medcom.id, Jakarta: Kontoversi keberadaan komunitas Lesbian Gay Biseksual & Transgender (LGBT) mendominasi awal tahun ini. Mulai dari penolakan Universitas Indonesia (UI) terhadap kegiatan konseling LGBT, menteri dan legislatif pun bersuara. Masyarakat adu argumentasi.
Sulit menutup mata terhadap fenomena yang mendadak mencuat ini. Ada yang mengatakan sensitif dan tidak laik dibesar-besarkan. Ada yang tak henti-henti menghujat dan mengecamnya. Ada pula yang gencar menyosialisasikannya.
Kalangan selebriti pun tertarik memperdebatkannya. Saling mempertahankan argumen hingga saling bully berkobar di media sosial. Bahkan sampai-sampai ada yang mengatakan isu ini adalah bagian konspirasi alias 'by design' dengan tujuan tertentu.
Fenomena ini kemudian memunculkan kesadaran bahwa ada masalah mendesak, tapi bukan LGBT-nya dan bukan soal penyakit atau orientasi seksual. Melainkan bagaimana bangsa ini menyikapinya.
Ya, bangsa ini. Anda. Saya. Kalian. Kami. Pemerintah. Warga.
Kita semua yang hidup di Tanah Air ini, ketika dihadapkan dengan sesuatu yang 'katanya' sensitif. Sesuatu yang personal tapi terlembagakan, sesuatu yang personal tapi dikucilkan ramai-ramai, sesuatu yang personal tapi dikampanyekan.
Sayangnya, perdebatan isu LGBT masih di ranah saling menilai, benar atau salah. Belum sampai pada pemecahan yang konkret.
Ada benarnya yang pernyataan Dewan Masjid Indonesia (DMI), bahwa LGBT bisa tuntas dengan mengembalikan mereka ke jalur agama. Ada benarnya pula suara dari 'Senayan' yang berharap agar orang yang sudah mengaku bagian dari LGBT supaya tidak mempengaruhi atau mengajak orang lain yang normal menjadi 'tidak normal'.
Ada benarnya juga LGBT perlu mendapat perlindungan agar tidak tersudutkan dalam lingkungan sosial. Ada benarnya ucapan Menkopolhukam yang tidak memperkenankan pengucilan hak, pengusiran bahkan pembinasaan.
medcom.id, Jakarta: Kontoversi keberadaan komunitas Lesbian Gay Biseksual & Transgender (LGBT) mendominasi awal tahun ini. Mulai dari penolakan Universitas Indonesia (UI) terhadap kegiatan konseling LGBT, menteri dan legislatif pun bersuara. Masyarakat adu argumentasi.
Sulit menutup mata terhadap fenomena yang mendadak mencuat ini. Ada yang mengatakan sensitif dan tidak laik dibesar-besarkan. Ada yang tak henti-henti menghujat dan mengecamnya. Ada pula yang gencar menyosialisasikannya.
Kalangan selebriti pun tertarik memperdebatkannya. Saling mempertahankan argumen hingga saling
bully berkobar di media sosial. Bahkan sampai-sampai ada yang mengatakan isu ini adalah bagian konspirasi alias 'by design' dengan tujuan tertentu.
Fenomena ini kemudian memunculkan kesadaran bahwa ada masalah mendesak, tapi bukan LGBT-nya dan bukan soal penyakit atau orientasi seksual. Melainkan bagaimana bangsa ini menyikapinya.
Ya, bangsa ini. Anda. Saya. Kalian. Kami. Pemerintah. Warga.
Kita semua yang hidup di Tanah Air ini, ketika dihadapkan dengan sesuatu yang 'katanya' sensitif. Sesuatu yang personal tapi terlembagakan, sesuatu yang personal tapi dikucilkan ramai-ramai, sesuatu yang personal tapi dikampanyekan.
Sayangnya, perdebatan isu LGBT masih di ranah saling menilai, benar atau salah. Belum sampai pada pemecahan yang konkret.
Ada benarnya yang pernyataan Dewan Masjid Indonesia (DMI), bahwa LGBT bisa tuntas dengan mengembalikan mereka ke jalur agama. Ada benarnya pula suara dari 'Senayan' yang berharap agar orang yang sudah mengaku bagian dari LGBT supaya tidak mempengaruhi atau mengajak orang lain yang normal menjadi 'tidak normal'.
Ada benarnya juga LGBT perlu mendapat perlindungan agar tidak tersudutkan dalam lingkungan sosial. Ada benarnya ucapan Menkopolhukam yang tidak memperkenankan pengucilan hak, pengusiran bahkan pembinasaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)