha taksi resmi dan memunculkan predator tarif.
"Menurut saya, masyarakat harus bedakan antara layanan dan kebijakannya. Sekarang kita murah karena disubsidi, siapa yang mensubsidi? Yang punya uang,
fancy capital, untuk membuat
predator price. Ketika taksi habis, tinggal dia atur (tarif) sendiri. Masyarakat tidak bisa menolak karena sudah tidak ada taksi biasa," jelas Agus.
Sementara itu, Direktur Angkutan dan Multimoda Kementerian Perhubungan Cucu Mulyana menjelaskan bahwa ada beberapa aturan memang memerlukan waktu untuk menyesuaikan dengan PM 26/2017.
"Ada beberapa materi yang dalam pelaksanannya menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga dalam materi tertentu, pemerintah memberlakukan masa transsisi 3 bulan. Termasuk terkait tarif yang kemungkinan terhitung efektif per 1 juli," jelas Cucu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)