medcom.id, Jakarta: Revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 dinilai hanya memfasilitasi pengusaha besar taksi konvensional. Regulasi baru itu juga berdampak kepada pengguna angkutan umum yang terbiasa memilih tarif paling minim.
"Jika taksi online bisa memberikan tarif murah sesuai kebutuhan pengguna taksi, mengapa taksi konvensional tidak bisa?" ujar Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan melalalui keterangan tertulisnya, Selasa 21 Maret 2017.
Revisi aturan itu juga dinilai telah mengadili tarif taksi online secara sepihak. Menurut Tigor, tarif murah taksi online sebenarnya tarif sesuai kesepakatan, kebutuhan dan biaya operasional pengguna taksi. Sistem tarif ini pun dirasa penggunaannya lebih nyaman.
"Mengapa pula dengan jarak yang sama dan kondisi sama tarif taksi konvensional jauh lebih mahal dari tarif taksi online?" ujarnya.
Tigor menuturkan, selama ini pilihan para pengguna menggunakan taksi online didasari oleh keberadaan layanannya yang lebih mudah diakses dan murah tarifnya dibandingkan taksi konvensional. Menurutnya, pilihan itu tidak bisa diberikan taksi konvensional yang akhirnya menekan pemerintah agar tarif taksi online disamakan menggunakan batas tarif atas dan batas tarif bawah seperti taksi konvensional.
"Memaksa tarif taksi online sama dengan tarif taksi konvensional tentu akan tetap menuai masalah berkelanjutan atau hanya menyimpan bom waktu saja," ujarnya.
Pemerintah semestinya melepas tarif taksi online dan taksi konvensional sesuai kepentingan pasar. Menurut Tigor, langkah ini dinilai lebih adil untuk membangun pelayanan taksi yang aman, nyaman dengan tarif yang terjangkau penggunanya.
"Sikap melepas tarif taksi pada pasar akan membangun tarif sesuai kebutuhan biaya operasional pengguna. Bukan mengatur tarif sesuai keinginan keuntungan pengelola atau operator taksi konvensional semata seperti selama ini," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 dinilai hanya memfasilitasi pengusaha besar taksi konvensional. Regulasi baru itu juga berdampak kepada pengguna angkutan umum yang terbiasa memilih tarif paling minim.
"Jika taksi online bisa memberikan tarif murah sesuai kebutuhan pengguna taksi, mengapa taksi konvensional tidak bisa?" ujar Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan melalalui keterangan tertulisnya, Selasa 21 Maret 2017.
Revisi aturan itu juga dinilai telah mengadili tarif taksi online secara sepihak. Menurut Tigor, tarif murah taksi online sebenarnya tarif sesuai kesepakatan, kebutuhan dan biaya operasional pengguna taksi. Sistem tarif ini pun dirasa penggunaannya lebih nyaman.
"Mengapa pula dengan jarak yang sama dan kondisi sama tarif taksi konvensional jauh lebih mahal dari tarif taksi online?" ujarnya.
Tigor menuturkan, selama ini pilihan para pengguna menggunakan taksi online didasari oleh keberadaan layanannya yang lebih mudah diakses dan murah tarifnya dibandingkan taksi konvensional. Menurutnya, pilihan itu tidak bisa diberikan taksi konvensional yang akhirnya menekan pemerintah agar tarif taksi online disamakan menggunakan batas tarif atas dan batas tarif bawah seperti taksi konvensional.
"Memaksa tarif taksi online sama dengan tarif taksi konvensional tentu akan tetap menuai masalah berkelanjutan atau hanya menyimpan bom waktu saja," ujarnya.
Pemerintah semestinya melepas tarif taksi online dan taksi konvensional sesuai kepentingan pasar. Menurut Tigor, langkah ini dinilai lebih adil untuk membangun pelayanan taksi yang aman, nyaman dengan tarif yang terjangkau penggunanya.
"Sikap melepas tarif taksi pada pasar akan membangun tarif sesuai kebutuhan biaya operasional pengguna. Bukan mengatur tarif sesuai keinginan keuntungan pengelola atau operator taksi konvensional semata seperti selama ini," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)