medcom.id, Jakarta: Dua kali Partai Amanat Nasional (PAN) dihujani pertanyaan soal kesetiaan. Lantaran publik tahu, ia telah menyatakan diri masuk dalam barisan koalisi pendukung pemerintah, sejak dua tahun lalu.
Kali pertama partai politik (parpol) berlambang surya ini 'membangkang' adalah ketika parlemen mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi UU. PAN, lebih memilih walkout di saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memenangkan usulan yang diajukan pemerintah, yakni besaran 20% sebagai ambang batas pencalonan presiden.
Kemarin, ternyata PAN menempuh langkah serupa. Parpol yang dipimpin Zulkifli Hasan ini terang-terangan menolak pengesahan UU yang sebelumnya hanya berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Padahal, parpol koalisi lainnya tetap setia bersama pemerintah. Menganggap kelahiran aturan itu sebagai sesuatu yang penting, demi menjaga Pancasila dan keutuhan Indonesia.
PAN, tampak gamang. Di kabinet menitipkan menteri, tapi soal dukung-mendukung kebijakan; etika dan komitmen seakan gampang ditanggalkan.
Baca: [Fokus] Setengah Hati Berkoalisi
Citra miring
Sikap tak tentu PAN dalam koalisi ini, bukan tanpa dampak. Bolehlah bila Presiden Joko Widodo lagi-lagi legawa dan menganggapnya tak masalah. Namun di sisi lain, sikap itu berpeluang menyumbang citra parpol yang kian miring di mata masyarakat.
Pakar pemasaran politik Firmanzah dalam Mengelola Partai politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi (2008) menjelaskan, selama ini sudah ada kesan bahwa pembentukan koalisi di Indonesia tidak berpola. Terlebih, ketika koalisi lebih didorong tujuan jangka pendek, alias semata-mata jabatan dan kekuasaan.
"Artinya, ketika kepentingan dan tujuan politik sudah tidak sama, koalisi tersebut biasanya pecah. Lalu, masing-masing pihak bisa berkoalisi dengan pihak lain yang dirasa dapat membantu dalam mencapai tujuan politiknya," tulis Firmanzah.
Hari ini, hal itu seakan tengah dipertontonkan PAN. Dalam barisan koalisi, ia berani memasang dua kaki. Sesekali menjelma oposisi, kemudian merapat kembali.
Untungnya, PAN cuma sendiri. Saat ini, PDI P, PKB, Golkar, Nasdem, PPP dan Hanura masih seiring seirama dengan pandangan pemerintah.
Pengalaman seperti ini, sebenarnya tidak hanya terjadi dalam kabinet pimpinan Jokowi. Di periode-periode sebelumnya, minusnya etika politik dalam koalisi juga pernah terjadi.
Peneliti senior bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, dalam Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014) menulis, koalisi tidak efektif malah cukup tampak di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekalipun, parpol pendukung pemerintah saat itu membentuk sekretariat gabungan di bawah komando Partai Demokrat.
"Selain kepemimpinan yang terlalu hati-hati, akomodatif, kompromisitis, dan bernyali kecil menghadapi parpol di Senayan, format koalisi yang cenderung semu dan berorientasi jangka pendek menjadi faktor penting di balik tidak efektifnya koalisi," tulis Syamsuddin.
Realitas politik semacam ini, meniscayakan urgensi penataan model koalisi yang benar-benar dilandaskan kesamaan visi dan haluan politik. Dalam arti, parpol anggota koalisi sejatinya harus lebih arif memilih satu dari dua pilihan; setia atau menyatakan keluar dari barisan karena merasa tak lagi memiliki kesamaan.
Dari hasil voting terbuka, sebanyak 314 anggota dari tujuh fraksi menyatakan setuju, serta sebanyak 131 anggota dari tiga fraksi menyatakan tidak setuju. Anggota yang hadir seluruhnya sebanyak 445 anggota/ANTARA/Wahyu Putro A
Menjaga muruah parpol
Merosotnya pamor parpol di tengah masyarakat, semestinya turut menjadi catatan PAN. Banyak parpol, kini sedang sekuat tenaga menghapus kesan melulu berorientasi uang dan kekuasaan.
PAN mesti ingat, rontoknya kepercayaan itu disebabkan hadirnya parpol yang terkesan tidak mampu menjaga wibawanya. Ditambah, anggapan makin kurangnya sumbangsih parpol secara langsung bagi masyarakat.
Syamsuddin menyebut, momentum terpenting guna mengingat kembali kontribusi parpol bagi masyarakat dan negara itu, sebenarnya bisa diukur dari era pascakemerdekaan hingga reformasi.
Secara konvensional, Syamsuddin membaginya ke dalam tiga periode, yakni rezim Demokrasi Parlementer (1949-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru (1966-1998).
"Demokrasi Parlementer adalah periode awal eksperimen demokrasi dengan tingkat dinamika kehidupan parpol yang tinggi, bahkan dikenal sebagai era pemerintahan partai-partai," tulis dia, masih dalam buku yang sama.
Saat itu, parpol menjadi aktor utama. Hanya saja, dalam rentang tujuh tahun, koalisi yang terbentuk malah terkesan rapuh dan kabinet yang terbangun gampang runtuh.
Indonesianis sekaligus profesor ilmu politik asal Australia Herbert Feith, dalam The Decline of Contitutional Democracy in Indonesia (1962) mencatat, selama kurang lebih tujuh tahun periode Demokrasi Parlementer, ada enam kabinet yang terbentuk lalu bubar sejak berlakunya UUDS 1950 hingga jatuhnya Kabinet Ali Sostromidjojo II.
Yakni, Kabinet Mohammad Natsir (1950-1951) hasil koalisi Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan sejumlah parpol kecil. Kabinet Sukiman (1951-1952) hasil koalisi Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kabinet Wilopo (1952-1953) koalisi PNI, Masyumi dan parpol kecil lainnya. Kabinet Ali Sosotromidjojo I (1953-1955), hasil koalisi PNI dan beberapa parpol nasionalis lain. Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956) koalisi Masyumi dan parpol kecil, tanpa PNI. Dan terakhir, Kabinet Ali II (1956-1957) koalisi PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) dan parpol kecil.
Feith menjelaskan, perubahan kabinet yang terjadi nyaris tiap tahun itu terjadi sebab satu hal; adanya penolakan dukungan anggota parlemen terhadap kebijakan pemerintah.
"Mosi tidak percaya terhadap kabinet biasanya diikuti dengan penarikan menteri dari parpol bersangkutan, sehingga kabinet akhirnya mengembalikan mandatnya ke Presiden," tulis Feith.
Konsolidasi demokrasi
Pelajaran penting lainnya menarik dipetik. Ilmuwan politik Australia Marcus Mietzner mencatat ada perbedaan cara kerja antara demokrasi di era 1950-an dan demokrasi era pasca-1998.
Pada era pertama, parpol memiliki akar di masyarakat dan disatukan melalui ikatan ideologis yang kuat. Namun pasca-1998, ideologi sudah bukan lagi satu-satunya faktor pengikat konstituen dalam memilih. Justru, mayoritas masyarakat menganggap dirinya tidak memiliki afiliasi kuat dengan partai politik.
Survei The Asia Foundation (2003) mempertegas hal itu. Tercatat, sekitar 70% masyarakat menyatakan tidak memiliki afiliasi atau ikatan dengan partai politik tertentu. Artinya, partai-partai politik memiliki akar yang rapuh di masyarakat.
Kembali menurut Mietzner, di era 1950-an meskipun parpol memiliki akar kuat di masyarakat, tapi sebaliknya, sistem kepartaian malah terbilang rapuh. Masing-masing parpol dengan dasar ideologinya mengejar tujuan untuk meraup dukungan masyarakat sebesar-besarnya. Akibatnya, terjadi arus sentrifugalisme yang kuat dalam demokrasi.
Sistem kepartaian merapuh, kerjasama antarpartai sangat labil, dan jatuhnya; kabinet mudah berganti.
Setelah 1998, kata Meitzner, terjadi situasi berkebalikan. Partai-partai tidak mengakar di masyarakat, untungnya, sistem kepartaian cenderung bekerja dengan baik. Hal itu terjadi karena kebanyakan parpol telah mengesampingkan dorongan ideologisnya dalam meraup dukungan masyarakat.
Sebagai gantinya, parpol berkoalisi tanpa dibebani garis ideologi dan tenggelam dalam politik transaksional demi mengejar kepentingan kekuasaan jangka pendek semata.
Ruang demokrasi dengan basis parpol yang rapuh di masyarakat bisa membawa konsekuensi tertentu. Partai bisa bekerja berlawanan dengan kebutuhan memperkuat demokrasi.
Dengan rendahnya afiliasi warga masyarakat ke partai politik, ditambah maraknya politik transaksional, partai bisa bergerak dengan menggunakan "arus populisme politik." Caranya adalah memobilisasi massa yang "emoh partai" untuk memperjuangkan tujuan politik.
Namun bagaimanapun, dalam demokrasi dengan parpol yang tidak berakar kuat di masyarakat, model demokrasi politik bergaya gerakan populis malah dikhawatirkan bisa menggerus pelembagaan demokrasi. Ini terjadi karena demokrasi yang dikembangkan terjadi di luar penguatan dan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Pun sebaliknya, di masa lalu, kabinet boleh gampang berganti, tapi muruah parpol tetap terjaga karena sikap tegas penuh ksatria.
Hari ini, yang dimaksud dengan tem kesatria; jelas sekali. Perkuat sistem kepartaian, membangun institusi parpol yang bisa meraih kepercayaan tinggi masyarakat, serta melakukan konsolidasi demokrasi dengan menjadikannya sebagai the only game in town, demokrasi, menjadi satu-satunya cara bermain.
Menggunakan arus politik populis atas nama demokrasi, di sejumlah negara kerap bermuara pada people power. Di negara yang baru membangun demokrasi, ujung-ujungnya bisa berbalik melemahkan konsolidasi demokrasi, bahkan bisa menempatkannya kembali di titik nol. Alias, mengundang kembali datangnya penguasa otoriter.
PAN sebagai parpol yang dibidani kaum reformis, sudah terbukti memiliki komitmen kuat pada demokrasi.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/4KZOxGYN" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Dua kali Partai Amanat Nasional (PAN) dihujani pertanyaan soal kesetiaan. Lantaran publik tahu, ia telah menyatakan diri masuk dalam barisan koalisi pendukung pemerintah, sejak
dua tahun lalu.
Kali pertama partai politik (parpol) berlambang surya ini 'membangkang' adalah ketika parlemen mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi UU. PAN, lebih memilih
walkout di saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memenangkan usulan yang diajukan pemerintah, yakni besaran 20% sebagai ambang batas pencalonan presiden.
Kemarin, ternyata PAN menempuh langkah serupa. Parpol yang dipimpin Zulkifli Hasan ini terang-terangan menolak pengesahan UU yang sebelumnya hanya berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Padahal, parpol koalisi lainnya tetap setia bersama pemerintah. Menganggap kelahiran aturan itu sebagai sesuatu yang penting, demi menjaga Pancasila dan keutuhan Indonesia.
PAN, tampak gamang. Di kabinet menitipkan menteri, tapi soal dukung-mendukung kebijakan; etika dan komitmen seakan gampang ditanggalkan.
Baca: [Fokus] Setengah Hati Berkoalisi
Citra miring
Sikap tak tentu PAN dalam koalisi ini, bukan tanpa dampak. Bolehlah bila Presiden Joko Widodo lagi-lagi legawa dan menganggapnya tak masalah. Namun di sisi lain, sikap itu berpeluang menyumbang citra parpol yang kian miring di mata masyarakat.
Pakar pemasaran politik Firmanzah dalam
Mengelola Partai politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi (2008) menjelaskan, selama ini sudah ada kesan bahwa pembentukan koalisi di Indonesia tidak berpola. Terlebih, ketika koalisi lebih didorong tujuan jangka pendek, alias semata-mata jabatan dan kekuasaan.
"Artinya, ketika kepentingan dan tujuan politik sudah tidak sama, koalisi tersebut biasanya pecah. Lalu, masing-masing pihak bisa berkoalisi dengan pihak lain yang dirasa dapat membantu dalam mencapai tujuan politiknya," tulis Firmanzah.
Hari ini, hal itu seakan tengah dipertontonkan PAN. Dalam barisan koalisi, ia berani memasang dua kaki. Sesekali menjelma oposisi, kemudian merapat kembali.
Untungnya, PAN cuma sendiri. Saat ini, PDI P, PKB, Golkar, Nasdem, PPP dan Hanura masih seiring seirama dengan pandangan pemerintah.
Pengalaman seperti ini, sebenarnya tidak hanya terjadi dalam kabinet pimpinan Jokowi. Di periode-periode sebelumnya, minusnya etika politik dalam koalisi juga pernah terjadi.
Peneliti senior bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, dalam
Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014) menulis, koalisi tidak efektif malah cukup tampak di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekalipun, parpol pendukung pemerintah saat itu membentuk sekretariat gabungan di bawah komando Partai Demokrat.
"Selain kepemimpinan yang terlalu hati-hati, akomodatif, kompromisitis, dan bernyali kecil menghadapi parpol di Senayan, format koalisi yang cenderung semu dan berorientasi jangka pendek menjadi faktor penting di balik tidak efektifnya koalisi," tulis Syamsuddin.
Realitas politik semacam ini, meniscayakan urgensi penataan model koalisi yang benar-benar dilandaskan kesamaan visi dan haluan politik. Dalam arti, parpol anggota koalisi sejatinya harus lebih arif memilih satu dari dua pilihan; setia atau menyatakan keluar dari barisan karena merasa tak lagi memiliki kesamaan.
Dari hasil voting terbuka, sebanyak 314 anggota dari tujuh fraksi menyatakan setuju, serta sebanyak 131 anggota dari tiga fraksi menyatakan tidak setuju. Anggota yang hadir seluruhnya sebanyak 445 anggota/ANTARA/Wahyu Putro A
Menjaga muruah parpol
Merosotnya pamor parpol di tengah masyarakat, semestinya turut menjadi catatan PAN. Banyak parpol, kini sedang sekuat tenaga menghapus kesan melulu berorientasi uang dan kekuasaan.
PAN mesti ingat, rontoknya kepercayaan itu disebabkan hadirnya parpol yang terkesan tidak mampu menjaga wibawanya. Ditambah, anggapan makin kurangnya sumbangsih parpol secara langsung bagi masyarakat.
Syamsuddin menyebut, momentum terpenting guna mengingat kembali kontribusi parpol bagi masyarakat dan negara itu, sebenarnya bisa diukur dari era pascakemerdekaan hingga reformasi.
Secara konvensional, Syamsuddin membaginya ke dalam tiga periode, yakni rezim Demokrasi Parlementer (1949-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru (1966-1998).
"Demokrasi Parlementer adalah periode awal eksperimen demokrasi dengan tingkat dinamika kehidupan parpol yang tinggi, bahkan dikenal sebagai era pemerintahan partai-partai," tulis dia, masih dalam buku yang sama.
Saat itu, parpol menjadi aktor utama. Hanya saja, dalam rentang tujuh tahun, koalisi yang terbentuk malah terkesan rapuh dan kabinet yang terbangun gampang runtuh.
Indonesianis sekaligus profesor ilmu politik asal Australia Herbert Feith, dalam
The Decline of Contitutional Democracy in Indonesia (1962) mencatat, selama kurang lebih tujuh tahun periode Demokrasi Parlementer, ada enam kabinet yang terbentuk lalu bubar sejak berlakunya UUDS 1950 hingga jatuhnya Kabinet Ali Sostromidjojo II.
Yakni, Kabinet Mohammad Natsir (1950-1951) hasil koalisi Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan sejumlah parpol kecil. Kabinet Sukiman (1951-1952) hasil koalisi Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kabinet Wilopo (1952-1953) koalisi PNI, Masyumi dan parpol kecil lainnya. Kabinet Ali Sosotromidjojo I (1953-1955), hasil koalisi PNI dan beberapa parpol nasionalis lain. Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956) koalisi Masyumi dan parpol kecil, tanpa PNI. Dan terakhir, Kabinet Ali II (1956-1957) koalisi PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) dan parpol kecil.
Feith menjelaskan, perubahan kabinet yang terjadi nyaris tiap tahun itu terjadi sebab satu hal; adanya penolakan dukungan anggota parlemen terhadap kebijakan pemerintah.
"Mosi tidak percaya terhadap kabinet biasanya diikuti dengan penarikan menteri dari parpol bersangkutan, sehingga kabinet akhirnya mengembalikan mandatnya ke Presiden," tulis Feith.
Konsolidasi demokrasi
Pelajaran penting lainnya menarik dipetik. Ilmuwan politik Australia Marcus Mietzner mencatat ada perbedaan cara kerja antara demokrasi di era 1950-an dan demokrasi era pasca-1998.
Pada era pertama, parpol memiliki akar di masyarakat dan disatukan melalui ikatan ideologis yang kuat. Namun pasca-1998, ideologi sudah bukan lagi satu-satunya faktor pengikat konstituen dalam memilih. Justru, mayoritas masyarakat menganggap dirinya tidak memiliki afiliasi kuat dengan partai politik.
Survei The Asia Foundation (2003) mempertegas hal itu. Tercatat, sekitar 70% masyarakat menyatakan tidak memiliki afiliasi atau ikatan dengan partai politik tertentu. Artinya, partai-partai politik memiliki akar yang rapuh di masyarakat.
Kembali menurut Mietzner, di era 1950-an meskipun parpol memiliki akar kuat di masyarakat, tapi sebaliknya, sistem kepartaian malah terbilang rapuh. Masing-masing parpol dengan dasar ideologinya mengejar tujuan untuk meraup dukungan masyarakat sebesar-besarnya. Akibatnya, terjadi arus
sentrifugalisme yang kuat dalam demokrasi.
Sistem kepartaian merapuh, kerjasama antarpartai sangat labil, dan jatuhnya; kabinet mudah berganti.
Setelah 1998, kata Meitzner, terjadi situasi berkebalikan. Partai-partai tidak mengakar di masyarakat, untungnya, sistem kepartaian cenderung bekerja dengan baik. Hal itu terjadi karena kebanyakan parpol telah mengesampingkan dorongan ideologisnya dalam meraup dukungan masyarakat.
Sebagai gantinya, parpol berkoalisi tanpa dibebani garis ideologi dan tenggelam dalam politik transaksional demi mengejar kepentingan kekuasaan jangka pendek semata.
Ruang demokrasi dengan basis parpol yang rapuh di masyarakat bisa membawa konsekuensi tertentu. Partai bisa bekerja berlawanan dengan kebutuhan memperkuat demokrasi.
Dengan rendahnya afiliasi warga masyarakat ke partai politik, ditambah maraknya politik transaksional, partai bisa bergerak dengan menggunakan "arus populisme politik." Caranya adalah memobilisasi massa yang
"emoh partai" untuk memperjuangkan tujuan politik.
Namun bagaimanapun, dalam demokrasi dengan parpol yang tidak berakar kuat di masyarakat, model demokrasi politik bergaya gerakan populis malah dikhawatirkan bisa menggerus pelembagaan demokrasi. Ini terjadi karena demokrasi yang dikembangkan terjadi di luar penguatan dan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Pun sebaliknya, di masa lalu, kabinet boleh gampang berganti, tapi muruah parpol tetap terjaga karena sikap tegas penuh ksatria.
Hari ini, yang dimaksud dengan tem kesatria; jelas sekali. Perkuat sistem kepartaian, membangun institusi parpol yang bisa meraih kepercayaan tinggi masyarakat, serta melakukan konsolidasi demokrasi dengan menjadikannya sebagai
the only game in town, demokrasi, menjadi satu-satunya cara bermain.
Menggunakan arus politik populis atas nama demokrasi, di sejumlah negara kerap bermuara pada
people power. Di negara yang baru membangun demokrasi, ujung-ujungnya bisa berbalik melemahkan konsolidasi demokrasi, bahkan bisa menempatkannya kembali di titik nol. Alias, mengundang kembali datangnya penguasa otoriter.
PAN sebagai parpol yang dibidani kaum reformis, sudah terbukti memiliki komitmen kuat pada demokrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)