medcom.id, Jakarta: Liang itu kembali menelan korban. Lubang jarum, istilah yang dipakai dalam dunia pertambangan telah menimbun 11 penambang emas ilegal di Desa Simpang Parit Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi pada Senin 24 Oktober 2016.
Jika menilik data Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Antam Pongkor sebelumnya, pertambangan emas ilegal telah menelan korban 352 orang tewas, 166 luka berat, dan 98 orang luka ringan di sepanjang 1998-2015.
Tidak hanya korban jiwa, dari sisi ekonomi, Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menyebut negara mengalami kehilangan 120 ton emas pertahun akibat aktivitas pertambangan ilegal. Hitungan itu setara dengan potensi kerugian sebesar dua sampai tiga trilun.
Pertambangan ilegal biang masalah. Hal itu, belum lagi jika menghitung dampak tak langsung kerusakan alam. Ajaibnya, sampai hari ini negara dinilai masih absen. Belum tampak gebrakan yang sejalan dengan semangat reformasi tata kelola pertambangan Indonesia.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan ada banyak oknum yang terlibat dalam pembiaran aktivitas pertambangan ilegal yang semakin menjamur.
"Ada rente dalam dunia pertambangan kita. Aparat yang membackingi, hingga korporasi yang juga merasa diuntungkan," ujar Johansyah di Selamat Pagi Indonesia, Metro TV, Kamis (27/10/2016).
Ada rente di pertimbangan
Kebijakan pemerintah juga dinilai turut memacu perluasan area tambang yang hingga kini mencapai 93,36 juta hektare di seluruh Indonesia. Sementara area sawah pertanian, ada pengurangan 100.000 hektare per tahun. Di Jawa, hari ini tinggal tersisa 6,4 juta hektare. Padahal sebelumnya 6,46 juta hektare.
"Penanganan harus sama, baik legal maupun ilegal. Reformasi tata kelola. Bayangkan saja, 44 persen daratan di Indonesia sekarang dikapling tambang," kata Johansyah.
Oknum perusahaan tambang legal diuntungkan dengan keberadaan aktivitas ilegal. Tanpa mengurus perizinan, dia akan secara bebas menadah hasil tambang dari aktor pertambangan ilegal. Aktor inilah, kata Johansyah, yang bertugas memberikan modal dan menyewa tanah.
"Ongkosnya akan jauh lebih kecil," kata dia.
Mereka yang telah disebut, kata Johansyah, tak mungkin bekerja diam-diam. Ada keleluasaan yang juga didukung pihak perizinan. "Ini skandal besar," katanya.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/zNPAEVXb" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Ketegasan pemerintah menjadi semakin penting ketika menengok fakta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan tambang ilegal. Menurut Johansyah, pada Undang-Undang (UU) Minerba sebelumnya, istilah pertambangan rakyat masih terbatas. Namun yang sekarang ia nilai bias.
"(Pertambangan rakyat) dalam UU sebelumnya dibatasi makna yang benar-benar dijalankan rakyat, juga tanpa menggunakan alat berat. Sekarang eksavator bisa masuk, bahkan mobilisasi mercury," ujar Johansyah.
"Indonesia mendapatkan 300 Metrik Ton dari Singapura. Padahal dalam perjanjian Minamata mengharuskan Indonesia bebas Mercury pada 2018," tambahnya.
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo 2014 lalu, Koalisi Anti-mafia Tambang menyatakan banyak celah pelanggaran hukum dan potensi tindakan korupsi dalam sektor pertambangan. Presiden diminta secara tegas menindak lingkaran setan yang merugikan rakyat tersebut.
Peneliti AURIGA Syahrul, di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) waktu itu menyebut sekitar 1,372 juta hektare izin tambang berada di kawasan hutan konservasi.
Hutan konservasi yang digunakan itu terdiri dari 1,16 juta Hektar izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), 110,21 ribu hektar untuk Kontrak Karya (KK), dan 101,99 ribu hektar untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Padahal, UU Nomor 41/1999 menetapkan area hutan konservasi merupakan area terlarang untuk kegiatan non kehutanan.
Mendapati fakta kerusakan lingkungan yang disumbangkan dunia pertambangan itu, pada awal 2016, Jokowi, sapaan Joko Widodo memerintahkan Kementerian ESDM untuk memoratorium perizinan lahan tambang.
"Tapi kita belum bahas rinci. Kalau dari sisi lingkungan memang ada kasus-kasus lingkungan tidak di recover dengan baik," kata Sudirman, yang kala itu masih menjabat Menteri ESDM, di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
Belum ada kabar baik
Gagasan pembenahan tambang di Indonesia mengalami pasang surut. Pemerintah dinilai masih setengah hati dalam upaya pelestarian lingkungan dibanding persoalan-persoalan lain.
Direktur Ekskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nurhidayati mengatakan, di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) penerapan moratorium izin tambang dilakukan tidak maksimal. Pun hari ini, kata Nur Hidayati, wacana kebijakan yang digelontorkan pemerintah nyatanya tidak diiringi dengan aksi-aksi penegakan hukum di lapangan.
"Belum ada kabar baik soal reformasi tata kelola tambang," kata Nur Hidayati kepada Metrotvnews.com, Kamis (27/10/2016).
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Rabu (10/9). MI/Solmi/ip
Padahal, lanjut dia, persoalan lingkungan sekarang ini semakin parah. Terutamanya disebabkan pertambangan.
"Saya tidak membedakan tambang legal dan ilegal. Karena, semuanya berdampak buruk bagi lingkungan. Sementara ilegal yang disalahkan seolah-olah rakyat, padahal keduanya dipicu pelaku yang sama," kata dia.
Pemerintah, kata Nurhidayati, mesti didesak terutama dalam hal penegakan hukum. Meski menurutnya pekerjaan ini harus didorong bersama lantaran melibatkan banyak pihak.
Soal tambang ilegal, Nur menyebut dimodali aktor korporasi, pengamanan oleh aparat, juga ada permainan mata dengan oknum yang berkewenangan di perizinan.
"Tiga hal penting yang mesti dilakukan pemerintah. Rehabilitasi, memperketat izin, dan penegakan hukum," kata dia.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ZkeWXD5N" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Liang itu kembali menelan korban. Lubang jarum, istilah yang dipakai dalam dunia pertambangan telah menimbun 11 penambang emas ilegal di Desa Simpang Parit Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi pada Senin 24 Oktober 2016.
Jika menilik data Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Antam Pongkor sebelumnya, pertambangan emas ilegal telah menelan korban 352 orang tewas, 166 luka berat, dan 98 orang luka ringan di sepanjang 1998-2015.
Tidak hanya korban jiwa, dari sisi ekonomi, Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menyebut negara mengalami kehilangan 120 ton emas pertahun akibat aktivitas pertambangan ilegal. Hitungan itu setara dengan potensi kerugian sebesar dua sampai tiga trilun.
Pertambangan ilegal biang masalah. Hal itu, belum lagi jika menghitung dampak tak langsung kerusakan alam. Ajaibnya, sampai hari ini negara dinilai masih absen. Belum tampak gebrakan yang sejalan dengan semangat reformasi tata kelola pertambangan Indonesia.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan ada banyak oknum yang terlibat dalam pembiaran aktivitas pertambangan ilegal yang semakin menjamur.
"Ada rente dalam dunia pertambangan kita. Aparat yang membackingi, hingga korporasi yang juga merasa diuntungkan," ujar Johansyah di
Selamat Pagi Indonesia,
Metro TV, Kamis (27/10/2016).
Ada rente di pertimbangan
Kebijakan pemerintah juga dinilai turut memacu perluasan area tambang yang hingga kini mencapai 93,36 juta hektare di seluruh Indonesia. Sementara area sawah pertanian, ada pengurangan 100.000 hektare per tahun. Di Jawa, hari ini tinggal tersisa 6,4 juta hektare. Padahal sebelumnya 6,46 juta hektare.
"Penanganan harus sama, baik legal maupun ilegal. Reformasi tata kelola. Bayangkan saja, 44 persen daratan di Indonesia sekarang dikapling tambang," kata Johansyah.
Oknum perusahaan tambang legal diuntungkan dengan keberadaan aktivitas ilegal. Tanpa mengurus perizinan, dia akan secara bebas menadah hasil tambang dari aktor pertambangan ilegal. Aktor inilah, kata Johansyah, yang bertugas memberikan modal dan menyewa tanah.
"Ongkosnya akan jauh lebih kecil," kata dia.
Mereka yang telah disebut, kata Johansyah, tak mungkin bekerja diam-diam. Ada keleluasaan yang juga didukung pihak perizinan. "Ini skandal besar," katanya.
Ketegasan pemerintah menjadi semakin penting ketika menengok fakta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan tambang ilegal. Menurut Johansyah, pada Undang-Undang (UU) Minerba sebelumnya, istilah pertambangan rakyat masih terbatas. Namun yang sekarang ia nilai bias.
"(Pertambangan rakyat) dalam UU sebelumnya dibatasi makna yang benar-benar dijalankan rakyat, juga tanpa menggunakan alat berat. Sekarang eksavator bisa masuk, bahkan mobilisasi
mercury," ujar Johansyah.
"Indonesia mendapatkan 300 Metrik Ton dari Singapura. Padahal dalam perjanjian Minamata mengharuskan Indonesia bebas Mercury pada 2018," tambahnya.
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo 2014 lalu, Koalisi Anti-mafia Tambang menyatakan banyak celah pelanggaran hukum dan potensi tindakan korupsi dalam sektor pertambangan. Presiden diminta secara tegas menindak lingkaran setan yang merugikan rakyat tersebut.
Peneliti AURIGA Syahrul, di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) waktu itu menyebut sekitar 1,372 juta hektare izin tambang berada di kawasan hutan konservasi.
Hutan konservasi yang digunakan itu terdiri dari 1,16 juta Hektar izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), 110,21 ribu hektar untuk Kontrak Karya (KK), dan 101,99 ribu hektar untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Padahal, UU Nomor 41/1999 menetapkan area hutan konservasi merupakan area terlarang untuk kegiatan non kehutanan.
Mendapati fakta kerusakan lingkungan yang disumbangkan dunia pertambangan itu, pada awal 2016, Jokowi, sapaan Joko Widodo memerintahkan Kementerian ESDM untuk memoratorium perizinan lahan tambang.
"Tapi kita belum bahas rinci. Kalau dari sisi lingkungan memang ada kasus-kasus lingkungan tidak di recover dengan baik," kata Sudirman, yang kala itu masih menjabat Menteri ESDM, di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
Belum ada kabar baik
Gagasan pembenahan tambang di Indonesia mengalami pasang surut. Pemerintah dinilai masih setengah hati dalam upaya pelestarian lingkungan dibanding persoalan-persoalan lain.
Direktur Ekskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nurhidayati mengatakan, di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) penerapan moratorium izin tambang dilakukan tidak maksimal. Pun hari ini, kata Nur Hidayati, wacana kebijakan yang digelontorkan pemerintah nyatanya tidak diiringi dengan aksi-aksi penegakan hukum di lapangan.
"Belum ada kabar baik soal reformasi tata kelola tambang," kata Nur Hidayati kepada
Metrotvnews.com, Kamis (27/10/2016).
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Rabu (10/9). MI/Solmi/ip
Padahal, lanjut dia, persoalan lingkungan sekarang ini semakin parah. Terutamanya disebabkan pertambangan.
"Saya tidak membedakan tambang legal dan ilegal. Karena, semuanya berdampak buruk bagi lingkungan. Sementara ilegal yang disalahkan seolah-olah rakyat, padahal keduanya dipicu pelaku yang sama," kata dia.
Pemerintah, kata Nurhidayati, mesti didesak terutama dalam hal penegakan hukum. Meski menurutnya pekerjaan ini harus didorong bersama lantaran melibatkan banyak pihak.
Soal tambang ilegal, Nur menyebut dimodali aktor korporasi, pengamanan oleh aparat, juga ada permainan mata dengan oknum yang berkewenangan di perizinan.
"Tiga hal penting yang mesti dilakukan pemerintah. Rehabilitasi, memperketat izin, dan penegakan hukum," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)