Jakarta: Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham membantah kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat, Papua kegagalan pemerintah. Ada banyak faktor yang dinilai menjadi potensi masalah.
"Faktor penyebab KLB, cacar dan gizi buruk tidak berdiri sendiri, ada karena asupan dari ibunya, makanananya dan kebiasaan yang ada," kata Idrus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 30 Januari 2018.
Idrus memaparkan, Asmat merupakan daerah terisolir. Selain itu, kondisi alam Papua yang belum banyak terjamah masyarakat perkotaan juga potensial menimbulkan penyakit.
"Untuk sampai ibu kota Asmat membutuhkan perjalanan pesawat kecil 40 menit, menelusuri sungai 40 menit, sehingga ini tentu sangat terisolir," papar dia.
(Baca juga: Menkes: Jangan Lagi Ada Gizi Buruk di Papua)
Tak hanya itu, pola kehidupan masyarakat adat Asmat yang menyebar di pelosok hutan belantara juga menjadi kendala lain. Menurut Idrus, hal tersebut menyulitkan jangkauan upaya pelayanan dari pemerintah pusat.
"Pola hidup masih menyebar di 23 distrik dan lebih dari 250 perkampungan, ini menyebar semua sehingga daya jangkau pelayanan kesehatan itu sangat sulit. Ini semua sangat berpengaruh timbulnya KLB," ungkap dia.
Idrus sendiri mengaku telah meninjau langsung kondisi masyarakat Asmat. Penanganan terpadu lintas kementerian pun telah diupayakan dengan tetap mengikuti adat masyarakat.
"Perlu ada pendampingan dari pusat baik pengelolaan pemerintah atau program untuk ciri masyarakat Papua. Kita tidak boleh menyamakan penanganan Papua dengan wilayah lain," pungkas dia.
Jakarta: Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham membantah kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat, Papua kegagalan pemerintah. Ada banyak faktor yang dinilai menjadi potensi masalah.
"Faktor penyebab KLB, cacar dan gizi buruk tidak berdiri sendiri, ada karena asupan dari ibunya, makanananya dan kebiasaan yang ada," kata Idrus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 30 Januari 2018.
Idrus memaparkan, Asmat merupakan daerah terisolir. Selain itu, kondisi alam Papua yang belum banyak terjamah masyarakat perkotaan juga potensial menimbulkan penyakit.
"Untuk sampai ibu kota Asmat membutuhkan perjalanan pesawat kecil 40 menit, menelusuri sungai 40 menit, sehingga ini tentu sangat terisolir," papar dia.
(Baca juga:
Menkes: Jangan Lagi Ada Gizi Buruk di Papua)
Tak hanya itu, pola kehidupan masyarakat adat Asmat yang menyebar di pelosok hutan belantara juga menjadi kendala lain. Menurut Idrus, hal tersebut menyulitkan jangkauan upaya pelayanan dari pemerintah pusat.
"Pola hidup masih menyebar di 23 distrik dan lebih dari 250 perkampungan, ini menyebar semua sehingga daya jangkau pelayanan kesehatan itu sangat sulit. Ini semua sangat berpengaruh timbulnya KLB," ungkap dia.
Idrus sendiri mengaku telah meninjau langsung kondisi masyarakat Asmat. Penanganan terpadu lintas kementerian pun telah diupayakan dengan tetap mengikuti adat masyarakat.
"Perlu ada pendampingan dari pusat baik pengelolaan pemerintah atau program untuk ciri masyarakat Papua. Kita tidak boleh menyamakan penanganan Papua dengan wilayah lain," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)